Jangan Salah, Pelanggan Militan Coffee Shop Justru Membawa Petaka

Influencer Mahal Nggak Akan Bikin Bisnis Coffee Shop Ramai, kalau Emang Ampas ya Siap-siap Bangkrut

Influencer Mahal Nggak Akan Bikin Coffee Shop Ramai, kalau Emang Ampas ya Siap-siap Bangkrut (Pixabay.com)

Kalau ada segerombolan pelanggan yang rutin datang ke coffee shop, itu bisa saja menandakan coffee shop tersebut memang enak. Di sisi lain, itu juga bisa saja menjadi pertanda buruk. Pelanggan yang terlalu akrab dengan barista, biasanya akan semakin merasa nyaman, dan mulai berbuat sesukanya.

Awalnya memang rajin pesan dan membuat coffee shop untung. Akan tetapi semakin lama, karena semakin akrab, akan tiba masa di mana para pelanggan itu datang, tapi nggak pesen sama sekali. Cuma ngumpul, memenuhi tempat duduk, menemani barista ngeshift, dan akhirnya hanya jadi benalu.

Pelanggan militan membuat pelanggan lain tidak nyaman

Segerombolan orang seperti ini berpotensi membuat pelanggan lain merasa tidak nyaman. Main Mobile Legends sampai teriak-teriak dan mengeluarkan umpatan kotor, mengganti playlist music sesuka hati dan diputar keras-keras, tidak jarang membawa makanan dan minuman dari luar. Bahkan mabok-mabokan pasca coffee shop tutup. Pelanggan lain yang sudah ada di lokasi, bakal merasa tidak nyaman dan memutuskan cabut. Pelanggan yang baru mau datang, enggan masuk karena situasi terlalu barbar akibat manusia-manusia itu.

Bagi barista, atau pemilik coffee shop, orang-orang seperti ini kalau didiamkan bakal jadi benalu. Bawa makanan dan minuman dari luar, pinjem piring dan gelas sesuka hati, nggak mau nyuci, minta si barista membereskan area tempat mereka duduk, bahkan setelah coffee shop tutup, masih lanjut mabok sampai pagi. Kalau diberesin sendiri mungkin tidak masalah. Tetapi memangnya masih pada sadar? Yang dirugikan siapa? Barista yang shift pagi! Pasti situasi coffee shop sudah berantakan total.

Kenapa bisa tercipta ekosistem pelanggan militan?

Hal ini bisa terjadi karena pada awalnya, si barista memberi kelonggaran ke salah satu orang. Entah kelonggaran untuk membawa makanan dan minuman dari luar. Entah kelonggaran nongkrong tanpa pesen. Atau kelonggaran bisa mabok setelah tutup.

Akibat kelonggaran ini, temen-temen si pelanggan akhirnya diajak. Berdatangan satu per satu. Tanpa disadari, sudah tercipta satu geng pelanggan militan yang jarang pesan. Barista mau negur juga sungkan, soalnya sudah kenal. Nanti kalau ditegur, malah dianggap tidak asik. Di sisi lain, para pelanggan seperti ini juga tidak merasa bersalah.

Klaim mereka adalah, sudah membantu coffee shop itu terkesan ramai. Atau menganggap diri mereka berjasa karena sudah menemani si barista ngeshift. Atau entah klaim-klaim yang lainnya. Padahal kan semua itu hanya pembenaran atas kelakuan laknat mereka. Kalau mereka mengancam bakal cabut dan tidak datang lagi, ya sudah. Justru itu solusi terbaik bagi kedua pihak. Rasanya owner coffee shop juga akan senang-senang saja kalau tidak mendapatkan kunjungan dari mereka.

Sirkel tongkrongan owner coffee shop berpeluang besar menjadi pelanggan militan

Celakanya, apabila rombongan pelanggan itu adalah teman main si owner, nah itu akan semakin runyam. Apabila diusir, bukan hanya bikin para pelanggan cabut, tetapi cabut juga dari pertemanan. Kejadian ini sangat sering terjadi. Saya punya beberapa teman yang nekat membuat coffee shop, lantas rombongan temannya yang lain berdatangan, dan menjadi pelanggan jenis itu.

Menurut saya, ini sudah salah sejak awal sih. Menjadikan sirkel pertemanan sebagai pelanggan itu banyak tidak baiknya. Sebab, karena sudah satu tongkrongan sejak awal, pasti sudah tahu betul sifat-sifatnya. Entah yang tukang ngutang. Entah yang kecanduan judi online. Atau yang memang tidak punya uang, tapi maksa pengin nongkrong. Apabila sirkel pertemanan diisi oleh orang-orang seperti itu, lantas apa yang diharapkan dari mereka?

Jika dibawa ke coffee shop, pasti hanya akan menjadi benalu. Begini saja, kelakuan sebuah geng di coffee shop lain, akan mencerminkan kelakuan mereka jika nongkrong di coffee shop milikmu.

Banyak yang menganggap pelanggan militan coffee shop justru bagus(?)

Lucunya, saat saya membahas permasalahan ini di konten Instagram, ada juga orang yang menganggap bahwa pelanggan begini itu nggak salah. Sudah pasti yang model begini belum pernah merasakan dampak buruk pelanggan militan gini sih. Mereka beranggapan bahwa lebih baik coffee shop terlihat ramai daripada sepi. Bahkan sampai membandingkan dengan fenomena jasa nongkrong di coffee shop yang sempat ramai beberapa waktu lalu. Padahal kalau mau berpikir sedikit lebih normal saja, itu adalah dua hal berbeda.

Jasa meramaikan coffee shop itu, pengunjungnya hanya akan datang dan tidak menjadi barbar. Harapannya, pelanggan organik akan berdatangan karena ada pelanggan lain juga di sana. Perbedaan dengan pelanggan militan adalah, seperti yang tadi saya bahas, mereka itu berpotensi barbar. Siapa yang nyaman nongkrong di tempat yang banyak orang ugal-ugalannya?

Kalau dari luar sudah kelihatan suasana tidak kondusif, ya mending mencari tempat lain. Toh coffee shop tidak cuma itu.

Karena itu, owner harus mulai waspada. Kalau sudah ada tanda-tanda pelanggan militan tercipta, lebih baik kalau diberi ketegasan sejak awal. Daripada dibiarkan malah menjadi benalu. Entah bagaimana pemikiran orang lain ya. Tetapi kalau menurut saya, lebih baik memiliki pelanggan nonmilitan, meski terlihat sepi, daripada punya pelanggan militan dan terlihat ramai, tetapi hanya menjadi benalu.

Penulis: Riyanto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Bisnis Coffee Shop Itu Mahal, Nggak Ngotak, dan (Hampir) Pasti Bangkrut!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version