Sepanjang sore, TV di rumah saya biasanya memutar serial sinetron Tukang Ojek Pengkolan. Sinetron yang diproduksi oleh MNC Pictures ini menyajikan drama realistis sebagaimana kehidupan masyarakat pada umumnya dengan sisipan komedi yang menggelar tawa bagi penontonnya.
Awal mula rilisnya sinetron ini, sih, kontraknya ditargetkan mencapai 60 episode saja. Namun, karena terus berkembang dan mengundang respons penonton yang bagus, akhirnya episode sinetron Tukang Ojek Pengkolan terus ditambah, hingga ratusan, bahkan sekarang telah mencapai ribuan.
Saya sendiri tertarik dengan sosok Pak Sofyan di sinetron Tukang Ojek Pengkolan ini. Pak Sofyan atau yang terkadang sesekali dipanggil Pak RT ini, merupakan ketua RT 02, RW 01, Kelurahan Rawa Bebek, Kecamatan Tanah Abang.
Selain menjadi Pak RT, Pak Sofyan juga berprofesi sebagai dosen. Begitupun juga dengan istrinya Bu Rahma yang juga berprofesi sebagai dosen. Bahkan, kedua anaknya juga menempuh jenjang pendidikan perguruan tinggi. Sungguh, keluarga yang berpendidikan.
Melihat profesi yang dimiliki Pak Sofyan yang menjadi ketua RT sekaligus dosen, saya jadi teringat beberapa pemikiran seorang filsuf yakni Socrates dan seorang sosiolog yakni Antonio Gramsci mengenai pemimpin yang ideal.
Oke, saya mulai dari yang sesepuh dulu yakni, Mbah Socrates. Jadi, Socrates pernah dawuh bahwa pemimpin yang ideal untuk menahkodai sebuah kapal adalah mereka yang berpendidikan, cerdas, tau seluk beluk segala rintangan di laut. Dalam artian di sini, Socrates merujuk pada filsuf yang cocok sebagai pemimpin. Jadi, bukan orang-orang yang biasa-biasa saja, apalagi orang yang hanya berbekal sokongan pendukungnya saja.
Begitupun dengan sosiolog berhaluan kiri, Antonio Gramsci, yang memiliki pemikiran bahwa sebenarnya semua orang itu adalah seorang filsuf, semua orang adalah intelektual. Hanya saja, kita dibedakan dari takaran intelektualitasnya.
Misal, netizen Indonesia yang suka ngebacot perihal politik, ya mereka adalah seorang filsuf kalau kata Gramsci. Hanya saja, menurut Gramsci, orang awam seperti netizen ini adalah filsuf spontanitas, mereka berpikir, bergerak, menganalisis sesuatu itu secara spontan berdasarkan sebatas stock of knowledge yang dimilikinya.
Sedangkan intelektual-intelektual akademis, berpendidikan, mengenyam bangku perguruan tinggi inilah yang disebut Gramsci sebagai filsuf profesional. Nah, kalau kata Gramsci, intelektual atau filsuf profesional inilah yang dapat menggerakkan bahkan memimpin masyarakat. Pasalnya, filsuf profesional ini memiliki kekayaan stock of knowledge yang dapat berkontribusi sebagai referensi bagi segala kebijakan yang akan ditentukan.
Jadi saya menangkap bahwa pemimpin atau penggerak yang ideal adalah mereka yang berpendidikan, bergelut dalam ruang akademik, dan mereka yang betul-betul tau medan yang dihadapinya. Bukan mereka yang jadi pemimpin karena sokongan massa, tetangga, kerabat, ataupun sanak keluarga, apalagi jalur belakang rumah.
Nah, melihat gambaran pemimpin ideal ala Socrates dan Gramsci ini, saya langsung menengok sosok Pak Sofyan. Bahkan dalam menjalankan pemerintahannya di rukun tetangga, Pak Sofyan selalu menasehati warganya dengan sumber-sumber referensi buku yang dibacanya.
Misal begini omongan pak Sofyan dalam menasehati Purnomo mengenai nama anak, “Karena menurut buku yang saya baca, dalam memberikan nama itu memang butuh pertimbangan. Karena apa? Karena memberikan nama anak itu adalah semacam doa.”
Nah, setiap wejangan Pak Sofyan di Tukang Ojek Pengkolan ini pasti mengacu pada buku yang dibacanya. Bahkan ketika menyelesaikan konflik antar warganya, ia pasti menggunakan referensi buku bacaannya dengan mengucap “menurut buku yang saya baca”. Jadi, ia nggak asal menentukan kebijakan atau asal bacot dalam menasehati warganya. Sehingga, warga sendiri itu puas dengan kinerja Pak Sofyan selaku ketua RT.
Jadi, menurut saya, Pak Sofyan adalah representasi pemimpin yang ideal ala Socrates dan Gramsci. Meskipun dalam skala rukun tetangga, tapi Pak Sofyan dapat menjadi suri tauladan bagi pemimpin-pemimpin di negeri ini.
Sumber gambar: Unsplash.com