Ini cerita saya, mahasiswa KIP Kuliah yang nekat mencoba pinjaman online, dan berakhir stres karena cicilan
Terlahir di keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah memang tidak pernah mudah. Apalagi, sampai nekat melanjutkan kuliah. Padahal, saya sendiri ketika hendak melanjutkan ke jenjang sekolah menengah saja, sudah perlu negosiasi yang cukup rumit. Untungnya, setelah memberi pemahaman tentang kuliah dan menyatakan kesanggupan, orang tua bisa luluh dan merestui.
Keberhasilan dalam negosiasi kuliah tersebut tidak lepas dari penjelasan saya tentang KIP Kuliah kepada orang tua. Saya bilang, kalau dapat bantuan pendidikan ini, uang semester (UKT) tidak perlu bayar lagi dan dapat uang saku per bulan. Di angkatan saya masuk kuliah yaitu tahun 2020, mahasiswa KIP Kuliah juga mendapatkan bantuan biaya hidup sebesar Rp4.200.000 per semester atau Rp700.000 per bulan. Nominal yang besar bagi keluarga saya, tetapi bukan apa-apa kalau hidup di Jogja, tempat saya berkuliah.
Biaya hidup tidak sebanding dengan uang saku
Bisa kuliah di Jogja adalah impian banyak orang, apalagi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, nyatanya, bagi saya sendiri, jalan yang saya pilih ini penuh perjuangan. Pasalnya, uang saku yang saya dapat dari KIP Kuliah dan sesekali dari orang tua ternyata cenderung ngepres, lebih sering kurang.
Hal ini sudah saya rasakan di beberapa bulan pertama merantau. Meskipun, awalnya merasa cukup-cukup saja kalau hanya untuk makan, apalagi dengan lauk masak sendiri. Nyatanya, bagi mahasiswa yang sedang di perantauan, kebutuhan tidak hanya makan. Mulai dari printilan yang dibutuhkan di kos hingga ‘biaya sosial’ yang dibutuhkan ketika berkumpul dengan mahasiswa lainnya.
Sejak saat itu, saya mulai lebih berhemat. Lebih banyak masak lauk sendiri sehingga ketika butuh makan di luar, uangnya masih bisa cukup hingga akhir bulan. Meskipun, beberapa kali masih saja menolak ajakan teman ketika harus pergi ke tempat makan atau café yang sekiranya terlihat agak fancy. Tidak masuk budget.
Awalnya karena merasa butuh, tapi kebablasan
Pada tahun kedua kuliah, saya merasa smartphone yang dipakai sudah usang. Sekalipun masih berfungsi, saya merasa perlu upgrade, apalagi kalau melihat punya teman-teman lain. Kebetulaan, saat itu di salah satu aplikasi e-commerce lagi ada promo pembelian melalui paylater. Pikir saya, kalau punya smartphone baru, pasti lebih produktif. Semoga saja bisa menghasilkan lebih banyak penghasilan dari internet.
Namun, nyatanya, setelah smartphone baru yang dibeli dengan paylater tersebut datang, saya tidak ada progres signifikan dalam menghasilkan uang di internet. Sebaliknya, saya merasa terbuai dengan fitur paylater dan tergoda menggunakan fitur yang tidak terpisahkan: pinjaman online.
Berawal dari kemudahan mendapatkan uang tunai secara mudah, saya melakukan pinjaman beberapa ratus ribu melalui e-commerce yang sama. Pikir saya, bulan depan toh dapat uang kiriman. Bulan depan kan uang KIP Kuliah cair. Nyatanya, saya kelimpungan melunasi paylater dan pinjaman online. Uang yang saya dapat tidak sebanding dengan cicilan yang harus dibayar.
Terlebih, setelah merasakan kemudahannya, saya tidak lagi terlalu berhemat. Pikir saya, bisa lah melakukan pinjaman online. Toh, bulan depan bisa dicicil. Nyatanya, tidak. Kelimpungan dan bingung bayar cicilan adalah derita yang saya rasakan tiap bulan.
Baca halaman selanjutnya
Paylater dan pinjol bukan solusi




















