Beberapa hari lalu ada seorang—atau banyak—netizen menyebarkan informasi: Jakarta udaranya tidak aman. Lalu diikuti serangkaian informasi-informasi berguna—seperti mengapa, dan bagaimana mengatasinya, efeknya bagi kesehatan, dan lain sebagainya. Tentu diskusi-diskusi seperti ini penting di ruang publik, kita dapat pengetahuan, awareness, dan jadi ngeh hal-hal yang terjadi di sekeliling kita.
Lha bagaimana tidak? Polusinya lebih besar daripada Tiongkok, lho. Yang selama bertahun-tahun jadi bulan-bulanan dunia karena polusinya super besar sampai-sampai semua orang tiap hari harus pakai masker khusus. Iya, Tiongkok yang itu—sekarang Jakarta udaranya lebih parah daripada di sana. Jadi mempertanyakan kenapa hal ini bisa terjadi lalu menuntut adanya perbaikan—harusnya hal bagus dong?
Oh tentu tidaaaak—ternyata. Nggak boleh itu kita protes-protes soal pembangkit listrik batu bara, polusi kendaraan bermotor, dan lain sebagainya yang bikin orang-orang asma kayak saya makin sengsara. Kenapa nggak boleh? Sederhana: masih pakai motor, masih pakai listrik, jadi menyumbang masalah—nggak boleh protes.
Sungguh ini argumentasi yang sangat logis dan jenius dari sobat-sobat media sosial cendekiawan yang berwawasan luas serta selalu berargumentasi tanpa sesat pikir—sangat masuk akal. Kalau misal kita ikutan jadi penyebab masalah, nggak boleh protes. Kita menyumbang polusi melalui listrik yang kita gunakan dan motor yang kita kendarai, jadi hipokrit kalo ikutan berisik soal polusi di medsos.
Apalagi protes ke mafia pembangkit listrik batu bara dan energi tidak terbarukan yang terus dilanggengkan oligarki bersama pemerintahan beserta sistem kapitalisme yang membolehkannya. Haish, itu pasti bacotan mahasiswa-mahasiswa burjois yang kerjaannya tiap hari sok-sokan baca artikel kiri sambil duduk di Starbucks pesen cascara macchiato venti extra sugar less ice pakai kartu member biar bisa buy 1 get 1 free sama temennya sesama SJW. Penuh dengan omong kosong.
Selama kita masih pakai mobil dan motor, berarti masih menyumbang polisi. Masih pakai listrik? Itupun dari batu bara. Polusi—nggak usah protes. Sesederhana itu, argumen SJW lingkungan tukang cari proyek dipukul telak.
Sudah begitu? Ha matane po?
Gimana kita mau berkembang kalau masih yakin bahwa kita benar-benar harus berada di luar x untuk dapat mengkritik x. Bayangkan, kita nggak boleh protes ke guru atau dosen—misalnya—karena kita masih dapat rapor dan ijazah dari mereka. Nggak boleh protes soal sampah menumpuk di sungai karena pas beli GO-FOOD masih ada kantong plastiknya. Mau memprotes tindakan pabrik-pabrik yang sembarangan membuang limbah berbahaya ke sungai? Selama masih nyuci baju, nggak boleh juga.
Ya terus kita bisa kritik apa. Kan, justru kita tahu keburukan dan efek samping dari suatu program, sistem, atau tatanan karena seringkali kita berada di dalamnya, turut serta menjalankannya. Nggak harus juga orang yang mengkritik sumber-sumber polusi udara yang memekatkan langit Jakarta itu adalah orang-orang yang makan selalu botram pakai alas daun, penerangan dengan lampu minyak atau lilin sekalian, terus kemana-mana jalan kaki, naik sepeda, atau transportasi umum.
Alasan pertama—ha mbok kamu duluan coba pulang pergi tiap hari 20 km ke kampus atau tempat kerja naik sepeda, nanjak-turun. Yang gembos paru-parumu, bukan bannya.
