Pariwisata Banyuwangi Jangan Berharap Melampaui Bali, Perbaiki Dulu Kekurangan yang Lain

Surat Terbuka untuk Bupati Banyuwangi Terkait Minuman Keras (Unsplash)

Surat Terbuka untuk Bupati Banyuwangi Terkait Minuman Keras (Unsplash)

Perkembangan pariwisata di Jawa Timur tentu tidak akan terlepas dari Kabupaten Banyuwangi yang digadang-gadang bakal melesat menyusul Bali dan meninggalkan Jember. Hanya saja, banyak skeptisisme dalam pernyataan tersebut.

Misalnya, Banyuwangi dianggap mengekor Kabupaten Jember dengan meniru Jember Fashion Carnaval (JFC) gelaran festival terbesar yang diakui dunia. Bahkan dianggap sejajar dengan Rio Carnival di Rio de Janeiro, Brazil.

Tidak tanggung-tanggung, Banyuwangi memplagiasi dengan nama Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) yang konon digadang-gadang jadi fashion carnaval terbaik meski belum diakui seperti JFC dan sudah digelar beberapa waktu lalu. Tidak hanya meniru konsep, bahkan Dynand Fariz yang notabene pendiri JFC dibajak untuk bisa membuat BEC dikenal oleh dunia, meski tetap saja belum terlaksana.

Lalu tentang konsep ekowisata yang digaungkan di Banyuwangi sejak satu dekade terakhir terkesan maksa. Banyuwangi yang memiliki potensi beragam dipaksakan harus mengambil sisi bisnis pariwisata yang tentunya cukup menyulitkan bagi para warga lokal. Sebab mereka yang seharusnya petani atau bekerja di sektor lain seakan dipaksa oleh keadaan untuk mengadu nasib dengan potensi wisatanya.

Event adat yang tak lagi sakral

Idealnya, kritik terhadap pariwisata Banyuwangi memang harusnya makin gencar dilakukan. Lantaran, berbagai upaya yang dilakukan oleh pemangku kebijakan di sana selalu berbasis pada retorika yang belum terlihat bentuknya. Salah satu contohnya adalah memasukan event adat yang sakral dengan ditetapkan sebagai agenda Banyuwangi Festival. Hal itu justru membuat sisi kesakralan tradisi itu perlahan hilang.

Bahkan bentuk kesakralan yang hilang akibat protokoler pemangku kebijakan membuat beberapa event adat yang saya lihat berlangsung gagal. Seperti Penari Seblang Banyuwangi yang punya sesi trance sebagai keunikannya. Gara-gara berbagai kondisi yang tak proper, akhirnya bikin penari tak maksimal.

Kesakralan tradisi yang diobok-obok ini bikin kita bertanya-tanya, apakah intervensi ini sepadang? Atau malah menghilangkan identitas demi bisnis?

Pembangunan wisata Banyuwangi yang nanggung

Meski diakui berbagai inovasi terlihat dilakukan secara masif oleh pemangku kebijakan di Banyuwangi. Sayangnya yang kita lihat ya inovasinya itu-itu saja, seperti membangun Lorong Bambu tidak jauh dari Taman Blambangan Banyuwangi yang usianya 11-12 dengan patung bambu Getah-Getih di Jakarta.

Atau proses revitalisasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang setelah dibangun minim perawatan. Mulai sampah yang tidak dibersihkan, kolam ikan yang penuh lumut, hingga banyak penerangan yang padam. Sehingga membuat tempat tersebut jadi surga tersembunyi bagi muda-mudi yang dimabuk asmara lantaran gelap gulita seperti di RTH Maron Genteng dan Kedayunan Kabat.

Meski diakui memang wisata di Banyuwangi lebih banyak dibandingkan Kabupaten Jember. Tapi hal itu malah jadi bumerang, lantaran perawatan yang dilakukan tak sebanding dengan semangatnya dalam membangun. Akhirnya ya, kunjungannya menurun.

Seperti di Destinasi Wisata Air Terjun Lider di Kecamatan Songgon yang sebenarnya memiliki potensi alam sangat indah. Tapi, lantaran minim perawatan dan perbaikan di sana-sini membuat destinasi ini terkesan membahayakan bagi pengunjung.

Mulai dari potensi longsor di beberapa titik, jalur yang tertutup pohon tumbang sehingga membuat pengunjung harus susur sungai menuju air terjun. Saat susur sungai itulah yang membahayakan wisatawan lantaran potensi banjir ketika di wilayah hulu Gunung Raung diguyur hujan deras.

Harusnya terus berbenah dan niat membangun wisata

Saya, jujur saja, nggak bisa bayangkan kalau hal tersebut beneran kejadian. Saya tidak mendoakan pariwisata di Banyuwangi buruk. Tapi andai pembenahan tak segera dilakukan, hal-hal buruk menunggu. Sehingga perlu upaya serius yang dilakukan pemangku kebijakan, agar cita-cita melesat melampaui Bali tidak hanya imajinasi.

Banyuwangi tidak akan menyalip daerah mana pun dalam waktu yang begitu cepat jika polanya begitu-begitu saja. Tapi, jika caranya benar dengan terus berbenah dan niat membangun wisata, tentu saja semua bisa terjadi. Pada akhirnya, dunia wisata tidak selebar daun kelor, ada banyak hal yang bisa dilakukan agar tidak boncos.

Penulis: Anik Sajawi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Menebak Alasan Mitos Santet Tumbuh Subur di Banyuwangi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version