Bicara soal plastik di kehidupan saat ini, bagi saya rasanya dilematis. Ingin menggunakan tapi nanti dipikir tidak cinta terhadap lingkungan, parahnya lagi jika saya pamer dalam penggunaan plastik di media sosial mungkin nantinya akan ditegur oleh para SJW (Social Justice Warrior). Tapi, jika tidak menggunakan sama sekali sejujurnya dalam beberapa hal saya masih membutuhkan keberadaan plastik untuk urusan sehari-hari—walau terbilang tidak sering.
Sebut saja ketika ingin membuang sampah di rumah. Biasanya saya menampung bekas sisa makanan di rumah, bungkusan makanan, dan hal lain yang tidak digunakan di plastik terlebih dahulu untuk kemudian diletakkan pada tempat sampah. Jika sudah penuh, barulah dibuang dan diserahkan ke petugas kebersihan yang biasa keliling di rumah.
Bukannya tidak mau mencoba atau belajar mencintai lingkungan dengan cara mengurangi penggunaan plastik, namun saya belum menemukan cara lain agar sampah di rumah bisa ditampung selain menggunakan plastik. Apakah bisa dengan karung? Atau mungkin ada material lain?
Saat berbelanja di pasar tradisional pun modern, saya sudah membiasakan diri menggunakan totebag atau tas jinjing yang terbuat dari kain kanvas. Biasa dan mudah ditemui di pusat perbelanjaan, bisa didapat dengan membeli atau secara gratisan jika berbelanja pada nominal tertentu. Ditambah model dan desainnya pun beragam serta menarik. Tentu hal ini membuat saya lebih menyukai berbelanja dengan menggunakan totebag—dibanding plastik yang modelnya itu-itu saja.
Hal lain yang membuat saya lebih menyukai berbelanja dengan menggunakan totebag adalah ramainya gerakan untuk meminimalisir penggunaan plastik pada kehidupan sehari-hari. Selain itu, di Bogor, Pak Walikota Bima Arya juga sudah membuat himbauan untuk tidak menggunakan plastik saat berbelanja—khususnya di minimarket atau supermarket—dan baiknya menggunakan tas belanja yang ramah lingkungan.
Jika saya lupa membawa tas belanja, tentu biasanya akan ditawarkan oleh petugas untuk diganti dengan kardus. Sebetulnya bisa saja saya membayar plastik untuk kantong belanja, namun agar tetap ramah lingkungan saya urungkan niat tersebut. Walau di sisi yang lain saya selalu berpikir, plastik tersebut bisa digunakan kembali untuk sampah di rumah.
Sampai dengan saat ini, sesekali saya berpikir apakah plastik dapat benar-benar hilang dan tidak digunakan sama sekali dari peredaran dan diganti dengan yang lebih ramah lingkungan. Sebab, sadar atau tidak plastik masih tetap dan terus diproduksi sampai dengan saat ini untuk kebutuhan tertentu, terlebih di sektor industri. Kemasan makanan, untuk membungkus kebutuhan rumah tangga, apalagi di pasar tradisional juga pedagang kecil plastik masih terus digunakan sebagai kantong untuk pembeli.
Antara produksi, penggunaan dalam kegiatan sehari-hari, hingga meminimalisir penggunaan plastik ini sudah seperti paradoks, sesuatu yang tidak berujung dan tidak berkesudahan—tidak pernah habis untuk diceritakan dan dibahas. Di satu sisi banyak orang yang berusaha tidak lagi menggunakan, di sisi yang lain plastik masih terus diproduksi. Inovasi pun terus diusahakan, salah satunya sedotan stainless yang sedang banyak digunakan—bahkan menjadi tren?
Plastik sejatinya akan terus ada walau sudah menjadi rahasia umum, jika dibuang sembarang atau di tempat pembuangan sampah akan lama terurai. Mengutip dari Kompas.com, bahkan sampah plastik dalam bentuk kantong sejatinya baru dapat terurai 20-1000 tahun lamanya.
Dan dalam hal ini, baiknya tidak ada pembeda antara SJW dan masyarakat awam. Tidak semua orang sudah memahami akan bahaya sampah plastik dalam jangka panjang. Untuk yang belum mengetahui baiknya mendapat edukasi dan bukan dicaci. Barangkali jika memang disampaikan secara baik—dengan pemahaman yang baik pula—banyak orang yang betul-betul akan mengurangi penggunaan plastik—termasuk saya.
Tidak lupa, apresiasi bagi mereka yang selalu berusaha untuk mendaur ulang plastik yang sudah digunakan atau meminimalisir dalam menggunakan plastik. Misalnya, bekas botol plastik yang dibeli dijadikan tempat pensil atau pot. Ada pula yang menjadikan bekas plastik bungkus minuman kemasan sebagai tas. Selain mengasah kreativitas tak jarang pula menghasilkan uang.
Untuk beberapa orang yang selalu membawa botol saat membeli minuman kemasan, juga mereka yang membawa tempat bekal makanan saat membeli makanan—dibanding dibungkus dengan plastik atau sterofoam—semoga hal itu bisa terus konsisten dilakukan dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain.
Kemudian saya tersadar, kini sudah ada bank sampah di beberapa pemukiman. Untuk sampah kering—dapat berupa dus dan lain sebagainya—yang masih terlihat layak, daripada disimpan dan tidak dipergunakan, lebih baik ditukar dengan uang. Lumayan, kan?