Membaca manga One Piece bukan hanya sebuah upaya menghilangkan penat. Membaca manga terbaik di dunia ini adalah sebuah upaya mencari sudut pandang baru dalam menyikapi persoalan kehidupan.
Tidak berlebihan memang jika dikatakan One Piece adalah karya spektakuler yang menyajikan hal-hal “tabu” di dunia nyata, tetapi memiliki makna yang sangat besar bagi kehidupan. Pasalnya ada banyak isu-isu sensitif yang sering diangkat di setiap babaknya.
Misalnya budaya menghakimi seseorang dari kulitnya, fisiknya, bahkan keturunannya. Artinya ada sikap diskriminasi yang sering, bahkan diproduksi, dalam kehidupan manusia yang fana ini. Kita tahu, sebuah karya (sastra) biasanya merupakan cerminan dunia nyata.
Sejak awal cerita kita sudah disuguhi wujud diskriminasi tersebut. Misalnya ketika tokoh utama One Piece, Monkey D. Luffy, dicap sebagai penjahat karena menjadi bajak laut. Apalagi setelah diketahui kalau dia punya “darah pemberontak” dari ayahnya, seorang pemimpin Pasukan Revolusi.
Padahal banyak hal baik yang dilakukan Luffy dan tidak ada kaitannya dengan bapaknya. Tidak perlu saya jelaskan panjang dan lebar. Luffy dan kru bajak laut Topi Jerami sering terlibat dalam revolusi suatu negara. Membebaskan negara itu dari tirani. Namun, kebaikan itu di-framing oleh Pemerintahan Dunia sebagai sebuah tindak kejahatan. Kenapa? Karena merusak “tatanan para tirani”. Luffy dianggap kejam dan bengis.
Hal serupa juga terjadi dengan kakaknya, Portgas D. Ace, yang dianggap sebagai orang berbahaya. Di darah Ace mengalir darah Raja Bajak Laut. Padahal antara mereka dengan bapaknya berbeda dan tidak bisa disamakan. Belum lagi ras-ras yang sering mengalami penindasan dan sikap diskriminatif lainnya, seperti ras manusia ikan yang sering dikucilkan, bahkan diculik untuk dijual di perdagangan makhluk.
Bagi mereka, anak muda, One Piece bisa menjadi alat terbaik untuk belajar diskriminasi. Terkadang, sulit sekali mempelajari tema berat ini dari bangku sekolah. Terkadang, terlalu banyak teori tanpa wujud nyata bukan aksi belajar yang baik.
One Piece menyajikan dengan nyata betapa budaya masyarakat dunia (nyata) memang rasis. Misalnya melihat baik dan buruknya seseorang dari ras (manusia ikan), menganggap para keturunan bangsawan sebagai “hukum tunggal”. Menghakimi para bajak laut dan mengganggap mereka semua sama.
Bukankah yang seperti itu terjadi di dunia nyata? Anak-anak politikus bisa menghindari hukum dengan mudah. Saudara-saudara dari Indonesia Timur dianggap terbelakang, padahal pada kenyatannya mereka lebih pandai bertahan hidup dan mencintai sesama. Memandang mereka yang pakai cadar dengan pandangan sinis. Menilai mereka yang berbeda agama sebagai kafir.
Ya mohon maaf sebelumnya, agama sering disalahgunakan oleh mereka untuk “menghakimi”. Ketika orang memakai baju atau simbol yang identik dengan pelaksanaan agama lalu dianggap suci seperti malaikat. Padahal, dia sedang menghancurkan rasa kemanusian dengan berlaku kasar kepada mereka yang berbeda pendapat dan punya tata cara beribadah yang berbeda.
Bahkan mereka tidak segan-segan memporakporandakan sesuatu yang menurut mereka salah dengan dalih melindungi agama. Sekali lagi, apa yang tampak belum tentu mencerminkan sifat dan karakter seseorang.
Memberi label pada seseorang karena penampilan sangat tidak tepat. Saya juga punya pengalaman yang tidak enak ketika dihakimi karena penampilan dan fisik. Ketika masa sekolah dahulu, ada senior yang jengkel kepada saya karena dianggap menantangnya. Padahal ya memang kondisi fisik saya yang memiliki bola mata cukup besar.
Sungguh tidak enak jika orang menyimpulkan hanya sebatas penilaian karena fisik dan penampilan. Baik di dunia nyata maupun maya, fenomena diskriminatif sulit sekali dikikis. Parahnya lagi, ketika bentrokan terjadi, baik di dunia nyata maupun maya, banyak orang malah bersorak menikmati perkelahian.
Orang-orang seperti ini perlu membaca One Piece sejak babak awal. Supaya bisa belajar bahwa tidak semua yang tampak buruk di luar tidak mencerminkan isi hati dan sikapnya. Begitu pula sebaliknya, yang tampak baik belum tentu mencerminkan hati yang jernih.
Kemauan untuk menerima siapa saja tanpa memandang identitas adalah cerminan kemajuan manusia dalam berpikir. Oleh sebab itu, terima kasih kepada One Piece, alat belajar mencintai semua makhluk hidup tanpa terkecuali.
BACA JUGA No Debat! One Piece Lebih Baik daripada Naruto atau tulisan Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.