Sebelum tulisan ini dibuat, saya punya harapan tinggi pada kemajuan transportasi umum Surabaya. Bagaimana tidak, kemunculan Suroboyo Bus sebagai transportasi umum pertama yang dikelola dengan “serius” begitu disambut oleh banyak orang. Meskipun ada beberapa kekurangan saat itu, tapi wajar, namanya juga masih baru.
Angin segar berikutnya juga datang dari pemkot yang mengeluarkan angkutan feeder bernama Wirawiri Suroboyo untuk mendorong minat masyarakat pada transportasi umum. Tak tanggung-tanggung, Pemkot Surabaya bahkan mengambil alih pengelolaan Trans Semanggi dari Kementerian Perhubungan demi menciptakan sistem yang terintegrasi antar-armada.
Praktis, berbagai hal tersebut membuat saya saat itu percaya kalau masa depan transportasi umum di Surabaya perlahan mulai cerah. Akan tetapi, harapan saya langsung hancur lebur ketika kembali menggunakan transportasi umum setelah sekian lama.
Daftar Isi
Pengalaman buang-buang waktu karena transportasi umum Surabaya
Ceritanya beberapa hari lalu, saya sedang menemani kawan pergi ke Unesa Lidah Wetan. Posisi kami saat itu sedang berada di Unesa Ketintang. Jadi kami harus menempuh perjalanan kurang lebih selama 30 menit menggunakan motor. Mempertimbangkan matahari Surabaya yang begitu menyengat, motoran selama itu tentu akan sangat menyiksa.
Akhirnya, saya mengusulkan agar kami menjajal transportasi umum di Surabaya. Selain terlindungi dari panas, tarifnya juga lebih murah, hanya Rp2.500 bagi pelajar dan mahasiswa. Praktis, kawan saya pun menyetujui saran ini, sehingga kami langsung meluncur ke halte terdekat. Dan, inilah pintu awal menuju kekecewaan.
Perjalanan kami ternyata memakan waktu jauh lebih banyak daripada estimasi yang ditentukan. Bayangkan, untuk berangkat kami membutuhkan sekitar 1 jam. Sementara untuk arah kembali, memerlukan waktu 1 jam lebih 30 menit. Parahnya, waktu kami terbuang sia-sia karena menunggu armada yang tak kunjung lewat, kalaupun ada pasti sudah penuh.
Iya, saya tahu kalau menggunakan transportasi umum pasti harus menunggu, tapi yang ini kebangetan. Mosok perjalanan yang hanya 30 menit jadi sampai 1 jam lebih?
Wirawiri Suroboyo yang salah fungsi
Menurut saya, penyebab terjadinya molor waktu yang berlebihan ini adalah kesalahan memilih transportasi umum di Surabaya untuk rute yang ditetapkan. Saya akan jelaskan singkat, untuk ke Unesa Lidah Wetan dari Unesa Ketintang, saya perlu melewati dua rute. Rute pertama adalah Purabaya–Perak, dan rute kedua Terminal Joyoboyo–Yono Suwoyo.
Dulu, kedua rute ini masih dilayani oleh Suroboyo Bus, sehingga meskipun termasuk rute yang padat, tidak terjadi penumpukan penumpang di halte karena satu bus bisa muat lebih dari 60 orang. Masalahnya, rute Terminal Joyoboyo–Yono Suwoyo sekarang sudah diganti dengan rute baru Terminal Joyoboyo–Lakarsantri yang dilayani Wirawiri Suroboyo.
Nah, di sini sumber masalahnya. Wirawiri Suroboyo seharusnya hanya berfungsi sebagai feeder. Jadi, fungsinya cuma untuk mengumpulkan orang untuk dioper ke rute utama atau angkutan umum yang lebih besar. Oleh karena itu, ukurannya dibuat lebih kecil, hanya muat sekitar 8 orang. Tapi, di kasus ini, Wirawiri justru mengambil jalur milik transportasi umum Surabaya lainnya, Suroboyo Bus.
Jadi, ya, sudah ditebak kalau akhirnya mereka kewalahan sendiri. Bayangkan, di Terminal Joyoboyo, angkutan Wirawiri pasti sudah langsung penuh hanya dalam hitungan detik. Padahal, selisih tiap angkutannya itu 15 menit. Kalau nggak kebagian, ya, harus nunggu 15 menit lagi, gitu terus sampai kebagian kursi.
Nggak heran, kalau terjadi penumpukan penumpang di halte Marmoyo. Padahal, halte ini posisinya tepat setelah Terminal Joyoboyo, tapi mereka sering kali nggak kebagian kursi. Lha, gimana, wong sudah penuh duluan. Bahkan, petugas Wirawiri Suroboyo sendiri mengatakan kalau sebaiknya mereka jalan kaki ke Terminal Joyoboyo agar nggak menunggu terlalu lama.
Fasilitas armada yang nggak diperbaiki
Selain hal-hal yang sudah saya sebutkan di atas, ada satu lagi yang mengganjal perasaan saya ketika menggunakan transportasi umum di Surabaya. Sekitar satu tahun lalu, saya sedang sering-seringnya menggunakan transportasi umum. Dan, terus terang nggak ada masalah yang berarti, kecuali keterbatasan rute yang tersedia.
Akan tetapi, ketika saya mencoba lagi beberapa hari lalu, ternyata sudah banyak fasilitas armada yang butuh diperbaiki. Misalnya, di armada Suroboyo Bus yang saya kendarai saat itu AC-nya sudah nggak dingin, LED penunjuk rute rusak, bel untuk berhenti nggak berfungsi, dan colokan USB juga nggak bisa digunakan.
Sementara di unit Wirawiri Suroboyo kerusakannya lebih minim, tapi krusial, yakni pada papan LED penunjuk rute di bagian atas yang nggak bisa dirubah. Akibatnya, saya sempat beberapa kali salah memberhentikan armada karena hal ini. Beruntung petugasnya ramah, sehingga mau menjelaskan kalau terjadi kerusakan di penunjuk rute dan memberitahu armada mana yang seharusnya saya naiki.
Itulah kekecewaan saya terhadap transportasi umum di Surabaya. Harusnya sesuatu itu mengalami perbaikan dan peningkatan kualitas seiring berjalannya waktu. Lha, ini malah sebaliknya, awalnya bagus, tapi seiring waktu malah makin merosot. Ayolah, Pemkot Surabaya, tolong ini dibenahi dulu. Ini saja belum beres, kok, udah buru-buru mau bikin kereta tanpa rel. Ih, gemes banget jadi pengin cubit.
Penulis: Dito Yudhistira Iksandy
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.