Membaca tulisan Mas Agung Anugraha Pambudhi membuat saya merefleksikan kembali organisasi mahasiswa (ormawa) secara umum. Saya memang punya cukup pengalaman berkaitan dengan ormawa. Selama kuliah, saya bergabung di beberapa organisasi mahasiswa dengan berbagai jabatan. Sempat menjadi bendahara, anggota divisi media, kepala divisi pergerakan, dan sebagainya.
Pengalaman yang panjang itu terlihat seolah-olah saya menikmati kegiatan-kegiatan ormawa ya. Padahal aslinya, menjadi bagian dari organisasi mahasiswa adalah pilihan yang lebih banyak nggak enaknya. Bahkan, ormawa adalah tempat yang membuat saya sakit hati sampai saat ini.
Punya banyak masalah, bikin stagnan
Mengikuti beberapa organisasi menyadarkan saya, ormawa dari dulu stagnan karena punya beberapa masalah. Misal, biaya operasional terlalu sedikit, periode kepengurusan yang singkat, beban kerja terlalu banyak. Belum lagi, anggota aktif organisasi kenyataannya hanya sedikit. Asli, mengurus ormawa lebih capek dan berat daripada kegiatan praktik latihan kerja.
Terlepas masalah-masalah di atas, saya melihat, ormawa punya persoalan struktural di dalam tubuh organisasi. Saya heran, masalahnya sudah menahun, tapi tetap saja tidak terselesaikan (baca: diselesaikan) secara tuntas.
Permasalahan struktural organisasi mahasiswa adalah visi dan misi yang tidak segar. Visi dan misi pasangan calon pemimpin ormawa yang baru biasanya digagas berdasarkan jajak pendapat dari beberapa senior, keresahan pribadi, hingga observasi dari organisasi lain. Visi-misi dihadirkan dengan bahasa yang ndakik-ndakik. Terkesan utopis untuk organisasi yang pada realitasnya hanya akan digerakkan oleh beberapa orang saja.
Selain utopis, visi dan misi yang dipaparkan biasanya hanya berkutat pada tiga hal: kolaboratif, transparan dan kompeten. Satu hal paling disesalkan, kepengurusan setiap tahunnya nggak pernah memegang janji tersebut.
Bisa ditebaklah bagaimana ujungnya. Visi misi yang terasa “jauh” itu bermuara pada roda organisasi mahasiswa yang tidak berputar, akhirnya stagnan. Satu hal yang perlu dicatat, mau sebagus apapun visi dan misinya, realitas di lapangan tetap perlu dilihat baik-baik.
Baca halaman selanjutnya: Internal ormawa dan …
Internal ormawa dan politik dinasti
Sungguh, politik dinasti tidak hanya terjadi di tingkat pemerintahan daerah hingga pusat saja. Nyatanya, di lingkup sekecil ormawa, praktik semacam politik dinasti juga diterapkan. Ya bagaimana nggak stagnan organisasinya.
Dinasti yang dimaksud memang bukan ikatan darah ya. Namun, mereka yang terpilih mengisi organisasi biasanya tidak jauh dari kepengurusan sebelumnya atau tokoh berpengaruh di periode sebelumnya. Mudah saja mengetahuinya, perekrutan anggota dan pengelolaan ormawa yang tidak transparan.
Saya pernah direkrut atas dasar kedekatan dengan seseorang yang terkenal di suatu ormawa. Kemudian, saya dikeluarkan secara sepihak tanpa alasan. Pengalaman itu bikin saya curiga, jangan-jangan, memang cuma untuk kambing hitam di organisasi yang sedang berjalan saja? Benar-benar organisasi yang tidak sehat.
Selain politik dinasti yang berjalan, para pengurus aktif ormawa masih terbebani oleh para seniornya. Mereka suka mengatur jalannya organisasi tersebut padahal sudah purna tugas. Ini masalah serius karena pengaruh senior bisa jadi sarat kepentingan. Ya tidak heran sih, kalau politik dinasti kemudian langgeng di ormawa. Kata saya ya, para senior ini mending segera lulus daripada di kampus masih saja cawe-cawe ormawa. Lebih banyak jadi beban kepengurusan aktif daripada membantunya.
Berdasar refleksi panjang atas ormawa, saya lebih menyarankan mahasiswa agar terlibat. Asli, organisasi mahasiswa sejujurnya nggak perlu-perlu amat, kecuali kalian mau menguji sejauh mana tingkat kesabaran!
Penulis: Cindy Gunawan
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Ormawa Itu Memang Bukan Keluarga, Ngapain Ngebet Dibikin kayak Keluarga sih?
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.