Pantjoran Tea House Glodok, Menjaga Tradisi Minum Teh Kapitan Cina di Bangunan yang Berusia Lebih dari 120 tahun

Pantjoran Tea House Glodok, Menjaga Tradisi Minum Teh Kapitan Cina di Bangunan yang Berusia Lebih dari 120 tahun

Pantjoran Tea House Glodok, Menjaga Tradisi Minum Teh Kapitan Cina di Bangunan yang Berusia Lebih dari 120 tahun (Unsplash.com)

Ingin merasakan sensasi minum teh yang berbeda? Kalau begitu kalian harus datang ke Pantjoran Tea House yang berada di Glodok, Jakarta Barat.

Kawasan Glodok yang berlokasi di Jakarta Barat sejak dulu sudah terkenal sebagai salah satu Chinatown atau pecinan terbesar di Indonesia. Berdasarkan kepercayaan warga setempat, kata Glodok kabarnya diambil dari bahasa Sunda, yaitu “golodag” yang artinya pintu masuk ke rumah. Hal tersebut dikarenakan dulunya Jakarta (Batavia) pernah menjadi pintu masuk Kerajaan Sunda kuno. Kemudian pada abad ke-17, Belanda menjadikan kawasan Glodok sebagai tempat isolasi warga Tionghoa untuk memudahkan VOC melakukan pemantauan dan memperkuat kolonialisme.

Warga Tionghoa yang terkenal mahir berdagang memiliki peran yang cukup besar untuk menjadikan kawasan Glodok sebagai pusat pertokoan, perbelanjaan, dan menumbuhkan geliat ekonomi di kawasan Jakarta Barat dari generasi ke generasi. Saat ini, Glodok tak hanya dikenal sebagai tempat bermukim warga keturunan Tionghoa, tapi juga sebagai desa wisata. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menetapkan kawasan ini sebagai desa wisata heritage dan masuk dalam 50 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia pada tahun 2021. Di Glodok, kita bisa menikmati ragam wisata kuliner hingga sejarah dan budaya.

Gedung bersejarah Pantjoran Tea House

Tepat di ujung Jalan Pancoran Glodok, ada gedung dengan arsitektur khas kolonial bernuansa Eropa klasik yang terlihat cukup menonjol. Papan nama gedungnya tertulis Pantjoran Tea House, atau yang biasa disebut orang sekitar sebagai rumah teh. Sekilas, memang nggak ada yang aneh dari bangunan tersebut. Namun, belum banyak yang tahu kalau bangunan klasik dengan hiasan lampion dan pajangan khas Tiongkok tersebut sudah berusia lebih dari 120 tahun dan memiliki sejarah panjang.

Gedung dua lantai Pantjoran Tea House dibangun pada tahun 1900-an. Awalnya, gedung ini bernama Winkel The Lun Tai yang artinya Toko Pojok Milik Lun Thai. Sekitar tahun 1928, gedung tersebut digunakan untuk menjual obat-obatan tradisional Cina dan diberi nama Apotik Chung Hwa yang merupakan toko obat tradisional tertua di Indonesia setelah Tai San Ho. Bahkan pada periode 1930-an, tempat ini berkembang menjadi pusat pengobatan tradisional yang cukup populer dan ramai dikunjungi pasien dari luar daerah.

Mengingat usia gedung yang tak lagi muda tapi memiliki kekayaan sejarah yang panjang sekaligus menjadi saksi bisu tumbuh kembangnya kawasan pecinan di Glodok, Pemprov DKI bekerja sama dengan PT Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC) melakukan revitalisasi gedung dengan melakukan proses pemugaran yang masih mempertahankan bentuk arsitektur kolonial. Saat ini, gedung bersejarah tersebut menjadi landmark sekaligus gerbang atau pintu masuk menuju kawasan pecinan Glodok.

Pantjoran Tea House merawat tradisi minum teh kapitan Cina ke-3 di Batavia

Pantjoran Tea House bisa dikunjungi masyarakat umum. Selain menyediakan beragam Chinese food, tempat ini juga menjadi tempat edukasi tentang teh dan sejarahnya. Pengunjung yang datang bisa minum teh premium dengan aneka pilihan termasuk teh ding dong.

Uniknya, Pantjoran Tea House masih melestarikan tradisi patekoan yang terinspirasi dari kisah kapitan Cina ketiga di Batavia yang bernama Gan Dji. Dalam riwayatnya, di depan kantor Gan Dji sering dilewati pedagang keliling. Para pedagang dan orang yang kelelahan berjalan biasanya menggunakan bagian depan kantor Gan Dji untuk berteduh.

