Surabaya di kala Ramadan selalu meriah. Mulai dari buka bersama, mengaji dan tadarus, hingga kegiatan kolektif bernama tradisi Sahur On The Road (SOTR). Namun, tahun ini, rasanya bakal berbeda karena SOTR wajib berizin. Kebijakan yang aneh mengingat parkir liar, yang lebih meresahkan, “seperti dibiarkan” oleh Pemkot Surabaya.
Jadi, beberapa hari yang lalu, Pemkot Surabaya mengeluarkan Surat Edaran (SE) Wali Kota. Isinya, penyelenggara kegiatan selama bulan Ramadan, termasuk SOTR, harus mengantongi izin.
Kalau soal perizinan, sih, saya nggak terlalu mempermasalahkan. Namun, yang konyol dari Pemkot Surabaya adalah alasannya. Kata mereka, acara-acara Ramadan itu sering menyebabkan macet. Nah, alasan tersebut jelas nggak masuk akal untuk SOTR, di mana acaranya dini hari, jalanan kan sepi.
Daftar Isi
Surat Edaran Pemkot Surabaya dan perkara SOTR
Jadi, jika menengok SE Wali Kota, tujuannya itu baik. Misal, bagi setiap pengurus masjid, musala, lembaga sosial keagamaan, hingga kelompok masyarakat, untuk menyalurkan makanan gratis berupa takjil atau sahur, melalui tempat-tempat yang telah ditentukan. Ini baik karena pembagian yang sembarangan di pinggir jalan memang bisa bikin macet. Apalagi buka puasa itu berada berdekatan dengan jam pulang kantor.
Iya, memang, situasi akan jadi “hambar”, karena Surabaya jadi nggak kayak dulu. Tapi, di satu sisi, saya masih bisa memahaminya. Nah, untuk SOTR sendiri, saya juga lumayan setuju.
Kata Eri Cahyadi, Wali Kota Surabaya: “Kegiatan membangunkan sahur atau patroli sahur, dapat dilaksanakan dengan tertib agar tidak mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Termasuk sahur bersama atau sahur on the road, wajib izin ke aparat setempat.”
Kuncinya ada ketertiban dan ketentraman. Maklum, ada saja yang memanfaatkan SOTR menjadi ajang tawuran. Dan jelas, tawuran itu bukan semangat Ramadan.
Sampai di sini, saya bisa memahami, meski kemeriahan bulan puasa mungkin sedikit berkurang. Nah, kalau Pemkot Surabaya sampai “repot” menganjurkan SOTR dan segala acara di bulan puasa mengantongi izin, kenapa parkir liar seperti dibiarkan padahal sudah banyak yang protes.
Acara bulan puasa “dipersulit”, tapi parkir liar masih melejit
Kalau Pemkot Surabaya bekerja keras membuat tata tertib dan menerapkan aturan, maka itu memang baik adanya. Namun, wajarnya, ketetapan itu berlaku di semua aspek, dong. Jadi, kalau Surabaya mewajibkan SOTR dan semua kegiatan bulan puasa ada izinnya, kenapa parkir liar YANG SUDAH PASTI TIDAK PUNYA IZIN seperti dibiarkan?
Padahal, masalah ini sudah menjadi penyakit kronis di Surabaya yang tak kunjung terobati. Bahkan, menemukan parkir liar di Surabaya itu nggak sulit.
Sudah ada di banyak tempat, tarif parkir nggak ngotak, sampai teman saya ada yang menjadi korban parkiran liar. Jadi, dia menjadi korban kecelakaan karena ditabrak oleh pemotor yang keluar dari tempat parkir liar. Siapa yang akan bertanggung jawab? Nggak ada yang mau! Wali Kota? Halah!
Beberapa waktu lalu, saya pernah menulis artikel di Terminal Mojok dengan judul “Surabaya adalah Tempat Paling Nyaman di Jawa Timur, Asalkan Parkir Liar Diberantas Total”. Dalam artikel tersebut, saya memaparkan bagaimana problem parkir liar di Surabaya telah meresahkan masyarakat dan mengganggu keindahan kota. Jadi silakan Pemkot Surabaya Terhormat Sejagat Raya untuk membaca tulisan saya itu.
Parkir liar bisa menjadi indikator sebuah daerah belum aman bagi pendatang
Menurut saya, parkir liar bisa menjadi indikator bahwa Surabaya belum sepenuhnya aman bagi pendatang. Apalagi beberapa waktu lalu ada konflik antara juru parkir dengan Dishub Kota. Perseteruan itu ternyata karena adanya penertiban pembayaran parkir yang harus menggunakan QRIS sebagai alat pembayaran.
Kebijakan ini sangat baik, karena menghindari jukir-jukir liar yang kadang mematok harga parkir tidak sesuai dengan aturan. Juga, agar setoran jukir ke Dishub sesuai, tidak dimanipulasi.
Adanya konflik ini memberikan gambaran bahwa masih terdapat ketidakseimbangan dalam penataan kota oleh Pemkot Surabaya. Maksud saya, bagaimana Kota Surabaya mau maju dan nyaman bagi wisatawan pendatang, lha wong oknum-oknum tukang parkirnya saja sulit diberantas dan diajak maju. Seharusnya, bentuk kemajuan seperti ini malah menjadi branding bagi Kota Surabaya agar terkenal dan ditiru banyak daerah lain.
Itulah pekerjaan rumah yang lebih urgen bagi Pemkot Surabaya. Menerapkan aturan untuk SOTR dan acara di bulan puasa itu baik. Namun, jangan lupakan juga kalau ada masalah kronis yang malah kayak dibiarkan selalu ada dan tumbuh subur. Adil, dong! Payah!
Penulis: Adhitiya Prasta Pratama
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Tukang Parkir Liar Nggak Hanya Bikin Pengendara Sebel, tapi Juga Bikin Pengusaha Kecil Bangkrut