Datang ke tempat baru, berarti bersiap beradaptasi dan menemukan hal-hal baru. Tak jarang, hal baru itu sangat aneh dan tak masuk akal, termasuk bagi saya saat awal-awal merantau ke Jakarta.
Setelah sebulan merantau ke Jakarta, saya kangen makan pecel. Saya lalu memutuskan keluar kos untuk mencari warung pecel. Tak lama, saya pun menemukan sebuah warung tenda dengan tulisan “Sedia: Pecel Lele, Pecel Ayam”. Saya pun memutuskan untuk makan di warung tersebut. Sejak pertama membaca tulisan tadi, saya sudah merasa agak aneh karena biasanya kata “pecel” tak biasa bersanding dengan “lele” dan “ayam”. Ia biasanya hanya ditulis “nasi pecel” saja. Saya pun berpikir, “oh mungkin nasi pecel dengan lauk lele atau ayam.” Tak lama kemudian pesanan saya dihidangkan. Tapi, yang datang bukan nasi pecel seperti yang saya bayangkan. Saya pun protes ke penjualnya, “loh, Pak, saya pesen pecel lele.” Penjualnya pun merasa heran, “loh iya ini bener, Mas”. “loh, saya nggak pesen lalapan lele, Pak,” saya ngotot. Penjualnya pun tak kalah ngotot, “loh iya, ini namanya pecel lele.”
Keheranan saya kemudian juga terjadi beberapa hari kemudian, saat di pasar kaget dekat kos, saya melihat penjual dengan nampan berisi sayuran rebus, bumbu kacang, dan bakwan. Saya yang penasaran pun bertanya makanan apa yang dijual. Kata penjualnya adalah pecel. Tapi, saya bertanya-tanya, kenapa tidak ada tempat nasi? Ah, mungkin di bawah wadah sayur atau di mana. Maka, saya pun membeli satu porsi. Saya pikir, kali ini tidak mungkin salah. Tapi sayang, ternyata yang saya dapat bukan pecel dengan nasi seperti yang saya tahu. Yang saya dapat justru benar-benar sayur dan bumbu kacang saja. Saya pun bertanya kenapa tidak pakai nasi. “Oh kalau di sini nggak pakai nasi, Bang”. Alhasil, untuk mengobati rindu, saya pun menanak nasi sendiri.
Di Jakarta, saya juga tidak temukan petis. Petis adalah olahan dari udang atau ikan. Warnanya coklat mendekati hitam, teksturnya lengket seperti karamel dan baunya agak tajam. Memang jika dibayangkan, agak sedikit terkesan menjijikkan. Tapi, jangan salah, kontribusinya dalam komposisi kenikmatan makanan tak bisa dikesampingkan. Bumbu rujak tanpa petis, sama artinya dengan taman tak berbunga. Bahkan, saking besar kontribusinya, makan nasi dengan lauk tempe tahu seadanya, jika ditemani petis akan terasa nikmat.
Selain petis, saya juga tidak menemukan tahu tek di Jakarta. Mungkin, ini disebabkan oleh tidak adanya petis (?). Suatu hari saya kangen makan tahu tek. Saya pun berkeliling lingkungan dekat kos. Tak ada warung atau gerobak yang bertuliskan “Jual Tahu Tek”. Tapi, kemudian perhatian saya tertuju kepada gerobak di pinggir jalan, yang sekilas fitur dan penampilannya sebelas dua belas dengan penampilan gerobak tahu tek: ada wajan, tahu ditiriskan, dan telor. Tapi, ada tulisan “ketoprak” di tendanya. Saya yang tidak tahu kemudian berpikir ketoprak mungkin adalah nama lain tahu tek.
Saya pun berhenti di warung itu dan turun dari sepeda motor untuk bertanya memastikan. Tapi sial, baru mendekat, penjualnya langsung bertanya, “berapa, Bang?” Saya yang tidak enakan langsung memesan satu porsi. Sembari menunggu, saya mengamati barang-barang di gerobak. Tidak ada cobek, tapi ada ulekan. Bawang putih dan cabe ada, tapi tidak ada petis. Mampus! Jangan-jangan salah lagi. Kocaknya, sampai titik itu pun saya masih meyakinkan diri, mungkin petis dan cobeknya ada di selorokan gerobak. Dan benar, sampai dihidangkan petis dan cobek tidak muncul. Dan baru setelah suapan pertama, saya baru haqqul yaqin itu bukan tahu tek, tapi ketoprak.
Pengalaman lain yang saya dapat saat merantau ke Jakarta adalah rokok Surya 12 dan 16. Di rumah, saya memang perokok Surya 12 atau 16 yang agak fanatik dan radikal. Sejak pertama merokok, saya tak pernah berganti rokok. Jika ada uang beli satu bungkus, kalau kere ya ngecer. Maka, ketika sampai di Jakarta, dan kebetulan sedang menghemat, saya pun pergi ke toko untuk membeli eceran Surya. “buk, eceran surya lima ribu”. Ibu penjualnya seperti heran mendengar saya. Saya pun memperjelas, “Gudang Garam Surya, buk”, “oh Gudang Garam,” jawab Si Ibu yang saya sangka sudah mengerti. Maka, diberikanlah tiga batang rokok yang sekilas mirip dengan Surya 12, namun lebih pendek. Saya yang sungguh lugu, dan malu untuk bertanya lagi, dengan sedikit ragu lalu membakar dan menghisapnya. Hisapan pertama, aromanya masih mirip dengan Surya. Saya pikir mungkin ini Surya 12 versi Jakarta. Tapi, beberapa menit kemudian, tenggorokan saya terasa gatal dan kemudian batuk-batuk. Belakangan, saya baru tahu, rokok itu bukan Surya 12, tapi eceran Gudang Garam Filter.
Hadeh, begini amat merantau ke Jakarta.
Jadi, begitulah kalau malu bertanya. Seperti kata pepatah, malu bertanya sesat di jalan. Malu bertanya, sakit tenggorokan. Malu bertanya di rantau, pusing hidup kau.
BACA JUGA Kasta Gorengan Diurutkan dari yang Tertinggi sampai Terendah dan tulisan Ahmad Maghroby Rahman lainnya.