Alasan Orang Surabaya Lebih Sering Healing Kilat ke Mojokerto daripada ke Malang

Alasan Orang Surabaya Lebih Sering Healing Kilat ke Mojokerto daripada ke Malang Mojok.co

Alasan Orang Surabaya Lebih Sering Healing Kilat ke Mojokerto daripada ke Malang (unsplash.com)

Orang Surabaya mungkin beruntung akan banyak hal kecuali satu, tempat wisata yang sejuk, tenang, asri. Di Kota Pahlawan ini cuma ada mal dan mal. Destinasi wisata alam paling mending ya Pantai Kenjeran. Sebenarnya ada sih tempat hijau lainnya, tapi konsepnya kafe dengan harga selangit.

Orang-orang Surabaya seperti saya jadi harus ke luar kota kalau ingin berwisata alam. Pilihan daerah yang umumnya dipilih adalah Malang, Batu, atau Mojokerto. Namun, dari ketiga daerah yang saya sebutkan itu, Mojokerto jadi daerah underrated wisata yang sering dipilih bagi sebagian orang di Surabaya. Ada beberapa alasan yang mendasari fenomena tersebut. Saya jelaskan satu per satu ya. 

#1 Nggak terlalu capek karena jarak Surabaya ke Mojokerto lebih dekat

Bagi orang Surabaya, perkara jarak itu jadi satu hal yang sangat dipertimbangkan. Sebab jarak bukan hanya tentang kilometer, tapi juga waktu dan rasa capek (mental maupun fisik). Dan, Mojokerto dengan destinasi utama Pacet dan Trawas jadi pilihan yang paling ideal. Waktu tempuh dari Surabaya ke Mojokerto hanya berkisar 2-3 jam.

Perjalanan tidak memakan waktu lama kalau kalau kalian berangkat setelah subuh atau siangan dikit kemudian dan melewati Krian atau tol. Apabila perjalanan lancar, kalian sudah bisa menghirup udara segar dan hawa dingin setelah menempuh perjalanan selama 2 jam. Badan belum terlalu remuk, emosi belum terkuras, dan masih ada tenaga buat senyum tipis-tipis di depan kamera.

Saya coba bandingkan dengan perjalanan ketika ke Malang. Waktu tempuh lebih dari 3–4 jam (tidak melalui tol). Sampai di lokasi, memang banyak destinasi, tapi badan bisa jadi sudah ngilu dan cekit-cekit. Apalagi kalau tujuannya ke daerah Batu. Makin jauh dan lebih menguras energi.

Pilihan berlibur ke Mojokerto juga jadi masuk akal terlebih untuk mereka yang liburnya cuma Sabtu-Minggu. Dengan waktu libur yang singkat, Mojokerto dalam hal ini Pacet atau Trawas seperti simulasi untuk liburan panjang. Seseorang sudah bisa merasakan suasana dingin dengan pemandangan gunung yang menenangkan.

#2 Mood tempatnya beda dan lebih tenang

Malang itu kota wisata yang punya banyak pilihan destinasi. Kotanya ramai dengan lampu kota yang glamor dan penuh review positif di tiktok. Berbeda dengan Mojokerto yang menawarkan liburan tenang bagi orang yang lagi capek atau ingin menepi sebentar dari bisingnya Kota Surabaya.

Pemandangan gunung, sawah, air terjun di Mojokerto ditawarkan bersamaan dengan rasa sunyi. Ini cocok bagi kelas pekerja yang butuh ketenangan karena ingin menenangkan diri. Banyak tempat di Mojokerto yang nuansanya reflektif. Otak yang mulanya begitu ruwet dan penuh tuntutan jadi punya jeda. Mojokerto cocok untuk sekadar melamun, memandang gunung, sambil menggerutu tanpa arah.

#3 Cocok dengan budget kelas menengah Surabaya

Malang dengan kemewahannya acap kali dipandang terlalu mahal bagi kelas menengah, apalagi perantau seperti saya. Terlebih, liburan ke sana butuh persiapan yang lebih lengkap. Mulai dari biaya perjalanan, biaya makanan, biaya nginap (harus menginap kalau nggak mau capek). Dan, tentu saja  butuh tenaga ekstra untuk ke objek wisata satu ke objek wisata lainnya.

Sementara Mojokerto adalah pilihan paling masuk akal perkara biaya. Plesir ke sana cocok bagi orang-orang Surabaya yang ingin wisata “hijau-hijau, tapi gaji dan hari cutinya pas-pasan. Di sana makanan masih murah. Kafe-kafe yang biasanya terletak di tempat wisata juga menawarkan harga yang jauh lebih terjangkau. Hal itu membuat Mojokerto semacam jadi versi murah meriah dari keinginan untuk healing dengan budget tipis.

#4 Mojokerto nggak kalah estetik

Dalam beberapa tahun terakhir, Mojokerto terutama kawasan Pacet atau Trawas, pelan-pelan diperindah sehingga jadi semacam etalase foto. Banyak spot foto untuk memuaskan para pengunjung yang butuh foto estetik untuk “memberi makan” media sosialnya. Di sana ada glamping dengan tenda rapi menghadap lembah, ada kafe kecil yang terletak di pinggir sawah, hingga ada spot selfie dengan latar gunung.

Pengunjung bisa datang ke sebuah kafe, pesan kopi atau cokelat panas, lalu sibuk mengatur angle yang kebanyakan seperti ini: gelas harus setengah penuh, kabut di belakang pun kelihatan, dan kalau bisa ada siluet gunung yang nongol sedikit. Kadang-kadang momen diam memandang pemandangan cuma berlangsung tiga detik. Setelah itu kembali sibuk memilih filter yang paling cocok. Semua bisa didapatkan di Mojokerto.

Jadi ketika ada sebagian orang di Surabaya yang lebih memilih Mojokerto ketimbang Malang, itu bukan sekadar soal malas macet atau menempuh jarak jauh. Semua itu sudah melalui pertimbangan soal jarak, kondisi dompet, stok tenaga, dan kebutuhan “healing” yang nantinya dipamerkan di media sosial.

Bagi saya pribadi, Mojokerto menawarkan paket yang cukup, yaitu cukup dekat untuk tidak terlalu menyiksa, cukup dingin untuk merasa jauh dari Surabaya, cukup indah untuk diabadikan, dan cukup murah untuk tidak membuat awal bulan berikutnya penuh penyesalan. Malang? Entahlah, kota itu memang indah, tapi bagi saya penuh dengan kemalangan personal.

Penulis: Muhammad Iqbal Haqiqi
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA 8 Aturan Tak Tertulis di Surabaya yang Wajib Kalian Tahu Sebelum Datang ke Sana.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version