Pantai Marina Semarang bukanlah tempat biasa. Ia adalah tempat bagi mahasiswa baru di Semarang mengenal jari diri dan lari dari dunia yang begitu panik
Menjadi mahasiswa baru itu rasanya seperti dilempar ke kolam renang tanpa pelampung—tiba-tiba harus belajar berenang sambil ngehafalin nama dosen, ngisi KRS, dan cari tahu kantin mana yang paling murah dan yang terpenting porsinya jumbo.
Hari-hari awal di kampus penuh kejutan. Mulai dari OSPEK yang bikin mental diuji, tugas perkenalan kelompok yang awkward-nya maksimal, sampai drama nyasar ke gedung sebelah gara-gara Google Maps nggak akurat. Belum lagi, dompet mulai menipis karena terlalu sering “cobain kuliner khas Semarang” bareng temen baru yang ternyata hobi makan tapi pelit bayar parkir.
Di tengah semua kekacauan itu, mahasiswa baru—yang masih segar secara semangat tapi lelah secara batin—biasanya butuh pelarian. Bukan pelarian yang mahal, cukup yang bisa bikin napas sedikit lebih lega. Yang penting rame-rame, bisa sambil foto-foto, dan yang jelas: nggak bikin saldo tinggal lima ribu.
Di titik inilah nama Pantai Marina mulai terdengar. Biasanya muncul dari omongan senior, grup angkatan, atau temen kos yang lebih dulu jadi “anak Semarang”. Dengan wajah penuh harapan dan suara penuh bujukan, muncul ajakan sakral: “Eh, ke Marina yuk. Healing tipis-tipis.”
Daftar Isi
Ritual tak tertulis mahasiswa baru
Setiap kota punya tempat wajib ziarah buat para pendatang baru. Kalau Jogja punya Malioboro, Bandung punya Dago, maka Semarang dengan bangganya menyodorkan Pantai Marina. Sebuah pantai yang lebih sering dijadikan tempat duduk-duduk ketimbang tempat berenang. Ini bukan sekadar tempat wisata, ini tempat sakral, tempat “naik tingkat” jadi anak kampus sungguhan.
Mahasiswa baru yang baru selesai ospek biasanya langsung bertransformasi dari “kupu-kupu yang digembleng senior” jadi agen wisata dadakan. Dengan semangat membara dan bekal uang saku yang belum habis buat print makalah, mereka mengajak kawan-kawan ospeknya pergi ke Pantai Marina. Entah siapa yang memulai tradisi ini, tapi seolah sudah menjadi rukun iman mahasiswa baru: habis ospek, ke Marina dulu, baru mikirin mata kuliah.
Biasanya berangkatnya pun rame-rame, entah naik motor pinjaman, naik angkot bareng, atau numpang mobil temen yang ternyata anaknya pengusaha pom bensin. Yang penting bisa duduk bareng di tepi pantai sambil makan cilok lima ribuan dan berkata, “Akhirnya libur juga.”
Pantai seadanya, tapi penuh makna
Tapi, meski Marina terkenal, jangan berharap terlalu banyak. Pantai Marina bukan pantai dengan pasir putih lembut yang menggoda telapak kaki. Pasirnya gelap, agak keras, dan penuh cerita. Ombaknya kecil, kadang lebih galak angin semilir dari belakang kepala. Tapi Marina bukan soal panorama, Marina soal rasa.
Inilah tempat pertama yang bikin mahasiswa baru merasa “anak Semarang”. Di sinilah pertemanan dibangun, tawa dilempar, dan kadang juga air mata ditumpahkan (biasanya karena ternyata gebetan yang diajak ikut rombongan malah nempel ke temen sendiri).
Meski fasilitasnya pas-pasan dan tempat duduk sering rebutan dengan bapak-bapak yang lagi nyuapin anak, Marina tetap dicintai. Karena di tempat yang seadanya ini, mahasiswa merasa diterima. Tidak ditanya asal kampus, tidak ditanya asal jurusan. Hanya duduk, makan, ngobrol, dan merasakan hidup.
Senja Pantai Marina adalah filter Instagram alami
Kalau ada satu hal yang bikin Pantai Marina Semarang naik level dari sekadar tempat nongkrong jadi tempat kontemplasi, itu adalah senjanya.
Senja di Marina adalah jenis senja yang cocok untuk semua kalangan. Mau kamu anak desain yang hidupnya penuh estetik, anak teknik yang belum mandi tiga hari, atau anak sastra yang bawa buku puisi ke mana-mana—semua sah menikmati cahaya oranye yang menyentuh laut.
Cahaya senja di Marina punya kemampuan magis: mengubah wajah lelah jadi puitis, mengubah keraguan jadi caption IG, dan mengubah mahasiswa baru jadi calon filsuf dadakan. Kalimat seperti “Langit sore ini kayak hati gue, penuh warna tapi nggak jelas arahnya” mulai keluar dari mulut-mulut yang biasanya cuma ngomong “yok gas.”
