Dieng adalah salah satu tempat yang cukup membuat saya penasaran. Mengapa demikian? Sebab, dalam beberapa bulan ini, teman-teman saya selalu membagikan informasi, baik di grup WhatsApp maupun postingan Instagram tentang dataran tinggi Dieng, tepatnya puncak Sikunir.
Ketika membacanya dan mengamati gambarnya, saya terpana. Elok, kagum, dan mempesona adalah tiga kata yang terucap dari bibir saya ketika selesai membacanya. Supaya mengurangi rasa penasaran, saya dan teman-teman berencana pergi ke dataran tinggi Dieng setelah UAS berakhir.
Pukul 11.00 siang kami bersembilan berangkat menuju Dieng. Tiba di Magelang tepat waktu zuhur tiba, berhenti sejenak untuk salat, lalu dilanjutkan makan siang di Rumah Makan Padang. Kemudian pukul 13.30 siang kami melanjutkan perjalanan. Keadaan saat itu sangat panas menyengat.
Kami menempuh perjalanan lewat jalur Jogja-Wonosobo, Wonosobo-Dieng. Setibanya memasuki wilayah Candi Borobudur cuaca berubah menjadi mendung. Namun perjalanan masih terus kami lanjutkan. Sayangnya, hujan datang. Kami berhenti sejenak di sebuah toko yang sedang tutup berteduh dan memakai jas hujan yang kami beli di sebuah toko pinggir jalan yang kami lewati tadi.
Canda dan tawa kami tak tertahan ketika sedang berteduh, hal-hal receh dalam candaan dan banyolan membuat lelah kami tidak terasa. Semua memakai jas hujan, meskipun hanya jas hujan plastik yang kami beli seharga 7 ribu rupiah.
Dan kami tersadar, ternyata kami semua tidak membawa celana panjang pengganti. Alhasil, kami menggantinya dengan celana pendek sampai setibanya di Dieng. Hal itu kami lakukan agar celana panjang yang kami gunakan tidak basah. Selain itu, untuk digunakan tidur di tenda nantinya supaya tidak kedinginan karena celana panjang yang basah, mengingat cuaca di Dieng sangat dingin.
Perjalanan pun kami lanjutkan. Jalanan berkelok dan tidak begitu lebar kami lewati, sepertinya ini memang jalur alternatif. Dengan panduan Google Maps kami terus memacu kendaraan kami secara beriringan.
Dengan hujan yang turunnya tak menentu, membuat kami mulai kedinginan, juga karena jas hujan yang kami pakai mulai terasa lepek dan bahan plastik yang tipis membuat air hujan tembus ke baju. Namun kami terus memacu kendaraan karena khawatir terlalu malam sampai di tempat tujuan.
Hujan reda ketika kami mulai memasuki wilayah Dieng. Cuaca dingin kian menusuk tubuh kami. Jalanan terus menanjak, kabut terlihat jelas bahkan tidak jarang kami harus sedikit menurunkan gas kendaraan karena jarak pandang yang pendek tertutup kabut.
Tidak jarang satu sama lain di antara kami saling memberikan kode dan ajakan agar segera berhenti istirahat sejenak di warung kopi untuk beristirahat ataupun meminum air hangat untuk meredakan rasa dingin yang kami rasakan,
“Nanti kalau di depan ada warung kopi, berhenti aja,” ungkap kami satu sama lain.
Namun, alih-alih berhenti, kami justru terus berjalan menuju tempat camp yang kami tuju.
“Udahlah nggak usah berhenti, nanti aja di tempat nge-camp, tanggung!”
Pukul 17.00 akhirnya kami tiba di pinggir danau yaitu tempat kami mendirikan tenda untuk bermalam. Setibanya di sana, hujan sudah mulai berhenti, segera kami membongkar tas-tas kami yang berisikan perbekalan, perlengkapan camp, dan barang bawaan pribadi. Pembagian tugas kami lakukan: mendirikan tenda, memasak, dan membereskan barang-barang yang lainnya.
Tenda berdiri, barang-barang telah tersusun rapi, dan masakan pun sudah matang. Semua mengambil posisi melingkar, estafet makanan dilakukan, dan kami makan bersama dengan menu nasi sarden bercampur telur yang kami masak tadi.
Tentunya, setelah makan ada minum penghangat tubuh. Air direbus, bubuk kopi dituangkan, seduhan kopi dapat kami nikmati. Sembari ngopi, kami saling berbincang tentang aneka topik mulai dari perkuliahan yang tak menarik hingga mencari cara menyiasati dompet yang menipis saat tengah bulan.
