Dewan Perwakilan Rakyat kembali dihunjam berbagai kritik lantaran beberapa hari lalu mengesahkan produk hukum instan berupa revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba). Undang-Undang tersebut dinilai banyak pihak sangat menguntungkan para pebisnis dan di sisi lain eksploitatif, merugikan masyarakat, dan lingkungan hidup.
Ditarik lebih jauh sedikit, kita melihat pola yang sama saat revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Bahkan menimbulkan amukan massa yang menolak sampai melahirkan berbagai gerakan yang tidak kalah besarnya dengan Gerakan Reformasi ‘98.
Tentu untuk menilai suatu produk hukum kita nggak bisa asal menilai atau malah ikut-ikutan saja. Meski begitu menurut saya, bukan berarti agar bisa menilai, seseorang harus jadi mahasiswa hukum dulu. Entah itu bentuknya undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), peraturan pemerintah, hingga peraturan daerah. Paham ilmu hukum baru menilai, menurut saya, bukan hal mutlak.
Sebab, pertama, hukum itu lahir dari masyarakat itu sendiri. Kalau kata Prof. Satjipto selaku imam besar aliran hukum progresif, “Hukum itu ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” Jadi bisa dilihat bahwa hukum itu harus menyesuaikan kebutuhan manusia, bukan manusia yang harus tunduk pada hukum yang nggak sesuai kebutuhannya. It means selagi kalian masih jadi manusia, berhak-berhak saja untuk menilai.
Kedua, produk hukum itu dihasilkan dari berbagai ilmu lain atau bahasa kerennya multidispliner. Sehingga meski kamu bukan anak hukum, sah-sah saja kamu menilai atau bahkan bisa jadi kamu lebih ahli karena memiliki pengalaman nyata yang berbanding terbalik dengan aturan yang dibuat.
Atas dasar itulah, saya ingin sharing beberapa hal yang bisa dijadikan patokan dalam menilai suatu produk hukum. Ide tulisan ini terinspirasi dari artikel A-Z Omnibus Law. Jadi supaya kita nggak asal ikut-ikutan mendukung atau menolak, tapi kita paling nggak ada dasar dalam bersikap gitu loh.
Produk hukum yang baik harus melalui proses pembentukan yang baik
Tahapan paling penting dalam pembentukan produk hukum ada di bagian perencanaan dan penyusunan. Harus ada perencanaan yang mencakup berbagai landasan pokok, baik itu filosofis, sosiologis, yuridis, dan politis. Berbagai prinsip juga mesti dipenuhi, misal tentang prinsip kejelasan tujuan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, keterbukaan, dll.
Perlu dilihat bagaimana isi naskah akademiknya dan RUU-nya, sudah sesuai tinjauan teoretis dan empiris (baca: data lapangan) belum. Jangan sampai naskah akademiknya malah nggak ditemukan atau sudah terlampaui basi.
Produk hukum yang baik adalah yang responsif, yakni melibatkan partisipasi rakyat
Maknanya, peran masyarakat dalam membuat hukum itu sangat penting. Proses pembentukan hukum juga harus partisipatif dengan mengundang sebanyak-banyaknya elemen masyarakat, baik dari individu maupun kelompok.
Nah, bisa dibayangkan misal suatu produk hukum itu dibuat berdasarkan aspirasi rakyat. Tentu hukum tersebut bisa responsif apabila bisa menjawab kebutuhan rakyat. Memang kita memliki DPR dan DPRD sebagai wakil rakyat yang sah. Akan tetapi selalu menjadi pertanyaan mengenai rakyat mana yang diwakili? Bisa jadi suatu produk hukum memiliki dampak pada masyarakat adat, tapi malah yang diwakili ternyata masyarakat kota atau malah rakyatnya “abu-abu”. Kan nggak match akhirnya.
Produk hukum yang baik bukanlah yang dipakai untuk menegaskan kekuasaan penguasa
Kita semua tahu kalau penguasa itu jelas berkuasa. Yang berkuasa jelas punya wewenang untuk bertindak. Lalu, tindakannya harus dipatuhi oleh masyarakat. Sederhananya seperti itu, jadi melihat kenyataan bahwa penguasa, baik itu eksekutif, legislatif, maupun yudikatif memiliki kekuasaan. Jadi nggak perlu lah ditegaskan ulang kalau mereka berkuasa.
Maksudnya ya nggak usah memaksakan kehendak pribadi atau kelompok dalam membentuk suatu produk hukum. Utamakanlah kehendak dan kebutuhan masyarakat yang nggak berkuasa ini. Terkesan klise tapi ya memang begini. Lagi-lagi produk hukum itu harus melibatkan banyak elemen dan bukan segelintir penguasa atau orang yang “lebih berkuasa” di baliknya.
Produk hukum yang baik dibuat secara terbuka, bukan tertutup
Prinsip keterbukaan sangatlah penting dalam pembentukan suatu produk hukum, khususnya yang diatur dalam UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tenang, saya nggak akan jelasin pasal kok. Intinya saja yaitu meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Kok bisa?
Karena semakin terbukanya proses pembentukan produk hukum berarti semakin terbukanya kesempatan berbagai pihak untuk menilai, mengkritik, dan memberi saran terbaik. Tanpa harus menjadi anggota legislatif atau bagian dari eksekutif sekalipun. Intinya kita memiliki kedudukan yang setara dan makna demokrasi bukan jadi omong kosong belaka.
Makanya kita patut curiga kalau ada hukum yang dibuat secara tertutup, kurang transparan, dan tergesa-gesa. Kepentingan masyarakat luas atau kepentingan segelintir orang yang ada di baliknya?
Itulah beberapa panduan sederhana yang bisa digunakan dalam menilai suatu produk hukum telah disusun secara baik atau belum. Tenang panduan ini disusun berdasarkan beberapa sumber ilmiah dan dapat dijamin kebenarannya, jadi bukan asal nyeplos belaka.
Semoga dengan adanya panduan ini, bisa membantu dalam merumuskan sikap masing-masing. Apakah menolak atau mendukung suatu peraturan hukum. Hari gini jangan asal ikut-ikutan doang, mandiri ya, gaes. Mandiri dalam berpikir dan bersikap.
BACA JUGA Indonesia Negara Hukum tapi Masyarakatnya Lebih Suka Main Hakim Sendiri dan tulisan Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.