Beberapa hari yang lalu, saya melihat sebuah postingan di sebuah grup Facebook info kontrakan sebuah daerah yang saya ikuti. Dalam postingan tersebut, pembuatnya yang seorang pemilik kontrakan membagikan cerita tentang seseorang yang mengontrak di tempat miliknya. Intinya, orang tersebut pergi tanpa pamit sebelum membayar uang kontrakan yang sudah menunggak sekian lama. Padahal, si pemilik kontrakan sudah berbaik hati memberikan berbagai keringanan bahkan tidak mengusirnya meskipun sudah lama belum membayar. Selain bercerita, pembuat postingan ingin memberi tahu pemilik kontrakan lainnya agar berhati-hati dalam menerima penyewa.
Peristiwa dan cerita seperti ini akan sering kita temui jika kita bergabung dalam grup info kontrakan di Facebook. Ulah orang yang kabur tanpa membayar memang menyebalkan, tapi ada yang jauh lebih menyebalkan dari hal tersebut, yaitu komentar orang-orang di postingan tersebut. Di kolom komentar, bukannya mengecam tindakan orang yang kabur, mayoritas justru menyudutkan tindakan pemilik kontrakan yang membuat postingan.
Menurut para Facebooker yang paling bijak, hal tersebut sudah biasa terjadi dalam dunia kontrak dan kos, jadi tidak perlu sampai diposting di grup. Berlebihan kata mereka. Padahal, postingan tersebut di posting di grup info kost dan kontrakan daerah, kenapa tidak boleh? Kecuali postingnya di grup kicau mania, itu juga boleh sih kalau diizinin sama adminnya.
Lebih lanjut, banyak komentar yang mengatakan pembuat postingan pelit bin kikir karena uang “segitu” saja diributkan, menurut mereka harusnya diikhlaskan saja. Hadeuh, apa mungkin dalam bayangan mereka, pemilik kontrakan itu semuanya bergelimang harta? Saya beri tahu, ya, Maemunnah Claloe Chayank Kamoeh, tidak semua pemilik kontrakan itu duitnya turah-turah. Tidak semua pemilik kontrakan punya banyak properti. Tidak semua pemilik kontrakan itu menjadikan kontrakan sebagai penghasilan sampingan yang hanya untuk tambah-tambah tabungan. Banyak yang menjadikannya sebagai sumber penghasilan utama mereka, untuk makan anak-istrinya.
Saya pernah tinggal di sebuah indekos cukup besar yang berdiri di daerah strategis karena dekat dengan beberapa perguruan tinggi. Pemiliknya adalah seorang ibu-ibu. Orang akan melihat sekilas bahwa ibu pemilik indekos tersebut sudah sangat berkecukupan, termasuk saya saat awal-awal tinggal di sana. Anehnya, ibu tersebut masih mencari penghasilan lain dengan berjualan sayur keliling menggunakan motor Astreanya yang sudah butut. Hal ini cukup menjadi bahan overthinking saya selama beberapa waktu. Mengapa Ibu kos rela berlelah-lelah berjualan sayur keliling padahal sudah punya aset indekos yang hampir selalu penuh? Bukankah lebih enak berleha-leha sambil nunggu setoran dari para penunggu indekos?
Keanehan tidak berhenti di situ saja. Beberapa hari sekali, akan ada beberapa orang yang datang untuk menagih setoran pada Ibu kos. Tak jarang, Ibu kos memilih bersembunyi daripada menemui mereka.
Saya baru menemukan jawaban atas keanehan tersebut setelah beberapa bulan tinggal di sana. Ternyata, Ibu kos tersebut pada mulanya bukanlah orang yang berkecukupan. Bahkan ia memiliki banyak utang di beberapa tempat. Namun, ia memiliki sepetak tanah di tempat yang strategis. Akhirnya, dengan modal yakin, ia mengajukan utang (lagi) di bank untuk membangun indekos di tanah tersebut. Sampai saat saya tinggal di indekos tersebut, utang-utang tersebut belum juga lunas. Jadi, uang dari penyewa ia gunakan untuk mencicil utang dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia menggunakan uang hasil berjualan sayur.
Hal tersebut juga yang membuat beliau sangat ketat perihal uang sewa. Seminggu sebelum tanggal pembayaran, kita sudah diwanti-wanti untuk bayar. Saya memaklumi hal tersebut karena jika ada yang tidak membayar, ia harus bersiap lagi untuk kucing-kucingan dengan debt collector yang datang.
Kondisi demikian kiranya tidak hanya dialami oleh Ibu kos saya saja, tapi banyak pemilik indekos/kontrakan lainnya. Lalu, ada orang yang seenaknya saja kabur setelah menunggak uang, apa bukan bajingan namanya? Eh, pas curhat di grup, malah banyak yang bilang kikir, itu sih biangnya bajingan.
Berarti, kalau pemiliknya memang orang yang hartanya sudah tidak terhitung, kita boleh kabur tanpa bayar? Tetap saja nggak boleh, dong! Bergelimang harta atau tidak, para pemilik kontrakan itu sedang berbisnis, bukan membuka tempat pengungsian. Jangan seenaknya sendiri.
Lalu, jika kita berandai berada dalam posisi pemilik kontrakan yang ditinggal kabur, dan kita memilih untuk mengikhlaskan hal tersebut, itu memang tindakan yang sangat terpuji. Tapi, jangan paksakan orang lain untuk melakukan hal yang sama. Para pemilik kontrakan yang curhat ditinggal kabur penghuninya itu sedang berjuang mendapatkan haknya, bukan sedang meminta-minta.
Toh, saya yakin kalau kalian—yang sok bijak itu—dalam posisi mereka, belum tentu jiwa “dermawan” kalian muncul. Palingan yaaa tetep marah-marah mengutuk. Nyuruh ikhlas emang gampang, ha wong nyuruh doang.
Sumber gambar: Pixabay