Betul orang Semarang udah biasa sama panas yang menggelora, tapi bukan berarti kebal sama heatwave yang sedang menyerang ini. Tetep melu ngamuk, Gaes!
Beberapa bulan belakangan ini, masyarakat Indonesia hampir setiap saat mengeluhkan tentang kenaikan suhu udara yang dirasa sudah berada di luar nalar, tak peduli siang ataupun malam. Saking tingginya temperatur, banyak pengguna media sosial yang memanfaatkan peristiwa hawa panas ini untuk membuat konten di sejumlah platform demi meraih atensi publik. Mulai dari merebus air hingga menggoreng telur mata sapi di atas permukaan wajan teflon yang sudah dipanaskan sekitar satu jam sebelumnya.
Sontak saja, konten tersebut menjadi viral dan ramai dikutip oleh beberapa portal berita lokal. Pasalnya, tidak sedikit warganet yang merasa relate dengan situasi tersebut. Bahkan, melansir dari situs cnnindonesia.com, kondisi demikan tidak hanya dirasakan oleh penduduk di Nusantara yang memiliki iklim tropis. Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pun secara gamblang menyatakan bahwa tren global memperlihatkan kenaikan suhu di berbagai belahan dunia sebagai akibat perubahan iklim.
Lantas, pertanyaan iseng nan menggelitik yang ditujukan kepada warga Kota Semarang turut pula mencuat mengikuti fenomena alam ini. Seperti yang umumnya orang tahu, Semarang tidak saja dikenal dengan gurihnya lumpia, melainkan juga gerahnya udara. Sebagai penghuni wilayah Semarang yang sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Kota Atlas ini, saya akui jika mayoritas warga di Ibu Kota Jawa Tengah memang tidak asing lagi dengan hawa panas.
Orang Semarang tidak serta merta kebal panas
Namun, jujur saja, terbiasa terpanggang selama ini tidak secara otomatis membuat kami warga Semarang tangguh terhadap efek heat wave tahun ini. Boleh dibilang, ibarat bermain game, cuaca panas di pertengahan tahun kali ini seakan memaksa kami untuk bertarung di level yang lebih tinggi. Yah, kalau kami yang sudah lama berteman dengan gerah saja kewalahan, apalagi kalian.
Proses adaptasi pasti tidak ada yang instan. Mau tidak mau, kami pun turut mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan yang berada di luar kuasa manusia. Benar, air conditioner mungkin memang bisa menangkal permasalahan ini. Akan tetapi, tidak semua orang seberuntung itu untuk membeli pendingin ruangan atau mengisi token listrik tanpa mikir nominal agar mesin tersebut dapat menyala sepanjang waktu.
“Kalau begitu, pakai kipas angin, dong!”
Weh, tak semudah itu, Ferguso. Hawa panas Semarang yang pernah menyentuh sampai angka 39°C ini nggak mempan jika hanya ditangkis oleh kipas angin. Pada dasarnya, kipas angin hanya membuat udara bergerak, bukan menyulap udara berubah lebih dingin. Artinya, angin yang menerpa wajah sebenarnya nggak jauh lebih sejuk juga seperti kalau kita berada di dalam mall yang bertebaran AC. Alih-alih mendapat hembusan angin surgawi, kami justru malah masuk angin.
Menenggak air es pun bukan solusi yang tepat. Memang betul, mengkonsumsi minuman dingin di tengah cuaca terik siang hari sungguh menyegarkan, apalagi ditambah sirup dan kelapa muda. Sayangnya, terlalu sering meminum air es akan menimbulkan masalah baru bagi beberapa orang. Seperti yang dikutip dari situs klikdokter.com, meminum air es berpeluang memunculkan efek negatif bagi mereka yang mempunyai alergi dingin. Misalnya saja, keluhan pada saluran napas. Bagi sejumlah orang lainnya, konsumsi air dingin sanggup mencetuskan sakit kepala sebelah alias migrain.
Banyak yang kena ISPA
Tidak heran apabila sejak beberapa bulan lalu, sederet rumah sakit di Semarang dipenuhi oleh pasien. Bukan hanya orang dewasa, pasien anak kecil pun tak kalah jumlahnya. Sebagian besar dari mereka menderita gejala infeksi saluran napas (ISPA), baik yang berasal dari bakteri maupun virus. Penularan penyakit ini terhitung cukup cepat, khususnya di lingkungan sekolah. Terlebih, sekarang ini tidak ada lagi kewajiban memakai masker.
Sebagai pihak yang tidak berkecimpung di dunia kesehatan, tentu saya tak punya kapasitas mengorelasikan eksistensi ISPA dengan heat wave. Namun, jika diizinkan memakai ilmu cocoklogi, bisa jadi keberadaan peningkatan temperatur belakangan menjadi salah satu faktor tidak langsung naiknya penderita ISPA di Semarang. Menurut kacamata awam saya, cuaca panas tanpa hujan setetes pun menyebabkan jumlah debu meningkat.
Debu yang biasanya menjadi kalem lantaran tersiram air hujan, sekarang terbang bebas kian kemari, terutama menjangkiti mereka yang alergi. Ditambah lagi, suhu udara tak bersahabat tersebut rentan membuat orang dehidrasi. Jika tidak segera ditangani, tenggorokan akan menjadi kering dan terserang iritasi. Dengan demikian, sangat masuk akal apabila masyarakat riskan tertulari penyakit ISPA.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa berpuluh tahun digembleng dengan udara menyengat bukan merupakan suatu privilese bagi penduduk kota dengan simbol Lawang Sewu. Kami tidak kebal dengan hawa panas, apalagi penyakit yang diam-diam mendompleng. Yang ada, isi dompet semakin tipis karena harus periksa ke dokter atau menguatkan diri membeli seperangkat alat pendingin udara demi keluarga tercinta. Jadi, kata siapa sumuk nggak bikin wong Semarang ngamuk?
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Hal yang Bikin Saya Menderita ketika Pindah dari Jogja ke Semarang