Jadi barista itu susah. Harus ramah, harus bikin kopi enak (ini wajib), dan harus berhadapan dengan manusia-manusia yang kesombongannya sudah nyenggol langit. Salah satu orang sombong yang harus dihadapi barista adalah pendekar kopi.
Pendekar kopi itu kira-kira begini. Mereka mengaku expert di bidang kopi, tapi sebenarnya ya kosong. Nggak sejago itulah pokoknya. Pendekar kopi ini hanya segerombolan orang bermodalkan kenal dengan beberapa owner kedai kopi, atau beberapa barista dan roaster yang kemudian merasa sudah paling jago karena sering diajak ngobrol perihal kopi oleh kenalannya tadi. Biasanya mereka akan mendatangi kedai-kedai kopi kecil atau yang baru buka untuk unjuk gigi.
Pendekar kopi ini, biasanya dibenci barista. Ya wajar lah, sifatnya menyebalkan. Kenal kagak, kritiknya kenceng.
Tapi, biar kebencian barista bisa dilihat dalam perspektif yang lebih masuk akal, saya ceritakan beberapa hal yang bisa bikin kalian paham.
“Harusnya pakai susu merek Yamaha!”
Teman kerja di kedai tempat saya kerja dulu cerita, kalau dia pernah kedatangan pendekar kopi. Orang ini datang, dan menanyai merek susu yang dipakai di kedai tersebut. ketika dijawab, eh pendekar ini bilang kalau susu merek tersebut, lebih enak susu merek lain.
Padahal, yang direkomendasikan oleh si pendekar tersebut malah jelas nggak cocok buat kopi. Teman saya sih cuman meringis melihat jurus cocot pendekar tersebut yang gagal. Setelah adu argumen perkara susu, tau apa yang dipesan pendekar tersebut?
Ice americano. Terserah dah.
“Gini-gini saya pencinta kopi, Mbak”
Cerita kedua adalah pengalaman saya sendiri. Saya kedatangan seorang pendekar kopi yang cukup stylist dan mengaku teman dari barista di kedai kopi ternama di daerah tempat saya bekerja. Ketika sampai pendekar kopi tersebut langsung memesan espresso. Saya pun menanyai apakah dia sudah tahu dan pernah mencoba espresso sebelumnya. Takutnya jika belum pernah mencoba nanti dia tidak bisa menikmati pesanannya karena lidah yang belum terbiasa dengan kentalnya rasa kopi pada espresso. Namun sayang, niat baik saya malah dijawab dengan tidak menyenangkan.
“Mba jangan remehin saya ya, gini-gini saya pencinta kopi.” Widih, ampus bon.
Baca halaman selanjutnya
Minta espresso, berakhir americano