“Om, jangan ki lewat Jalan Lanto Dg pasewang depan RS Dadi Makassar sekarang, karena orang Papua lagi mengamuk depan asramanya”, bunyi pesan siaran yang beredar di grup-grup WhatsApp, senin malam dua pekan yang lalu. Sontak saya kaget dan lantas berinisiatif mengecek kesimpangsiuran kabar tersebut.
Berselang kemudian, kabar demi kabar berdatangan. Kawan-kawan Papua bukannya sedang mengamuk. Malahan, mereka sedang ditimpuki batu oleh sejumlah orang tidak dikenal. Memang ada balasan lemparan dari dalam asrama, tetapi sekadar untuk melindungi diri. Dalam keadaan terdesak, tindakan itu tentu saja terpaksa dilakukan.
Senin malam yang mencekam itu, merupakan rentetan aksi intimidasi dan rasialisme terhadap orang-orang Papua di beberapa wilayah di Indonesia. Bermula dari Surabaya, dan akhirnya sampai pula di Makassar. Ini bukan kali pertama asrama Mahasiswa Papua di Makassar diseruduk massa. Desember 2018 yang lalu, gabungan beberapa Ormas mendatangi asrama Papua. Mereka mengancam dan mendesak agar peringatan 57 Tahun Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat tidak usah digelar.
Rentetan perlakuan rasial dan intimidasi terhadap kawan-kawan Papua, tidak mewakili sikap sebagian besar warga Makassar dan secara umum Sulawesi Selatan. Pasca penyerangan tersebut mengemuka di pemberitaan, warganet Makassar mengunggah beragam konten di media sosial yang menandai hubungan baik mereka dengan orang Papua. Meme bernada solidaritas bertebaran. Unggahan foto kebersamaan antara Makassar dan Papua, hadir satu per satu di linimasa demi mendinginkan suasana.
Makassar selalu dan seharusnya jadi tempat yang ramah, serta nyaman bagi para pendatang. Massa yang menimpuki batu asrama Papua, selayaknya “ditimpuki” balik dengan fakta-fakta sejarah tentang bagaimana adab orang Makassar memperlakukan tamu. Saya kutipkan saja secuil fakta itu yhaaa~
“Politik pintu terbuka yang dijalankan oleh Kerajaan Makassar bukan hanya diarahkan untuk memikat pedagang dan pelaut di daerah sekitar (Bugis, Makassar, Mandar, Selayar dan Bajo) atau Portugis di Malaka dan Melayu, tetapi juga mereka yang bergiat di Asia Timur dan Asia Tenggara (pedagang Eropa, Asia Timur dan Asia Tenggara),” tulis Edward L Poelinggomang (2002).
Mari menggarisbawahi istilah “politik pintu terbuka”. Pada abad ke-16, term ini dipakai Kerajaan Makassar untuk menjaga hubungan perdagangan lintas wilayah. Apabila ingin bebas berdagang di negeri orang, maka di tempat sendiri selayaknya memperlakukan pegadang dari negeri lain dengan baik. Simbiosis mutualisme-lah singkatnya. Sama seperti sekarang, di Papua sana hampir ribuan orang Bugis-Makassar yang mengadu nasib. Paling banyak sebagai pedagang, selebihnya di sektor pendidikan dan macam-macam lainnya.
Pun, sebagai masyarakat dengan jiwa pasompe’ (perantau) dan hidup dari perniagaan, orang-orang Makassar sejak lama memahami bahwa urusan perdagangan tidak boleh memandang lewat kacamata kuda. Berdagang mesti dilatari prinsip bebas, tanpa membedakan identitas apapun. Masak iya berdagang harus milih-milih tempat beli barang atau menjual hanya kepada orang-orang tertentu? Dalam berdagang ya kita setara. Paling pertimbangannya cuma untung rugi.
Ada satu istilah lagi yang menggambarkan bagaimana masyarakat Makassar jadi kota pelabuhan paling plural di abad itu. “Prinsip Laut Bebas”, di mana perairan di yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Makassar bebas dilewati oleh kapal berbendera apapun. Berkat prinsip ini, pelabuhan Makassar terkenalnya sampai ke Eropa sana. Nah, di situasi zaman sekarang, dengan jargon khas Makassar Kota Dunia, apa salahnya kalau jalan-jalan di kota ini bebas dilewati dan menjadi pusat aktivitas berbagai macam orang berlatar belakang berbeda? Ndak ji toh?
Arkian, kedua istilah tersebut bisa diperluas lagi maknanya dalam konteks sekarang—bukan saja dalam hubungan perdagangan. Apalagi bertepatan dengan rentetan kasus rasialisme struktural yang menimpa kawan-kawan Papua. Makassar adalah tempat segala identitas dapat berbaur dan hidup bersama dengan damai. Terlebih, bagi mereka yang masih satu nusa dan satu bangsa.
Menerima segala bentuk identitas adalah prinsip hidup masyarakat Makassar sejak lama. Nilai sipakatau (memanusiakan manusia) terpatri sejak lama dan penting untuk ditegakkan hingga kini. Mau Papua, Jawa, Melayu, Islam, Konghucu, Kristen, apapun latar belakang identitasnya, saling memperlakukan sebagai sesama manusia.
Jadi tahu kan, sebagai orang Makassar kita harus memperlakukan orang Papua seperti apa? Sebab Daeng dan Pace itu bersaudara. (*)
BACA JUGA Tentang “Maaf Sekadar Mengingatkan” yang Lagi Tren di Makassar atau tulisan Andi Ilham Badawi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.