Pemersatu Bangsa Sebenarnya adalah Cendol Dawet

cendol dawet

cendol dawet

“Cendol dawet, cendol dawet seger, lima ratusan gak pake ketan. Ji, ro, lu, pat, limo, enem, pitu, wolu. Tak kintang-kintang, tak kintang-kintang, tak kintang-kintang, lololo, ngono lho!”

Ya, inilah bukti nyata pertama bahwa cendol dawet merupakan pemersatu bangsa. Pasti ada beberapa dari kalian yang membaca kalimat diatas dengan teriakan ambyar baik diucapkan, maupun dipendam dalam hati.

Hypenya jiwa ambyar kini menyerang hampir semua kalangan masyarakat di Indonesia. Mungkin bisa dikatakan hampir sama dengan saat dulu hype-hypenya senja, hujan, kopi dan playlist band indie. Namun, menurut saya, hype cendol dawet ini lebih merakyat karena sempat ada video viral sekumpulan murid SD yang menyahut ‘cendol dawet’ dengan sangat fasih melebihi kefasihan menyebutkan Pancasila. Tapi, menariknya, sobat ambyar kini kebanyakan adalah kalangan pemuda Indonesia yang kondisi hatinya sedang hancur alias ambyar, dan pikirannya meledak alias modyar.

Nggak bisa dipungkiri juga, kalau memang dari masa ke masa, pastilah jiwa muda yang hatinya rentan terluka ini punya sesi ‘galau’ dengan sebuah lagu, sambil memegang foto mantan, atau sekedar divisualisasikan lewat pikiran, lalu kadang-kadang sekalian nangis kalau memang lagi kondusif. Saya dulu juga gitu. hehe

Dari era lagu Fall For You, lalu beranjak ke era hacep tapi liriknya dalem banget seperti Stay The Night misalnya atau Don’t Let Me Down, lalu datang angkatan per-indie-an duniawi dengan lagu galau Sampai Jadi Debu, dan saat ini hadirlah era per-ambyar-an pemuda seantero raya dengan lagu galau mulai dari Cidro sampai Kartonyono Medhot Janji.

Jika kamu bertanya-tanya atau mungkin belum terasa, sepowerful apa cendol dawet itu, mungkin kamu harus merasakan cedera cinta sesaat, lalu merenung di kamar dan memindahkan Spotify-mu dari yang awalnya playlist classy kamu, menjadi playlist lagu-lagu galau ambyar. Nikmatnya? MasyaAllah, surgawi firdausyi. Rasanya galau, tapi ya pengen joget. Tapi galau. Tapi. Ah, susah didefinisikan.

Minggu lalu, untuk pertama kalinya saya menghadiri sebuah event bertakjub Sobat Ambyar yang diadakan di Tebing Breksi Yogyakarta. Berbekal nol lagu Didi Kempot yang saya hafal, saya pede-pede saja datang ke konser tersebut dengan kondisi sedikit flu dan pening. Rasanya cukup salah alamat juga karena lagu ambyar yang saya hafal sejauh ini cuman Kartonyono Medhot Janji, itupun cuman bagian reff-nya saja.

Saya kira, konsernya begitu sepi. Saya masuk sambil santai, mengira konsernya belum mulai. Berjalan agak lama, ternyata saya yang kucluk, nggak tahu kalo stagenya di bawah. Sungguhhh ramaaai! betul-betul seperti kerumunan demo di depan Gedung DPR. Tanpa disangka-sangka, saya yang bekal lagu Didi Kempotnya nol, ternyata bisa menikmati konsernya juga. Saya joget sejoget-jogetnya, dan klimaksnya adalah pada saat semua berteriak “cendol dawet!” Byuhh, semuanya benar-benar berteriak kompak, tanpa ada latihan atau briefing sebelumnya. Kerumunan itu serasa punya harmoni tersendiri yang tersalur lewat intuisi. Widih!

Lalu, saya pun mengetahui mengapa disebut ambyar adalah memang benar-benar ambyar dalam konser tersebut. Ada mereka-mereka yang datang dengan kisah cinta yang rumit, sehingga yhaaa, joget sih joget, tapi setelah itu mereka benar-benar ambyar, keluar dari kerumunan, sambil mau pingsan, mabuk, dan muntah. Pikir saya, oh ini to, kenapa kok namanya sobat ambyar. Ya memang literally ambyar banget wicis saya gak expect ini bakal happen.