Istri Gan Dji kemudian mengusulkan kepada suaminya untuk memberikan teh gratis bagi orang-orang yang berteduh tersebut. Tradisi memberikan teh gratis ini disebut patekoan yang berasal dari bahasa Mandarin “pa” (delapan) dan “tekoan” (teko). Angka delapan dipilih karena dalam kepercayaan Tionghoa, delapan punya makna sebagai keberuntungan lantaran bentuk angkanya tak terputus. Tradisi patekoan secara filosofis memiliki arti beruntung dengan harapan akan memberikan keberuntungan bagi yang menyediakan minuman dan orang yang meminumnya.

Saat ini, tepat di depan pintu masuk Pantjoran Tea House Glodok selalu ada delapan teko set dengan motif blirik yang berisikan teh. Teh tersebut nggak hanya boleh diminum oleh pengunjung Pantjoran Tea House, tapi juga bisa diminum siapa pun yang kebetulan lewat dan sedang kehausan.

Kalau kalian mau mencoba minum teh gratis ala kapitan Cina Gan Dji, kalian bisa tuh mampir ke Pantjoran Tea House Glodok. Tapi, teko dan gelasnya jangan dibawa pulang ya, cuma tehnya yang gratis, Gaes.

Minum teh dengan cara tradisional Gong Fu Cha

Selain patekoan, Pantjoran Tea House juga menjaga tradisi minum teh dengan cara tradisional yang disebut Gong Fu Cha. Tradisi ini umumnya dilakukan sebagai bentuk permintaan maaf dan menghormati orang yang lebih tua atau juga digunakan saat acara lamaran atau sangjit.

Gong Fu Cha dilakukan melalui serangkaian proses. Pertama, sterilisasi alat teh, selanjutnya disusul dengan proses pembilasan daun teh, lalu proses penyeduhan. Semua proses tersebut dilakukan dengan air yang memiliki suhu berbeda-beda dan dilakukan oleh pramusaji Pantjoran Tea House. Sebagai pengunjung, kita cukup menikmati semua prosesnya dengan khidmat. Setelah semua proses selesai, barulah kita boleh minum tehnya.

Cara minum tehnya juga ada aturannya. Kita akan diberi dua cangkir dengan ukuran yang berbeda. Cangkir yang pertama bentuknya lebih pendek, disebut Cha Bei (cangkir teh). Sementara cangkir yang kedua bentuknya lebih panjang disebut Wenxiang Bei (cangkir aroma).

Pertama tama, letakkan cangkir teh secara terbalik di atas cangkir aroma yang di dalamnya berisi teh yang sudah diseduh. Kemudian posisi cangkir teh dan cangkir aroma dibalik. Cangkir aroma diangkat dan digunakan untuk mencium aroma teh. Aktivitas ini bertujuan untuk menghormati jasa petani teh.

Untuk meminum tehnya, ambil cangkir teh kemudian letakkan cangkir tersebut di atas tangan kiri, sementara tangan kanan digunakan untuk memegang badan cangkirnya dengan cara jari telunjuk tengah dan manis diletakkan di depan sementara ibu jari diletakkan di depan. Setelah itu minum teh secara perlahan.

Dalam tradisi Gong Fu Cha, kita nggak dianjurkan meniup tehnya. Kalau tehnya masih panas, tunggu sampai teh agak dingin baru diminum. Kalau kalian sering menonton film silat dari Cina, kalian pasti familier dengan cara minum teh seperti ini.

Kelihatannya ribet, tapi ada filosofinya

Sekilas, tradisi minum teh ini memang tampak ribet. Akan tetapi tradisi ini ada filosofinya dan membuat aktivitas minum teh nggak sekadar untuk meredakan haus atau menghangatkan tubuh, melainkan juga memaknai hidup.

Jika penasaran, kalian bisa berkunjung ke Pantjoran Tea House. Saya jamin, kalian akan merasakan sensasi minum teh dengan cara yang bermartabat. Harga tea set-nya mulai dari Rp170 ribuan dan bisa lebih mahal, tergantung jenis teh yang kalian pilih. Saya nggak di-endorse Pantjoran Tea House ataupun Pemda DKI ya, saya memang cukup terkesan saat mengunjungi tempat tersebut. Jadi, kalau kalian juga ingin menikmati teh dengan cara berbeda, tempat ini bisa dijadikan salah satu referensi.

Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA Menormalisasi Minum Teh Murah Justru Merugikan Petani, Mari Mengangkat Martabat dengan Minum Artisan Tea.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version