Kenyamanan adalah nama lain dari sebuah rumah. Karena sejatinya rumah adalah tempat di mana kita bisa menjadi diri sendiri secara sepenuhnya tanpa terkontaminasi oleh faktor eksternal. Rumah yang tenang, sunyi dan damai menjadi impian semua orang, termasuk saya. Namun apa jadinya jika rumah yang kita huni sekaligus dijadikan sebagai toko atau ruko?
Kebetulan saya tinggal di rumah yang merangkap sebagai toko. Saya sudah tinggal di ruko sejak 2007. Jadi, kurang lebih saya sudah tinggal di rumah ini selama 16 tahun. Ada beberapa penderitaan yang saya rasakan saat tinggal di ruko ini.
Daftar Isi
#1 Menghadapi pembeli yang nggak ngerti waktu
Fyi, ruko ibu saya ini buka dari pukul 06.00 sampai 18.00. Sampai sini sudah jelas, kan? Ruko ibu saya bukan Alfamart, Indomaret, dan toko kelontong Madura yang ready selama 24 jam.
Berhubung ruko kami kecil dan nggak punya karyawan, makanya ibu membatasi jam operasional hanya sampai Maghrib. Namun, ada saja pembeli yang terkadang mengetuk pintu warung setelah Maghrib. Padahal saya baru saja selesai menutup gerbang dan pintu ruko. Kami sekeluarga juga sudah siap untuk melaksanakan salat Maghrib berjamaah.
Kalau begini sudah mengganggu ranah privasi keluarga, ya! Kadang saya jengkel saja, apa pembeli nggak bisa memilih dan memilah waktu yang tepat untuk membeli? Ya saya paham pembeli adalah raja. Tapi, kalau rajanya biadab gini siapa yang mau jadi rakyatnya?
Baca halaman selanjutnya….
#2 Pelanggan yang terlalu akrab
Kedekatan ibu dengan pembeli membuat ada pelanggan yang sudah menganggap ruko kami seperti rumahnya sendiri. Hal ini sangat mengganggu privasi keluarga kami. Lah yang punya rumah siapa yang bertindak seenaknya siapa.
Kadang mereka sudah masuk ke ruang tengah, nongol di meja makan, bahkan ke kamar mandi. Apa nggak risih? Ini efek dari saking akrab dan loyal dengan para pelanggan. Emang bener ya, kalau deket itu secukupnya saja, nggak usah terlalu deket. Nanti jadi kayak hubunganmu sama dia yang terlalu dekat hingga jadi toxic!
#3 Ruko jadi mudah kotor
Kebetulan jalan di depan ruko saya persis seperti jalanan di Lampung sana: sama-sama rusak! Sementara itu, pintu toko ibu saya selalu terbuka dari pagi hingga Maghrib. Maklum, warung ibu saya bukan Indomaret yang disekat sama pintu kaca.
Hal ini membuat debu di depan ruko berterbangan masuk. Sering ibu saya membersihkan barang dagangan sampai berkali-kali karena saking tebalnya debu tebalnya. Bahkan, setiap pagi, ayah saya selalu menyiram jalan supaya debu yang masuk ke toko nggak terlalu banyak.
Namun, di masa kemarau ini, sepertinya upaya itu terlihat sia-sia. Alhasil debu yang menempel di barang dagangan dan masuk ruko tak bisa dihindarkan. Ini membuat pembeli mikir dua kali kalau mau membeli barang yang berdebu. Kalau kayak gini terus si lama-lama bisa nggak laku-laku.
#4 Aktivitas sehari-hari jadi terganggu
Situasi ruko membuat aktivitas sehari-hari jadi sering terganggu. Contohnya ibu saya yang sering menghentikan kegiatan masaknya demi melayani pembeli. Yang lebih parah lagi, masakan ibu saya jadi gosong karena ditinggal melayani pembeli.
Kebetulan waktu itu saya sedang kuliah, bapak sedang di kebun, dan adik juga sedang nggak di rumah. Waktu pandemi saya juga sering menjaga ruko sembari kuliah online. Salah satu momen yang membuat saya naik pitam adalah keita pembeli datang saat dosen sedang mengabsen mahasiswa. Beberapa kali saya hampir dialfa karena tidak menjawab presensi. Untung saja nggak jadi dialfa. Kalau sampai dialfa yo ngalamat, lur!
Di balik keluh kesah yang saya rasakan, saya selalu bersyukur. Dari ruko inilah saya bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Toko inilah yang merawat keluarga kami dari saya bayi hingga kepala dua.
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Sewa Rumah atau KPR, Mana yang Cocok untuk Keluarga Baru?