Berita tentang pelaporan balik oleh para terlapor pada kasus pelecehan seksual yang dialami oleh MS, mantan pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membuat forum bapak-bapak kembali gempita. Menjelang tengah malam, Pardi bahkan meminta forum yang mulai memanas di warung Yu Marmi itu untuk digeser ke teras toko konveksinya.
***
“Kalau alasannya adalah pencemaran nama baik berarti memang ini bentuk perlawanan dari para pelaku pelecehan seksual, Mas. Bentuk resistensi karena merasa diri mereka suci.” Terpal belum tergelar sempurna tapi Solikin sudah tak bisa menahan lontaran peluru argumennya.
“Terduga, Kin, Terduga!!…”, Kanapi mengacungkan telunjuknya. Nadanya tegas. “…belum ada keputusan bahwa mereka itu beneran pelaku pelecehan seksual, lho! Hati-hati.” Lanjutnya.
“Iya, Kin. Kamu harus adil melihat masalah seperti ini, bahkan sejak dalam pikiran.” Cak Narto yang belum sempurna duduk menanggapi.
“Bahwa harus adil, aku setuju, Cak…” Solikin mengeluarkan satu per satu isi sakunya. Menjejerkan rapi di depan lipatan kaki: dua buah hape, sebungkus rokok, korek api, dan sepotong tahu isi sisa dari warung Yu Marmi, “…tapi pada kasus seperti ini, menurutku, bentuk keadilan yang pas ya berpihak ke korban pelecehan seksual, tanpa harus menunggu putusan vonis di pengadilan.”
“Lho lho lho, berpihak ke korban memang keharusan, dan itu satu hal, Kin”, sebatang rokok terselip di bibir Kanapi, “…tapi menghakimi para terlapor itu tanpa menunggu putusan hakim, itu hal lain lagi.” Kanapi menggoyang jempolnya, membuat gestur meminjam korek.
“Ah, Sampean kaya nggak ngerti aja proses peradilan di sini seperti apa aja, Mas”, dilemparkannya korek ke arah Kanapi, “…lihat sekarang, korbannya malah dilaporkan balik dengan pasal pencemaran nama baik oleh para pelaku, eh terduga pelaku itu. Kan malah dua kali babak belur itu korbannya.” Gerutu Solikin.
“Lha emang masalahnya di mana, Kin? Kan memang sudah diatur, tho, bahwa setiap orang bisa melaporkan jika merasa nama baiknya sudah dicemarkan oleh orang lain.” Cak Narto memancing.
Solikin sudah siap membombardir. Tapi, “Mbok ini ambil kopimu dulu, habis itu baru wasweswos lagi.” Ujar Pardi menggoda sambil mengulurkan kopi dalam gelas plastik. Semua terkekeh. Air muka Solikin sedikit mlotrok.
“Lho gini lho maksudku, Caaak…” Solikin bersemangat menjelaskan, “… ibaratnya nih, ya, Sampean melecehkan aku…”
“Ha selak nggak mungkin…” Cak Narto menyela. Terkekeh.
“Sik ta laaa…misalnya Sampean melecehkan aku nih, ya, selama berkali-kali. Terus aku trauma menahun sampai berefek ke kondisi fisik. Aku sudah lapor ke atasan, Pak Kamitua, misalnya. Tapi, nggak ditanggapi apalagi diselesaikan…” Solikin menjeda, mencecap kopinya, “…Ya sudah, tak viralin aja. Terus Sampean di-bully, dibrakoti netijen se-Nusantara. Sampean apa ya masih punya hati untuk melaporkan balik aku dengan pasal pencemaran nama baik, Cak? Nuraninya di manaaa??” Solikin menyeret panjang ujung kata-katanya.
“Modyar Sampean, Cak!!!”
“Hayoo… gimana, Cak?”
Pardi dan Kanapi bergiliran mengompori.
“Gini, Kin. Bahwa dalam kasus seperti ini kita harus berpihak kepada korban itu kita sudah sepakat, ya…” semua manggut-manggut, “…tapi pelaporan balik oleh para terduga pelaku itu ya sah-sah saja di mata hukum. Itu hak setiap warga negara. Tidak ada urusannya sama hati nurani. Dan merupakan tugas pihak yang berwenang untuk membuktikan tuduhan pencemaran nama baik itu.”