Pukul 20.00, kami mulai menyalakan api di atas arang hitam, membakarnya menjadi bara api agar pembakaran merata dan matang. Sembari menunggu bara api, kami mulai menyiapkan sosis dan bakso untuk ditusuk seperti sate, dan yang tidak lupa juga dengan jagung yang kami bawa.
Setelah semuanya siap, dalam waktu singkat, makanan yang terlihat di depan mata kami, ludes seketika. Cuaca dingin dan perut kosong adalah perpaduan yang pas sehingga kami menjadi semacam manusia yang buas. Hap, hap, hap.
Kenyang adalah hal yang mengenakkan. Lalu, satu persatu mulai menempati posisi tidurnya dan kami sepakat untuk bangun pukul 04.00 untuk bersiap berburu sunrise di puncak Sikunir.
Namun ada hal yang membuat kami tidak begitu lelap tidur, yaitu kami merasakan dingin dari tanah di bawah tenda kami. Tak adanya lapisan di bawah matras, karena lupa dibawa, membuat beberapa dari kami menggunakan pakaian berlapis. Seperti saya, kaos satu ditambah jaket 2. Tapi, tetap saja, angin masih masuk dan menusuk hingga tulang belulang seperti sulit digerakkan.
Tiba pukul 04.00 pagi, satu persatu mulai bangun dari tidurnya, meskipun tidur semalam kurang nyaman dan tidak begitu lelap. Semua mengumpulkan nyawanya masing-masing.
Setelah salat Subuh, kami mulai berjalan menaiki bukit ke puncak Sikunir, tempat di mana spot sunrise terbaik. Satu persatu anak tangga kami tapaki, berhenti sejenak mengambil nafas, lanjut lagi berjalan melewati anak tangga, begitu terus sampai akhirnya tiba di Puncak Sikunir.
Impian kami tercapai. Rasa penasaran tuntas. Yang menyenangkan, biaya menuju ke sana berkat biaya patungan. Maklum, mahasiswa selalu berusaha minimal mengeluarkan biaya agar mendapatkan hasil yang maksimal. Kamu begitu juga, kan?
Lalu, kami mengambil foto, take beberapa video untuk diedit, dan istirahat sejenak sembari melihat matahari meninggi. Tak lama, kami turun ke tenda.
Sarapan dengan kornet yang ternyata salah masak, minum kopi dengan rebusan air keran yang sepertinya berasal dari air danau, dan makan mie tanpa dimasak. Sekali lagi, hemat yang penting nikmat. Kemudian, satu persatu peralatan kami bereskan, mencuci sisa-sisa yang kotor, membuang sampah yang tersisa di tempat sampah, membongkar tenda tempat kami beristirahat semalam, semua bekerja membereskan dan merapikan.
Pukul 09.00 kami memulai perjalanan pulang ke Jogja, kali ini kami lewat jalur Temanggung. Akan tetapi, kami harus mencari bengkel terlebih dahulu untuk memperbaiki ban motor milik salah satu di antara kami, ya, ban motornya bocor sejak kemarin kami sampai di Dieng. Dan pagi itu kami harus mampir ke bengkel yang tidak jauh dari tempat kami bermalam.
Pukul 10.00 kami memulai lagi perjalanan menuju Jogja. Jalur pulang yang kami lalui lebih lebar dan banyak kendaraan yang melintas. Kami merasa kali ini tidak masalah jika hujan-hujanan di jalan. Toh, kalau basah, kami sudah perjalanan menuju rumah.
Dan benar saja, hujan sangat deras datang secara tiba-tiba, kami terus berjalan menerobos hujan, eh, tak lama hujan berhenti. Jadi. pakaian yang basah karena hujan pun perlahan kering di jalan.
Pukul 12.00 kami berhenti sejenak untuk makan siang. Nasi rames di warung kecil pinggir jalan adalah menu makan siang kami. Pukul 13.00 perjalanan kami lanjutkan, mencari SPBU terlebih dahulu untuk salat di musala dan mengisi bahan bakar. Dengan panas yang begitu menyengat dan rasa lelah yang mulai terasa, kami terus berjalan memacu gas sesekali menarik dan menginjak rem.
Tugu Jogja sudah terlihat di depan mata, menandakan bahwa kami telah sampai di Jogja setelah perjalanan yang sangat melelahkan. Pukul 16.00 sore ketika itu kami menyelesaikan perjalanan kami. Dan kami puas. Mendatangi Dieng dan naik ke puncak Sikunir adalah jawaban dari impian kami.
BACA JUGA Menggugat Alasan Mendaki Gunung Para Pemula: Sebuah Percakapan Nyinyir atau tulisan Sylvanto Budi Utomo lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.