Kedua—memangnya ada pilihan lain? Ini kata kuncinya. Kamu nggak bisa bilang orang-orang nggak boleh mengkritik sesuatu yang ia sendiri pakai, kalau memang tidak disediakan alternatifnya. Pas saya bayar token listrik bulanan nggak ada opsi, gitu, suruh milih listriknya dari angin apa dari batu bara. Ya saya bayar, asal usul energinya urusan PLN.
Sama dengan soal transportasi. Iya kalau ada transportasi massal terintegrasi macam Jakarta dengan busway, KRL, MRT, dan LRT-nya. Di kota lain boro-boro ada kereta. Yogyakarta mentok-mentok dapat TransJogja, itu juga mentok di kota. Kalau dari kota mau ke Pakem ya sudah, bisnya berhenti di Jombor, habis itu kalau mau ramah lingkungan jalan kaki—hiking. Di luar Jawa apalag—kereta jarak jauh saja belum tentu ada!
Kalau sudah seperti itu mosok yang boleh protes cuma orang Jakarta yang bisa pakai transportasi massal? Lha terus hak-hak kami non-Jakarta apalagi kawan-kawan kami non-Jawa untuk protes dan mengeluh gimana? Kita punya hak untuk teriak-teriak sambil demo juga, dilindungi konstitusi lagi.
Justru bagus orang-orang mulai muncul dan mengedukasi masyarakat luas soal energi terbarukan, polutan udara, tambang batu bara, emisi kendaraan, dan lain sebagainya. Kita jadi ikut tercerahkan, syukur-syukur bisa ngambil langkah-langkah kecil yang bisa kita lakukan. Jangan malah dinyinyirin.
Tapi ya pemeran utama tetap pihak korporat dan utamanya, pemerintahan yang harusnya sudah punya perencanaan soal hal-hal seperti ini. Negara-negara lain—nggak cuma negara maju, sobat-sobat Asia-Afrika kita juga—sudah mulai, lho, blueprint mengurangi penggunaan batubara dan menggalakkan pemanfaatan tenaga solar, angin, geothermal, dan masih banyak lainnya. Kalau soal rencana kan insyaallah pemerintahan kita yang cerdas dan bijaksana bisa. Nggak sampai pelaksanaan dulu, lho.
Soalnya yang berbahaya dari kalimat “kamu masih dapat manfaat dari x, jadi tidak boleh mengkritisi x” itu kita secara kolektif jadi tidak sadar ada sistem opresi dan eksploitasi disitu. Kalau menyambung contoh di atas: ini berarti kita tidak boleh tidak setuju pada kedua orangtua kita karena sudah kasih banyak sekali ke kehidupan kita. Ya kalau orangtuanya ternyata bukan orang baik-baik, melakukan kekerasan, tidak bertanggungjawab, dan lain sebagainya? Masak anak nggak boleh komentar?
Saya kira sama kayak kasus ini. Lantas karena tambang batu bara memberi kita listrik, dan polusi adalah dampak langsung dari moda transportasi yang rutin kita gunakan, maka kegiatan-kegiatan seperti itu tidak boleh dikritisi?
Harusnya malah ditanyakan, kenapa pemerintahan tidak memberi kita alternatif-alternatif lain untuk energi yang terbarukan? Kenapa juga sistem transportasi umum massal hanya berpusat di kota-kota besar saja dan tidak memperhitungkan lokasi-lokasi lain? Juga kenapa kita harus repot-repot outsourcing informasi sama berita tentang polusi di udara kita sendiri dari pihak lain, bukannya malah diinformasikan oleh badan pemerintahan sendiri. Ya minimal dari akun Twitternya—misal—daripada ngelawak melulu.
Nih ya, saya masih ingat kok beberapa saat yang lalu Greta Thunberg, siswi berusia 16 tahun aktivis lingkungan itu ikut viral di Indonesia. Hebat—katanya—kecil-kecil sudah cinta lingkungan. Harusnya banyak orang-orang seperti Greta di Indonesia yang mengkampanyekan isu-isu lingkungan.
Padahal ‘orang-orang seperti Greta’ itu sudah banyak di media sosial Indonesia sejak lama dan cukup vokal dalam isu-isu seperti ini. Tapi malah dibilang SJW sama sobat progresif intelektual media sosial kita. Hadeh!