Daun kersen bergoyang pelan. Suasana forum terasa agak lebih khusyuk malam ini.
“Ibarat sebuah pertandingan tinju dengan gelanggang bernama proses hukum…” Cak Narto melanjutkan, “…setiap pukulan harus terukur dan tepat sasaran. Nafas dan footwork harus diatur. Jika pukulan kita tanpa perhitungan yang presisi, lawan akan dengan mudah mengelak atau justu meng-uppercut kita. Dan pertandingan ini menjadi sia-sia. Kita bisa kalah.”
“Sampean mbok ndak usah pakai analogi yang susah dipahami tho, Caak. Pukulan gimana maksud Sampean?” Solikin memburu.
“Gini lho, Kin. Narasi yang beredar ke publik oleh korban, yang kemarin sempat viral, itu kan menjelenterehkan nama-nama orang yang dituduh sebagai pelaku pelecehan dengan tidak disamarkan atau dibikin inisial, gitu. Maka itu menjadi semacam pukulan yang nggak terukur. Dan akhirnya kini, nama-nama itu merasa dicemarkan dan meng-uppercut balik.” Papar Cak Narto.
“Kok Sampean jadi terdengar menyalahkan korbannya, Cak?” Kanapi menggugat.
“Iya, Cak. Jangan victim blaming, dooong.” Pardi nimbrung.
“Lagian, ini kan usaha terakhir dari korban, Cak. Sudah bertahun-tahun lho kejadiannya. Mana mungkin korban memperhitungkan kemungkinan serangan balik semacam ini akan kejadian.” Tambah Solikin.
“Lho, sik ta la. Di bagian mana aku menyalahkan korban? Aku kan cuma berusaha mendudukkan permasalahan.” Cak Narto mengatur nafas. Membakar sebatang kretek, “Di hadapan hukum, serangan balik semacam itu legal dan diakomodir. Meski pun kembali lagi: adalah tugas penyidik untuk membuktikan dan tugas hakim untuk memutuskan.” Cak Narto beringsut. Kini wajahnya yang tampak mlotrok.
Suasana kembali hening. Cak Narto masih tampak mbesengut karena pendapatnya disalahartikan.
“Naaahh ini baru cocok!!” Pardi girang menyambut istrinya yang keluar menghidangkan bakwan yang masih mengepul di hadapan forum.
“Terus sebagai warga negara yang baik dan netijen yang perannya begitu vital, Cak…” Kanapi menggoda sambil meraih bakwan dan meletakkannya pada selembar tisu, “…apa yang bisa kita lakukan agar keadilan ditegakkan bagi semua pihak yang terlibat, Cak?”
“Mawowowo, wos…” suara Cak Narto terdengar tidak jelas dengan sekerat bakwan yang mengepul di ujung congor. Ia kepanasan. Semua yang duduk di sana tergelak melihat pemandangan itu.
“Mengawalnya, nDes…” kopi dicecap, sisa minyak di bibir dan tangan dilap, “…satu-satunya yang bisa kita lakukan ya cuma: mengawalnya. Agar jika dalam prosesnya ada sesuatu yang tidak tepat bisa kita protes, viralkan atau bahkan kita gugat bersama-sama di pengadilan.” Kalimat Cak Narto pepak kali ini.
“Biarkan proses hukum berjalan. Biarkan keadilan ditegakkan. Dan biarkan para perundung dan predator seksual di luar sana tahu, bahwa mungkin dia bisa menyerang balik dan merasa bisa menjaga nama baiknya, tapi sanksi sosial akan kita gelar dan hantamkan ke hadapan mereka. Traktirrrrrr…” Cak Narto mengakhiri kalimatnya dengan mengepalkan tangan di udara. Menirukan gestur para orator unjuk rasa di podium.
***
Dingin udara malam bertiup lembut dari arah Koramil di seberang toko konveksi Pardi, tempat forum malam ini. Mereka berempat larut dalam canda dan cengkerama.
“Diskusi ya diskusi. Forum ya forum. Tapi, jangan lupa protokol, dong. Ayo jaga jarak! Itu dipakai maskernya!” Dari atas motor dinasnya, Pak Babin yang selesai piket malam menghampiri dan membuyarkan keasyikan.
“Siaap, nDaaaaaannnn…” serempak mereka menjawab diiringi gelak tawa.