Lewat sudah 1 tahun lebih sejak pandemi Covid-19 menghantam Indonesia. Bukannya kunjung reda sejak distribusi vaksin masuk Indonesia, pandemi malah makin parah dan menyebar. Apalagi disinyalir varian Covid-19 yang lebih mematikan sudah masuk Indonesia dari negara lain. Pemandangan pasien dirawat di pelataran parkir hingga suara ambulans yang tidak berhenti lewat di jalan sudah jadi pemandangan biasa. Saya bahkan harus kehilangan sepupu saya dalam pandemi ini.
Namun, di saat rakyat masih berjuang untuk selamat dari virus dan himpitan ekonomi, ternyata masih banyak elite dan pejabat yang masih ongkang kaki seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Lihat saja pernyataan Juru Bicara Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi soal fasilitas kesehatan kolaps. Gatal rasanya saya ingin membawa si ibu ketemu sama teman saya yang dirawat di pelataran parkir sebuah rumah sakit swasta.
Di negara lain yang jumlah kasus Covid-19 nya lebih rendah saja seperti Jepang dan Taiwan, kita sudah melihat pemimpin pemerintah mereka meminta maaf kepada rakyatnya. Ada juga pemimpin yang minta maaf karena melanggar protokol kesehatan seperti Perdana Menteri Selandia Baru. Padahal dia cuma terfoto nggak pakai masker, bukan buat kerumunan dengan bagi-bagi bingkisan di tengah jalan. Kalau di Indonesia, yang ada bukannya minta maaf ke rakyatnya, malahan elitenya salahin rakyatnya sendiri.
Sebut saja ada seorang anak gubernur dari daerah nan istimewa yang malah menyalahkan masyarakat karena tidak mengikuti perintah pemerintah selama Covid-19. Dari serangkaian twitnya yang maha benar, dia menekankan bahwa rakyat harus gotong royong daripada mengeluh ke pemerintah tidak dapat bantuan sosial. Sang anak gubernur ini lalu berkata bahwa salah rakyatnya sendiri tidak mau ikutin protokol kesehatan padahal pemerintah pusat dan daerah sudah kasih banyak bantuan.
Merasa aneh dengan argumen di atas? Ya jelas, si anak gubernur menganggap pandemi terjadi karena tindakan rakyat itu bodoh bukan ketidakmampuan pemerintah. Pastinya bukan karena para menteri-menteri kabinet meremehkan Covid-19 di awal pandemi dengan kelakar nasi kucing dan self-limited disease. Apalagi salah pemerintah daerah yang mencanangkan Work from Yogyakarta saat jumlah positif Covid-19 merangkak naik bulan lalu.
Pemerintah itu sudah pasti benar dan tidak ada salah, jadi rakyat mingkem aja dan ikutin instruksi pejabat. Nggak peduli jika bantuan sosial pemerintah asalnya dari duit pajak rakyat juga. Persetan jika negara ini adalah negara hukum dan pemerintah memang sudah seharusnya memberi bantuan menurut UU. Apa kabar Pasal 56 Ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2018? Saya masih menunggu pemerintah kasih makan gratis tetangga saya yang karantina rumah, nih.
Lalu apakah relevan menyalahkan rakyat kecil dengan modal masker doang atas pandemi ini? Apakah pedagang pasar yang tetap harus berjualan untuk sesuap nasi patut dipersalahkan atas masih bukanya bandara untuk pekerja asing? Apakah sopir Gojek yang cuma mau kejar setoran buat susu anaknya patut dipersalahkan atas kebijakan yang menggembar-gemborkan pariwisata di tengah pandemi? Apakah kita patut mempersalahkan pekerja yang tetap harus desak-desakan di KRL karena tuntutan kantor atas perilaku meremehkan Covid-19 para pejabat?
Sudah tentu jawabannya tidak, tidak, dan tidak. Pemerintah sudah diwajibkan undang-undang untuk menangani pandemi dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat miskin, maka kita sebagai pembayar pajak sudah seharusnya tidak lagi saling menyalahkan satu sama lain. Harusnya kita bersama-sama menuntut mereka yang punya kewenangan untuk melaksanakan undang-undang terkait pemenuhan kebutuhan pokok dan penutupan akses internasional ke Indonesia.
Jika di analogikan, pembayar pajak itu adalah pelanggan dan pemerintah adalah penjualnya. Entah itu pekerja kantoran yang bayar pajak PPh dari gajinya ataupun pembantu rumah tangga yang cuma bayar PPN saat beli Indomie di warung, mereka semua pelanggan. Jika pelanggan yang sudah bayar protes, sudah wajar jika penjual meresponsnya, kan? Malahan kalau perlu penjual harus minta maaf jika pelayanan mereka di bawah standar.
Namun, yang terjadi saat ini malah kebalikannya. Berasa kaya kamu makan di satu warteg, dan menemukan ada kecoa di nasimu. Saat kamu marahi penjualnya, bukannya minta maaf dia malah ceramah balik ke pelanggan soal “Tata krama” dan “Sopan santun”. Ujung-ujungnya, penjualnya tanya balik ke pembelinya, “Jadi solusimu apa biar wartegku bebas kecoa?” Lalu semuanya ditutup dengan pernyataan, “Salah sendiri kamu tidak menjaga kebersihan wartegku”. Ndassmuuuuuu!
BACA JUGA Prediksi Kondisi Dunia Kerja Setelah Pandemi: Mungkinkah akan Ada Perekrutan Besar-besaran? dan tulisan Raynal Arrung Bua lainnya.