Hari-hari ini adalah saat yang tepat untuk mengingat kembali, bahwa kita sebagai bangsa pernah punya standar moral yang tinggi dalam menghindari konflik kepentingan dan korupsi di kalangan pejabat publik.
Rahmi Hatta pernah bercerita, tahun 1970-an, Gubernur Ali Sadikin ingin membantu biaya listrik rumah Bung Hatta di Jalan Diponegoro, Jakarta. Tapi Ali Sadikin khawatir Bung Hatta menolak. Lalu ia membuat narasi Bung Hatta sebagai “Warga Teladan” sehingga bebas biaya listrik.
Kisah lain yang kerap kita dengar adalah bagaimana Bung Hatta melarang keras trio Meutia, Gemala, dan Halida menggunakan mobil dinas, untuk keperluan keluarga seperti antar jemput dari rumah Jalan Proklamasi ke tempat peristirahatan keluarga di Mega Mendung.
Meutia Hatta juga bercerita tentang tabungan ibunya yang jeblok gara-gara sanering. Uang dipotong dua, yang satu berlaku nilai separuhnya, yang satu disimpan dan dicairkan 30 tahun kemudian.
“Kalau aku kasih tahu kamu, nanti kamu kasih tahu ibumu, dan seterusnya,” kata Bung Hatta
Putri mantan Gubernur Bank Indonesia, Syafruddin Prawiranegara bercerita, saat pemotongan uang kertas (sanering alias “Gunting Syafruddin”) tahun 1950, keluarganya juga tidak diberi tahu. Nilai harta mereka tinggal separuh.
“Masa hanya rakyat yang kena,” ujar Syaf ke keluarganya
Sebagai Menteri Keuangan dan dua kali menjabat Gubernur Bank Indonesia, Syafruddin Prawiranegara tak pernah menerima tamu urusan partai (Masyumi) di kantor. Ia pernah menolak bonus hasil nasionalisasi perusahaan Belanda dengan alasan “Kita kan sudah menerima gaji dari negara.”
Hasnah Faizah, putri mantan Perdana Menteri Muhammad Natsir bercerita tentang pakaian-pakaian ayahnya yang lusuh dan sobek, namun dijahit sendiri, menolak menempat rumah di Pondok Indah, atau langsung menanggalkan mobil dinas di hari ia meletakkan jabatannya.
Ini bukan Jokowi. Ini Jenderal Hoegeng, Kapolri (1968-1971). Gus Dur menyebutnya sebagai salah satu dari tiga polisi yang tidak bisa disuap setelah polisi tidur dan patung polisi. Sebagai Kapolda Sumut, ia pernah mengeluarkan piano dari rumah dinasnya karena dianggap gratifikasi.
“Saya, mbak Rini, dan adik itu tidak pernah boleh menyelenggarakan pesta ulang tahun. Kata, Bapak, ‘orang tidak bisa mendekati saya, tapi akan mendekati dari keluarga dan orang-orang terdekat,’ karena itu kami tidak boleh bikin acara apapun,” kata Aditya Hoegeng, anak keduanya.
Ketika diberhentikan Soeharto sebagai Kapolri karena dianggap tak cocok lagi, keluarga Jenderal Hoegeng bisa menerima, tapi mereka bingung akan tinggal di mana, karena tidak punya rumah, tidak punya mobil. Semua fasilitas milik negara. Ini Ibu Merry Hoegeng, istri beliau.
Aditya ingin masuk tentara, dan Hoegeng tak pernah mau memberikan surat saksi atau memo. Akhirnya ia gagal. Begitu juga saat Rini, kakaknya, mau masuk ITB. “Kalian tes saja yang baik. Kalau diterima berarti kalian memang layak,” kata Aditya menirukan bapaknya.
Demikian, semoga menjadi refleksi kita semua di masa-masa yang murung dan suram ini.
sumber @watchdoc_ID 1. Memoar “Hoegeng” | 2. Memoar “Rahmi Hatta” | 3. Bab Yang Hilang “Negara Kesatuan Rasuah Indonesia” | (*)
BACA JUGA Berkat KPK Saya (Pernah) Merasa Bangga Pada Negara Ini atau tulisan Dandh Laksono lainnya. Follow Twittter Dandhy Laksono
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.