Saya pikir kita semua setuju bahwa salah satu hantu yang kerap menggentayangi kaum milenial adalah kecenderungan untuk overthinking atau berpikir yang berlebihan. Memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan adalah sesuatu yang cenderung dianggap tidak produktif, mengada-ada, dan hanya akan membawa ke arah beberapa penyakit mental seperti depresi dan lain sebagainya.
Namun, kalau mencoba untuk melihatnya dari sisi lain, kok saya merasa bahwa orang-orang yang overthinking ini pada dasarnya kreatif dan imajinatif, ya? Maksud saya begini, salah satu kelumrahan yang biasa terjadi kepada orang-orang seperti itu adalah ketika mereka dihadapkan oleh sebuah permasalahan A, tetapi mereka malah memikirkannya sampai B atau C, bahkan Z. Dalam kepala mereka, sesuatu yang tidak ada bisa jadi ada, begitu pula sebaliknya. Di satu sisi ini cukup merisaukan, namun tidak bisa dimungkiri bahwa untuk bisa memanjangkan masalah seperti itu, diperlukan daya imajinasi yang mumpuni dan tidak tentu dimiliki oleh orang biasa.
Di luar segala efek negatif yang ditimbulkan dari perilaku overthinking, bisa jadi ada beberapa poin positif yang dapat kita ambil dari sikap tersebut. Daya imajinasi mereka yang suka memikirkan hal-hal secara berlebihan bukan tidak mungkin diarahkan kepada hal-hal yang positif. Nah, berangkat dari sini, sebagai guru fisika, saya pikir orang-orang seperti ini sebenarnya punya potensi yang besar untuk bisa jadi jagoan fisika yang mumpuni.
Lho, dari pembahasan tentang overthinking, kok nyambungnya ke fisika, sih?
Begini, Kisanak. Saya meyakini bahwa orang-orang yang mendalami ilmu fisika itu punya kecenderungan untuk overthinking. Katakan saja Isaac Newton ketika merumuskan prinsip gravitasi. Pada dasarnya, benda jatuh ke bawah itu sudah lumrah alam, kan? Saya yakin bahkan para Neanderthal pun sudah tahu bahwa benda kalau jatuh ya ke bawah, tidak mungkin ke atas. Tetapi selama ribuan tahun lamanya, baru ada satu orang yang mau susah-susah memikirkan: kenapa sih jatuhnya harus ke bawah? Belum puas sampai di situ, blio sampai sambung-sambungkan ke matematika pula.
Saya selalu mengatakan kepada anak-anak murid saya bahwa sains—dalam hal ini fisika—pada dasarnya filsafat tambah matematika. Mengapa saya sampai bicara begitu? Karena banyak anak-anak yang malas sekali untuk menghitung jawaban pakai rumus! Artinya, malas bertemu matematikanya. Apalagi saya suka memberikan kebebasan pada murid: silakan jawab tanpa rumus dan hanya memberikan argumen, tetapi harus bisa menyediakan argumen yang akurat, mudah untuk divalidasi, dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Nah, pada dasarnya filsafat sudah merupakan subjek yang overthinking. Sok-sokan mempertanyakan apa itu hidup lah, apa itu cinta lah.
“Bos, yang namanya hidup itu dijalani je, bukan dipertanyakan!” Kira-kira begitu jawabannya kalau teman ngobrol kita penjual bubur yang pagi-pagi sudah ting ting ting di depan rumah.
Tapi, kalau mempertanyakannya pada orang-orang semacam Karl Marx atau lebih gawat lagi, kepada manusia macam Nietzche atau Schopenhauer? Ra mashok!
Itu baru filsafat, fisika lebih keblinger lagi. Sudah mempertanyakan apa arti hidup, eh diperhitungkan dengan matematika pula. Cuma orang-orang overthinking seperti Stephen Hawking atau Albert Einstein yang mau susah payah mencari Teori untuk Segalanya (Theory of Everything), atau sebuah rumusan yang dapat menyatukan empat gaya utama alam semesta: gaya gravitasi, gaya nuklir kuat, gaya nuklir lemah, dan gaya elektromagnetik. Padahal hakikatnya, tanpa mencari yang begituan pun, tukang bakso yang setiap hari nongkrong di depan kantor kecamatan tetap bisa jualan, kan?