Tetapi, tahu tidak? Di era sobat ambyar ini, dan seusai menghadiri event tersebut, saya mendapatkan beberapa poin penting yang ternyata sangat berpengaruh dan menjadi alasan mengapa saya menulis artikel ini. Kita tahu Indonesia sekarang lagi chaos-chaosnya, apalagi terkait masalah tidak melestarikan budaya, duh. Para pemuda nggak jarang dibilang sudah terpengaruh dengan budaya asing. Sudah menjadi lagu lama kalau banyak pemuda yang lebih suka karya-karya mereka yang dari luar negeri ketimbang yang dari dalam negeri, bukan? Tapi, stigma ini ternyata sepertinya bisa dipatahkan oleh adanya cendol dawet ini.

Bagaimana tidak, lha wong gara-gara cendol dawet, hampir seluruh umat, semua kaum saja bisa bersatu setelah mengatakan cendol dawet sambil berjoget ria, dengan penuh kebahagiaan yang tiada dua. Bayangkan saja, dengan hal itu kita bisa bersatu banget dalam hal apapun. Bhinneka Tunggal Ika bakal lebih berlaku lagi dengan senjata cendol dawet.

Katakanlah, terkait RUU KUHP yang banyak masyarakat kontra dengan hal tersebut, berdemo di depan Gedung  DPR, sambil memutarkan lagu Pamer Bojo, lalu tiba-tiba, anggota DPR keluar, sambil membawa RUU KUHP yang hampir disahkan sambil menyahuti lagu tersebut dan berteriak, “cendol dawet?” Lalu, semua rakyat yang berdemo menyahut, “cendol dawet seger!” Kemudian disahut lagi, “piro?” Dilanjut dengan, “lima ratusan!” dan akhirnya berakhir dengan persatuan Indonesia sesuai sila ke-3.

RUU KUHP kemudian dibatalkan, dan kita semua berdamai dengan tagline persatuan cendol dawet. hehe, seru kali ya? Atau mungkin, terkait masalah agama yang menjadi sangat sensitif beberapa tahun silam ini, juga bisa dipecahkan begitu saja dengan tagline kebangsaan ini.

Tagline ini tanpa disadari juga ternyata mampu mengembalikan identitas bangsa ‘Indonesia’. Bagaimana tidak, dulunya termasuk saya pun juga, amat melihat dangdut sebelah mata. Genre dangdut seolah menjadi genre yang sangat amat rendah. Eh, tidak juga. Di mikrolet juga terkadang memutarkan lagu DJ, alias hacep, tapi yhaaa sebenarnya juga disertai dengan bumbu-bumbu dangdut yang membuat leher supir ke kanan dan ke kiri … ke kiri, ke kiri, ke kiri maniseeee~

Tapi, coba lihat sekarang? Kemajuan sekali ternyata. Playlist pemuda-pemudi Indonesia juga rata-rata disertai dengan lagu dangdut. Walaupun tidak didengarkan secara intens, setidaknya, pemuda-pemudi Indonesia tidak begitu menutup diri atas adanya genre ini sebagai salah satu ciri khas Indonesia. Baik diakui atau tidak, mereka pasti tahu atau bahkan punya satu lagu favorit dari sekian banyak lagu dangdut populer. Tidak lagi menganggap jijik genre tersebut, atau benar-benar, “Ih! Lo rendahan banget sih, dengerinnya dangdut!” Bahkan sekarang, genre dangdut, dan tagline cendol dawet tidak menentukan tingkat intelek seseorang. Iya tidak? Lagipula, negara mana lagi sih, yang punya genre dangdut kalau tidak Indonesia?

Yhaaa, begitu sih. Yang bisa diharapkan untuk selanjutnya adalah semoga semakin banyak hal-hal kecil yang akan kembali menumbuhkan jati diri bangsa Indonesia. Semoga pemuda-pemudi Indonesia yang menjadi harapan generasi emas 2045 semakin be yourself dengan kultur yang sebenarnya paten milik bangsa kita tercinta. Semoga Indonesia bisa semakin bersatu lewat media apapun, budaya apapun, cara apapun asal positif dan segar seperti cendol dawet! (*)

BACA JUGA Generasi K (Keminter dan Karatan) Harusnya Berkaca Dulu Sebelum Nyinyiri Aksi Mahasiswa atau tulisan Nadya Rizqi Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version