Pas Kecil Lihat Orang Dewasa Pacaran, Pas Dewasa Lihat Anak Kecil Pacaran

pacaran

pacaran

Setiap dari kita pasti punya kenangan masa kecil yang masih teringat sampai sekarang. Entah kenangan manis, pun kenangan yang tidak begitu manis. Satu dari sekian banyak kenangan yang tidak begitu manis dari masa kecil saya adalah: pernah ditegur sama orang dewasa karena dianggap mengganggu mereka pacaran. Duh!

Jadi ceritanya waktu itu saya dan beberapa teman saya (kurang lebih sepuluh orang) pergi ke salah satu tempat di daerah kami yang ada fasilitas taman bermain—untuk keluarga—nya. Di taman bermain itu ada mainan seperti perosotan, jungkat-jungkit, dan ayunan. Sesampainya di sana, kami pun berpencar, masing-masing mendatangi mainan yang memang sudah jadi incaran sejak masih di rumah.

Saya bersama tiga orang teman saya yang sama-sama ingin main ayunan, langsung berlari dengan penuh semangat. Bayangan akan nikmatnya main ayunan sudah menggantung di depan mata. Tetapi, betapa kecewanya kami saat tiba di sana ternyata ayunannya sudah ada yang mengisi. Yang mengisi adalah sepasang muda-mudi yang lagi pacaran. Loh tahu dari mana kalau mereka pacaran? Ya waktu kami ngeliatin mereka—mereka mungkin merasa risih—terus yang cowoknya menegur kami “Eh anak kecil, ngapain liatin orang pacaran?”  Begitu katanya, berarti mereka pacaran dong yah? Kalau ternyata tidak pacaran berarti friendzone? Eh salah maksud saya berarti cowok itu bohong.

Sejak saat itu, sampai detik ini, saya tidak pernah lupa bagaimana anehnya dituduh ngeliatin orang lagi pacaran. Padahal waktu itu kami bukan sengaja mau ngeliatin mereka ketawa-ketiwi sambil main ayunan—yang-mereka-sebut-dengan-lagi-pacaran. Kami tuh ngeliatin mereka biar mereka peka gitu loh. Udahan kek mainnya, masak nggak mau mengalah sama anak kecil.

Setelah ditegur itu, kami lantas pergi. Pergi dengan perasaan kecewa dan bingung. Kecewa karena tidak bisa main ayunan dan bingung juga karena dituduh mau ngeliatin mereka pacaran. Geer banget deh~

Sekian tahun berlalu, pada satu kesempatan, saya membawa anak saya ke sana. Niatnya ngajak main anak sambil nostalgia. Kan asyik bisa cerita ke anak, ini loh nak tempat mama dulu pernah lihat orang pacaran suka main ayunan sama teman-teman mama.

Setelah saya perhatikan, kok ada yang aneh yah dari tempat itu. Ayunannya sih masih dimainin sama anak kecil—anak SD atau SMP gitu lah. Tetapi situasinya berbeda. Sepasang anak kecil itu saling tatap-tatapan mesra, yang cewek senyum malu-malu manja gimana gitu. Keluar dari taman itu juga mereka jalan beriringan—sesekali saling pegangan tangan—yang cowok merangkul bahu yang cewek. Buset, itu mereka pacaran? Monmaap nih, untuk saat itu saya tidak bisa positive thinking bahwa mereka mungkin saja adik kakak. Hmm, kalau adik kakak ketemu gede sih mungkin yah, tapi kalau adik kakak yang saudaraan gitu, saya yakin tidak mungkin. Percaya deh sama saya!

Eh, masak sih waktu kecil saya ngeliatin orang dewasa pacaran, setelah dewasa saya ngeliatin anak kecil pacaran. Wah, nggak bener ini !!!1!!1

Fenomena ini sebenarnya bukan hal yang baru. Banyak dari kita yang sudah sering melihat langsung. Selain itu, entah sudah sesering apa foto atau postingan anak kecil yang pacaran menjadi viral di dunia maya. Foto yang mesra ditambah caption yang romantis, seringkali membuat kaum jomloan yang sudah dewasa merasa “kalah saing”. Anak kecil aja sudah gandengan, kamu kok betah ngejomlo? Begitulah kira-kira kalimat yang sering dilontarkan untuk menyerang para kaum jomlo, padahal yang menyerang juga ternyata masih jomlo. hahaha

Fenomena semacam ini pun sering kali dijadikan sebuah bahan tertawaan. Ya, gimana gitu kan yah lihat anak kecil sudah saling panggil honey.

Terlebih jika melihat interaksi mereka—anak kecil yang lagi pacaran—di media sosial. Kalimat-kalimat hiperbola dengan rayuan gombal terkadang berhasil membuat geleng-geleng kepala. Geleng-geleng kepala karena merasa lucu sekaligus prihatin.

Fenomena “unik” ini kemudian dianggap oleh banyak pihak sebagai akibat dari tayangan televisi (khususnya sinetron) yang semakin tidak mendidik. Latarnya di sekolah, tapi yang lebih banyak ditampilkan adalah adegan pacarannya. Hal ini juga tentu saja salah satu bentuk  dari penyalahgunaan media sosial. Anak-anak begitu bebas melihat konten yang tidak sesuai umurnya.

Pada dasarnya, yang namanya masih berusia anak kecil kan memang gampang meniru. Oleh karena itu, butuh peran orang tua dan keluarga untuk memperketat pengawasan. Memperketat pengawasan bukan berarti lantas anak-anak jadi terkekang dan tidak bebas loh yah, tapi setidaknya, pihak orang tua dan keluarga mengenal bagaimana aktivitas dan lingkar pergaulan anak tersebut.

Sebagai seorang ibu yang juga berstatus sebagai seorang anak, saya menyadari betul bagaimana beratnya menjadi orang tua. Zaman yang terus berubah, mau tidak mau ikut memaksa orang tua untuk ikut update.

Anak-anak yang mulai terpapar media sosial memang tidak bisa dilepaskan begitu saja—perlu pendampingan dari orang tua dan keluarga. Jadi, jika ada orang tua yang ikut bermain media sosial, saya rasa tidak selalu harus ditanggapi dengan negatif, selama yang dilakukan adalah untuk sesuatu yang tujuannya baik, ya kenapa tidak? Iya toh? (*)

 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai cara ini.

Exit mobile version