Orang yang Nggak Enakan dan Suka Ngalah Sering Kali Jadi Korban Eksploitasi Temannya

Orang yang Nggak Enakan dan Suka Ngalah Sering Kali Jadi Korban Eksploitasi Temannya

Saya bukan tipe orang yang nggak enakan atau pun suka mengalah. Melainkan sebaliknya, saya tipe orang yang ingin selalu mengerjakan dan bertanggung jawab di bagian pekerjaan saya tanpa merepotkan orang lain. Saya juga tidak suka membuat orang lain terbebani dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab saya.

Sayangnya, saya justru tumbuh dan hidup di lingkungan dengan orang-orang yang prinsipnya berbanding terbalik dengan saya. Alhasil, meskipun sudah sekuat tenaga menyelesaikan pekerjaan saya, saya justru masih harus dengan sukarela (((baca: terpaksa))) membantu menyelesaikan pekerjaan orang lain.

Mungkin, jika hanya terjadi sekali atau dua kali saja, itu masih hal yang wajar. Tetapi, jika terjadi berkali-kali dan cenderung menjadi kebiasaan, sungguh sangat keterlaluan.

Saya ingat saat masih kuliah, mulai semester awal hingga akhir, setiap kali ada tugas kelompok saya selalu kebagian tugas sebagai tempat pengumpulan sub-bab materi sebelum diserahkan pada dosen. Baik dalam hal pembuatan makalah, laporan, hingga power point.

Saya sering kali menolak karena saya tahu betapa menyebalkannya menjadi tempat pengumpulan tugas, tapi teman-teman saya justru lebih sering memaksa. Akhirnya, saya justru mengalah. Menerima dengan lapang dada sebagai tempat terakhir pengelompokan tugas—sambil dalam hati dan kepala memaki teman-teman saya.

Celakanya, ketika teman-teman kelompok saya mengumpulkan hasil pekerjaannya, sebagian besar hasilnya justru nggak sesuai dengan harapan saya. Ada yang hasil ketikannya amburadul, ada yang salah memasukkan materi hingga ada yang cuma hasil dari copy paste internet. Bahkan, beberapa teman yang ngeyel dengan entengnya mengumpulkan tugas H-beberapa jam sebelum tugas itu dikumpulkan ke dosen. Padahal, saya masih harus mengedit, menyatukan subbab materi, dan harus menge-print dulu. Hish, nyebelin banget, deh!

Jika masalah-masalah seperti di atas muncul, lantas apa yang saya lakukan? Kembali dengan lapang dada memperbaiki tugas teman-teman saya. Mulai dari memperbaiki tulisannya yang bertebaran saltik, menulis ulang materi yang salah dimasukkan hingga yang paling ekstrem adalah mengerjakan tugas subbab materi yang seharusnya dikerjakan oleh teman saya. Hmm, jika dipikir-pikir ulang, sungguh betapa mulianya hati saya dulu.

Saya pernah mencoba menjadi orang yang sedikit tegas. Mendikte teman-teman saya tiap kali ada tugas kelompok. Memberikan janji temu untuk diskusi mengenai tugas kelompok tersebut, lalu bersama-sama membuat laporan tugas dan power point.

Sayangnya, hal tersebut nggak berlangsung lama. Teman-teman saya memilih menyibukkan diri dengan urusannya masing-masing dan hanya sempat mengirimkan tugas via WhatsApp saja. Lalu, dengan baik hati—dan teganya—meminta saya untuk menyatukan tugas tersebut sebelum dikumpulkan ke dosen. Hish, jahat sekali, ya!

Tapi apa boleh buat, saya tetap bersedia. Menurut saya, dalam setiap tugas kelompok, memang harus ada 1 orang yang memiliki sifat suka mengalah untuk dapat dimanfaatkan oleh teman-temannya.Hehehe.

Selain saya yang menjadi korban eksploitasi teman karena—terpaksa—memiliki sifat suka mengalah, saya juga memiliki teman karib yang kebetulan memiliki sifat sejenis saya, yaitu sifat nggak enakan.

Teman karib saya ini selalu saja merasa nggak enakan sama orang lain. Jika terdapat sebuah pekerjaan yang harusnya memang dikerjakan oleh orang lain, dia akan meminta maaf dulu pada orang tersebut sebelum memberikan pekerjaan tersebut padanya—meskipun secara logika, teman saya sama sekali nggak salah karena memang pekerjaan tersebut adalah tanggung jawab orang lain.

Kali lain, jika organisasi yang diikuti oleh teman karib saya ini mengadakan suatu event, menurut saya, dia akan menjadi orang yang paling sibuk—meskipun tugasnya yang sebenarnya nggak terlalu sibuk-sibuk amat.

Dia pernah menjadi koordinator sie konsumsi suatu seminar yang pekerjaannya sebenarnya hanya memantau tanggung jawab yang dilakukan oleh panitia sie konsumsi di bawahnya. Tapi, pada kenyatannya justru dia sendiri yang sibuk ke sana ke mari mencari konsumsi untuk event seminar tersebut.

Lebih parahnya lagi, saat acara berlangsung, dia justru merangkap sebagai penerima tamu yang menunggui absensi peserta. Dan saat acara telah selesai, dia justru sibuk mengumpulkan barang-barang yang seharusnya menjadi tugas panitia sie perlengkapan.

Ketika saya tanya, dia menjawab dengan muka lesuh dan letih: saya nggak enak sama panitia yang lain, kasihan. Haduh, dia sama sekali nggak kasihan dengan dirinya sendiri, ya? Alhasil, teman-temannya sesama panitia sering kali memanfaatkannya untuk mengerjakan sesuatu yang bukan menjadi tanggung jawabnya, karena semua orang tahu: teman karib saya nggak akan tega menolak permintaan tolong orang lain. Sebagai teman karibnya, saya sering kali menjuluki dia panitia dari segala panitia.

Lalu, entah nasib baik—atau apes—menimpa kami berdua. Kami disatukan dalam satu kelompok KKN. Ditugaskan ke sebuah desa yang akses masuknya lumayan susah. Kelompok kami awalnya baik-baik saja, tapi lama-kelamaan saya dan teman karib saya merasa tidak baik-baik saja.

Di pertengahan pengabdian pada masyarakat, kami berdua sadar bahwa kami hanya dimanfaatkan oleh teman-teman kelompok KKN lainnya. Bayangkan saja, tugas saya yang seharusnya hanya kebagian update blog serta teman saya yang merupakan bendahara yang seharusnya hanya menghitung masuk-keluarnya uang, justru sibuk keliling desa untuk pendekatan pada masyarakat, sibuk mencari dan menghubungi dosen untuk menjadi pengisi salah satu proker KKN.

Celakanya, di akhir masa KKN, kami berdua juga masih harus disibukkan untuk membantu sekretaris kelompok KKN kami dalam menyelesaikan masalah laporan-laporannya pada pihak kampus. Sungguh, jika dipikir-pikir ulang, saya merasa bodoh saja.

Hingga hari ini, jika kami berdua bertemu, kami hanya dapat tertawa satu sama lain. Menertawakan sifat-sifat polos kami yang suka mengalah dan nggak enakan ini, sehingga yang terjadi justru terus-menerus dimanfaatkan oleh teman-teman kami.

BACA JUGA Menolak Cinta Seseorang dengan Dalih, ‘Maaf Kamu Terlalu Baik Buat Aku’: Maksudnya Gimana Sih? atau tulisan Siti Halwah lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version