Dulu saya pernah kaget karena melihat Presiden yang kaget karena ada guru honorer yang gaji hanya Rp. 300.000/bulan. Saya lebih kaget lagi ketika Mendikbud sebelum Nadiem mendoakan guru honor masuk surga sebagai solusi rendahnya gaji mereka.
Saya pikir semua kekagetan saya sudah berakhir ternyata Mendikbud Nadiem Makarim bikin saya lebih kaget lagi karena–-entah gimmick entah benar-benar tidak tahu–-Mas Menteri mengatakan kaget ada rumah yang tidak punya listrik dan daerah yang tidak ada jaringan sinyal di Indonesia. Kekagetannya itu tidak hanya membuat saya kaget tapi rada kesal juga, seolah-olah saya dan kawan-kawan yang pernah ikut program untuk daerah tertinggal ini tidak ada harganya.
Saya pernah ikut program yang diadakan Kementrian untuk mengabdi di desa-desa yang masuk kategori tertinggal selama dua tahun. Dalam program tersebut kami per minggunya membuat laporan, per bulannya buat laporan, per tigabulannya buat laporan lagi dan seperti halnya setiap peserta yang tinggal di daerah yang tidak memiliki jaringan hanya untuk sekedar nelfon–-apalagi internet–-pasti mencantumkan keluh kesahnya dan memasukkan yang kita alami ke dalam laporan.
Saya bahkan mendapat keringanan menjadi tidak lagi seminggu sekali tapi per dua minggu karena desa penempatan saya tidak ada sinyal dan saya harus ke kecamatan lain (yang jaraknya tidak dekat) untuk sekedar mendapat sinyal. Saya jadi bertanya-tanya apakah kerja Kementerian ini tidak terkoneksi antara satu dan lainnya? Meski program saya bukan dari Kemendikbud ini membuat saya yakin jika Nadiem tidak sedang berakting maka memang tidak ada integrasi kerja antar Kementrian di Indonesia ini.
Katakanlah memang kerja Kementrian tidak terintegrasi antara satu dan lainnya namun apa tidak ada data dari Mendikbud sebelum-sebelumnya yang menjadi rujukan untuk Nadiem supaya bicaranya gak sampai ngelantur? Karena saya tahu ada namanya program Kemendikbud bernama SM3T yang menempatkan guru-guru untuk mengajar di daerah tertinggal. Daerah yang listrik saja istimewa, sinyal? Sudahlah jangan mimpi. Masak Nadiem bisa sampai kaget kalau ada rumah tidak dialiri listrik dan daerah yang tidak ada jaringan sinyal?
Dulunya saya yakin Nadiem akan menjadi seorang yang membawa pendidikan ke arah yang berbeda, ke arah yang lebih progresif. Semakin ke sini saya kembali pesimis karena ternyata justru dia membuat jurang ketimpangan dalam semakin lebar saja. Seperti halnya menteri-menteri pendidikan sebelumnya yang memukul pendidikan menuju satu arah yang seperti mengajarkan kucing, anjing, ikan, dan kera untuk naik pohon. Sekarang dengan Nadiem jadi ujung tombak pendidikan-–pendidikan dibawa ke arah serba digital dengan semangat revolusi industri 4.0 yang justru membuat ketimpangan pendidikan semakin lebar saja.
Saat ini saya membayangkan bagaimana nasib para murid di tempat saya mengajar dulu karena di sana sinyal untuk nelpon saja susah. Saya terkadang harus mendaki bukit atau mencari spot untuk menelpon dan itu pun putus-putus, internet? Sudahlah jangan menghayal.
Anak-anak yang di kota masih bisa mendapatkan layanan fasilitas pendidikan meski belajar di rumah. Internet tidak pernah menjadi masalah buat mereka dengan catatan orang tua mereka mampu. Tapi bagaimana dengan mereka-mereka yang tidak ada jaringan sinyal, listrik istimewa, atau hidup di bawah garis pendidikan? Pendidikan hanya menjadi libur panjang buat mereka.
Saya tidak akan memungkiri bahwa ini terjadi karena pandemi korona. Tapi saya yakin bukan hanya karena itu. Saya melihat ancang-ancang digitalisasi pendidikan ini sedari awal sesuai visi misi Presiden Jokowi sudah mencak-mencak saat debat pilpres 2019 bahas-bahas startup, unicorn yang dulu kita pikir cuma semacam sarung tinju dalam ring debat politik. Ternyata makin ke sini gelagat beliau sangat serius dengan hal itu.
Lihat saja hampir semua konferensi ilmiah ada embel-embel revolusi industri 4.0. Saya pernah mengikuti salah satunya konferensi internasional yang sebenarnya untuk ilmu humaniora, eh ada embel-embel multimedia revolusi industri 4.0. Saya tidak akan memungkiri ini bagus jika dilihat dari perspektif ekonomi. Apalagi jika kita melihat situasi saat ini-–harga minyak bumi turun, perusahaan-perusahaan energi merugi-–perusahaan startup malah untung besar. Salah satunya ya perusahaan mantan stafsus milenial Presiden itu.
Perusahaan startup tidak banyak terpengaruh dengan pandemi seperti halnya perusahaan manufaktur yang telah banyak memecat buruh. Di saat perusahaan lain sedang melepas sebagian bebannya, perusahaan startup banyak yang lagi panen hasilnya. Salah satu target yang dikejar pemerintahan Jokowi adalah investasi yang tentu saja lancar ke arah perusahaan ini. Visi ini bagus tapi ada yang belum terpikirkan bahwa hal ini akan melahirkan ketimpangan baru–-ketimpangan pendidikan era digital, ketimpangan pendidikan yang jauh lebih besar dari masa-masa sebelumnya.
Misalnya mereka yang daerahnya masih tidak memiliki infrastruktur untuk mengakses internet akan semakin ketinggalan. Mereka yang kehidupan berada di garis atau bahkan di bawah garis kemiskinan. Mereka yang tidak memiliki gawai dan laptop atau daerahnya tidak memiliki sinyal bisa apa dengan pendidikan yang seperti ini?
BACA JUGA Menkominfo Orang Flores, Tapi KBM Online di Flores Susah Karena Tidak Ada Jaringan dan tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.