Pantai Marina: ladang konten, ladang kenangan
Selain tempat cari ketenangan, Marina juga adalah tempat cari konten. Kamera HP kentang pun bisa menghasilkan foto “vintage natural” kalau dipadu angle sunset dan pose merenung.
Platform seperti TikTok dan Instagram dipenuhi konten mahasiswa yang sok galau sambil duduk di atas batu, backsound-nya lagu mellow Korea, padahal abis itu lanjut makan gorengan dua ribu dan es teh manis. Tapi tidak apa-apa, karena Marina mengizinkan semua itu.
Konten bukan sekadar pencitraan. Kadang itu cara kita memaknai tempat sederhana dengan cara istimewa. Dan Marina tahu betul cara jadi latar yang cocok untuk itu semua.
Konten bukan sekadar pencitraan. Kadang itu cara kita memaknai tempat sederhana dengan cara istimewa. Dan Marina tahu betul cara jadi latar yang cocok untuk itu semua.
Ada yang datang buat bikin video reels tentang healing, padahal healing-nya lebih ke arah pelarian dari tugas kelompok yang belum dikerjain. Ada juga yang niat banget bawa tripod kecil, setting timer, terus senyum sendirian di depan kamera. Hasilnya nanti dikasih caption: “Di antara ribuan gelombang, aku cuma pengin tenang.” Padahal sebelumnya baru dimarahin dosen karena lupa absen.
Tapi Pantai Marina Semarang memang tempat yang ideal untuk semua jenis kenangan. Foto-foto di galeri HP mungkin nggak akan kamu buka tiap hari. Tapi lima tahun dari sekarang, saat kamu udah sibuk kerja dan hidup makin ruwet, kamu bakal scroll ke bawah dan nemu satu foto di Marina. Kamu duduk bareng temen, senja di belakangmu, dan di caption tertulis: “Nggak tahu kenapa, tapi hari itu bahagia banget.”
Dan di situlah kamu sadar: ternyata, momen yang paling bermakna itu bukan yang mahal, bukan yang mewah, tapi yang kamu alami dengan hati ringan dan tawa yang tulus. Marina mengajarkan itu dengan sangat pelan, sangat sederhana, tapi membekas.
Saksi bisu persahabatan mahasiswa baru
Pantai Marina Semarang bukan cuma saksi cinta yang gagal atau gebetan yang akhirnya jadian sama temen sendiri. Lebih dari itu, Marina adalah tempat lahirnya banyak persahabatan mahasiswa baru—yang kadang berawal dari sekadar duduk bareng di upacara pembukaan OSPEK, lalu lanjut nongkrong bareng di tepi laut.
Di sinilah, di antara debur ombak dan bau amis laut yang jujur, mahasiswa baru mulai saling membuka diri. Mulai dari cerita lucu saat nyasar ke ruang kuliah salah, sampai keluh kesah soal dosen yang ngomongnya cepet banget. Marina jadi semacam ruang aman informal tempat mereka bisa ngobrol tanpa tekanan.
Banyak kisah bermula dari sana. Ada yang awalnya cuma temen sekelompok OSPEK, lalu makin akrab gara-gara nonton senja bareng sambil makan gorengan. Ada juga yang awalnya geng motoran bareng ke Marina, tapi akhirnya jadi temen diskusi skripsi tiga tahun kemudian. Persahabatan itu dibangun bukan lewat hal-hal besar, tapi lewat momen-momen receh yang tulus.
Di antara angin sore, anak-anak kecil main layangan, dan pedagang yang muter-muter jualan bakso tusuk, mahasiswa baru bisa menemukan rasa “rumah” di kota yang belum lama mereka tinggali. Marina jadi tempat mereka merasa: “Oke, hidup kuliah mungkin berat, tapi gue nggak sendiri.”
Kadang, foto di Pantai Marina yang diambil iseng pakai kamera HP buram itu bukan sekadar dokumentasi. Tapi jadi penanda: di sanalah pertama kali mereka benar-benar merasa punya “kawan seperjuangan”.
Pantai Marina bukan cuma destinasi wisata
Akhirnya, Pantai Marina Semarang bukan cuma destinasi wisata. Ia adalah tempat belajar tentang hidup, tentang ikhlas, refleksi batin bagi beberapa orang, dan tentang bagaimana bertahan dengan sisa uang lima ribu tapi tetap bahagia.
Di sinilah mahasiswa baru belajar bahwa tak perlu tempat mewah untuk menciptakan kenangan. Yang dibutuhkan hanya teman yang sepemikiran, angin sore, dan hati yang siap menerima kenyataan: bahwa skripsi masih jauh, tapi hidup sudah mulai terasa nyata.
Jadi, buat kamu mahasiswa baru Semarang Raya, jangan tunggu sampai semester tua untuk ke Marina. Karena siapa tahu, di antara pasir dan senja itu, kamu tidak hanya menemukan pantai, tapi juga versi terbaik dari dirimu yang sedang tumbuh.
Penulis: Rahul Diva Laksana Putra
Editor: Rizky Prasetya