Contohnya terlalu jauh? Oke, coba deh buka buku paket fisika. Menemukan apa itu percepatan sudut, torsi, dan hal-hal lain yang sebetulnya tidak perlu-perlu amat untuk dicari. Apalagi sampai menciptakan skenario-skenario soal yang sebenarnya hanya akan terjadi di soal itu sendiri, namun pada dasarnya sangat jarang kita temukan di kehidupan nyata. Lalu yang dicari adalah besaran-besaran asing yang saya yakin hanya akan mau dihitung oleh orang-orang yang overthinking.
Salah satu soal fisika kelas 11 dalam buku paket fisikanya Pak Marthen Kanginan misalnya, adalah tentang sebuah benda yang menggelinding di atas bidang miring, lalu diminta cari percepatan sudut dari benda itu. Sialnya, ini adalah bentuk soal yang paling sederhana dan umum tentang bab torsi dan rotasi benda kaku. Saya hanya bertanya-tanya saja: kalau dalam waktu luang Pak Marthen mungkin bakalan begitu ya, susun model bidang miring pakai talenan masaknya, lalu botol tusuk gigi blio gelindingkan dari situ, lalu ia hitung berapa percepatan sudut tusuk botol gigi itu.
Ini kalau bukan overthinking namanya, saya tidak tahu apa namanya.
Saya jadi menduga misalnya Pak Marthen pernah putus cinta di masa SMA-nya dulu, alih-alih mencari hati yang baru, blio bakalan menghitung berapa watt daya listrik yang dapat dihasilkan dari energi emosi ketika cintanya kandas di tengah jalan. Belum cukup sampai di situ, blio pun membuat analogi reaksi fisi nuklir dari kasus ketika cinta seseorang rontok serontok-rontoknya. Bisa-bisa kalau begini, bukan tidak mungkin Indonesia jadi negara pertama yang mengeluarkan bom nuklir bukan dengan zat radioaktif, tetapi pemuda-pemuda galau yang putus cinta.
Salah satu bentuk overthinking di dunia fisika yang paling menghibur adalah sebuah pertanyaan konseptual yang sempat membuat jagat maya heboh. Berikut pertanyaannya:
How many times do you have to slap a chicken to cook it?
(Berapa tamparan yang diperlukan untuk memasak seekor ayam?)
Ini adalah overthinking yang paling paripurna. Orang macam apa yang mau menghabiskan waktunya untuk berpikir bagaimana cara memasak ayam dengan menamparnya? Orang-orang normal tentu akan mengernyit dan mengatakan bahwa itu adalah pertanyaan tolol. Kompor dan wajan sudah jelas-jelas ada, siapa yang cukup tolol untuk mencoba masak ayam dengan ditampar? Tetapi percayalah, ada orang yang mau dan betah untuk melakukannya.
Saya singkatkan saja ceritanya. Dengan mengasumsikan kalor jenis daging ayam, titik suhu kematangan ayam, massa telapak tangan, dan kecepatan rata-rata sebuah tamparan, kira-kira perlu sekitar 23.000 tamparan dalam satu detik untuk bisa memasak ayam sehingga tercipta suhu 60 derajat Celcius. Namun, sebuah percobaan yang dilakukan oleh YouTuber Louis Weisz menunjukkan hasil yang lebih “masuk akal”. Ia bisa memasak ayam setelah ditampar 135.000 kali dalam 6 jam dengan sebuah alat khusus yang ia desain sendiri.
Oleh karena itu, bergembiralah hai orang-orang yang suka overthinking. Salah satu kata-kata yang suka saya sebut ke murid-murid saya begini: jika ingin pintar fisika, pikirkanlah hal-hal yang tidak perlu dipikirkan!