Suatu kali, teman saya sangat jengkel terhadap orang tuanya. Sebab, ia menjadi korban atas kesewenang-wenangan otoritas orang tuanya yang terlalu overprotektif pada satu part penting dalam kehidupannya. Teman saya ini gemar sekali terhadap khazanah sejarah. Saat berkesempatan berkunjung dan ziarah ke makam wali tempo hari, ia cukup detail menjlentrehkan keterkaitan kejayaan Islam di Nusantara dengan kekuasaan Turki Ustmani atas Konstantinopel pada masa itu. Saya yang sangat awam sejarah jadi terkesima. Padahal, teman saya ini seorang sarjana ekonomi yang kini menjadi buruh pabrik.
Saya sangat eman karena ia punya pengetahuan seperti itu, tetapi tidak punya wadah atau ekosistem yang mendukungnya. Dulu, teman saya ini sangat ingin masuk jurusan Antropologi atau Sejarah. Namun, hasrat tersebut segera dipotong oleh beberapa orang yang lebih tua di sekitarnya, bahkan gurunya sendiri, saat penentuan pemilihan jurusan. Dia dihadang oleh narasi besar bahwa jurusan yang ia kehendaki itu tidak prospek untuk masa depannya. Apa yang dirasakan teman saya sejak saat itu seperti patah hati. Semacam memendam rasa untuk mengekspresikan apa yang paling menjadi hasratnya selama ini.
Sebagai anak, kami mafhum tidak ada orang tua yang ingin anaknya menjalani hidup dengan buruk. Oleh karena itu, para orang tua umumnya memilihkan jalan untuk anaknya. Kemudian yang menjadi kurang tepat adalah mereka menempelkan segala kerangka pikir sekaligus parameter hidupnya kepada anak-anak. Pada akhirnya, muncul apa yang disebut prospek masa depan yang tak jauh hanya berkutat seputar parameternya itu. Orang tua akan merasa kasihan bahkan cemas dan khawatir jika si anak tidak memakai parameter yang sama. Segala cara akan dilakukan orang tua supaya si anak tidak menjalani hal yang agak “tersesat”, semacam overprotektif. Maka sejak itulah, hasrat anak juga dimatikan, satu generasi dilumpuhkan autentisitas jiwanya, sehingga berarti satu baut mesin peradaban menjadi aus.
Teman saya yang lain lagi tidak disapa oleh ibunya selama nyaris 3 tahun lantaran ia memilih jalan hidupnya sendiri yang berbeda dengan jalan hidup yang diinginkan ibunya terhadapnya. Namun setelah teman saya menikah, semua berjalan damai dan lebih baik.
Ada lagi seorang teman bercerita adiknya minggat dari rumahnya gara-gara cekcok dengan orang tuanya. Saling beda pendapat. Adik teman saya ini memahami hidup dengan pemikiran atau gagasan-gagasan yang ia dapat dari pengajian agama di komunitasnya. Perilaku yang berubah pada dirinya itulah yang menyebabkan pertentangan dengan orang rumah. Mulai soal cara berpakaian hingga cara memandang negara. Saya katakan pada teman saya bahwa wacana harus diuji, setidaknya dengan wacana tandingan pula. Jangan pengecut seperti rezim ini yang suka main cekal dan larang. Ide lawan dengan ide, dong!
Nah, saat menjalani hal yang berbeda dengan orang tua semacam inilah kerap muncul komentar dari sekitar. Ada yang menghakimi tindakan itu sebagai tindakan durhaka. Ada juga yang bilang kalau bentuk perlawanan itu sebagai usaha melawan kodrat. Mereka berapologi, “Kalau anak kucing jangan bercita-cita jadi macan!”
Batin saya menjawab, “Bukan begitu. Kalau ada bebek kecil diasuh ayam, terus pas mereka main bareng melewati tepi danau, tiba-tiba si bebek berenang ke tengah, ya jangan lantas dimarahi dan dikhawatirkan, dong. Terlalu overprotektif, deh. Kan itu memang habitatnya!”
Mungkin para orang tua yang seperti itu belum menyadari bahwa selama anak-anak dalam pengasuhan mereka, sesungguhnya terdidik dengan parameter yang sama dengan yang mereka pakai selama ini. Hanya saja, di tengah perjalanan, anak-anak mengalami sesuatu yang membuat mereka lantas punya paradigma dan parameter lain dalam menjalani hidup. Akhirnya, anak-anak ini berusaha memakai parameter baru tersebut. Kendati dalam perjalanannya masih suka terseret untuk memakai parameter warisan lama itu.
Jadi, mari bersepakat agar anak-anak generasi selanjutnya jangan sampai mengalami pembunuhan karakter yang mengerikan itu. Jangan jadi orang tua yang terlalu overprotektif lah. Biarkan anak-anak menuruti apa yang paling menjadi dahaga bagi dasar jiwa mereka. Biarlah mereka menggelegak air yang bermuara langsung dari cakrawala agar berani ambil keputusan dan bertanggung jawab atas pilihan mereka sendiri.
BACA JUGA ‘Demon Slayer: Mugen Train’ dan Usaha Mencurigai Koyoharu Gotouge sebagai Ahli Psikologi atau tulisan Khotib Nur Mohamad lainnya.