Berdebat masalah teologi tidak akan pernah berakhir dengan baik. Namun, berdebat perihal apa yang dipercayai tanpa alasan ini tetap jadi minat orang banyak. Dari meja kedai kopi, laman media sosial, sampai forum yang terhormat. Sebenarnya saya tidak pernah ambil pusing. Menyimak debat yang berputar-putar perkara ilahi sering membuat saya senyum-senyum sendiri.
Namun, saya sering bosan dengan pertanyaan yang itu-itu saja. Apalagi pertanyaan tersebut hanya bertujuan untuk menjebak lawan bicara. Pertanyaan itu sangat sederhana, namun merenggut fokus dan pikiran para teolog dan filsuf: “Apakah Tuhan bisa menciptakan batu yang sangat berat, sampai Tuhan sendiri tidak dapat mengangkat benda tersebut.”
Mengapa ini menjadi paradoks?
Bila Tuhan tidak bisa mengangkat batu tersebut, maka Tuhan bukanlah entitas maha kuasa dan takluk pada ciptaannya. Namun, jika Tuhan bisa mengangkat batu tersebut (yang berarti gagal menciptakan batu paling berat), Tuhan bukanlah maha pencipta segalanya.
Pertanyaan ini dikenal sebagai omnipotence paradox. Sebuah paradoks dari kepercayaan bahwa Tuhan memiliki sifat omnipotent alias Maha Kuasa. Paradoks ini sering dijadikan senjata pamungkas para ateis yang membuat para teis kelabakan.
Saya tidak menyukai debat yang berat sebelah, maka dari itu saya bagikan jawaban dari paradoks ini. Jadi kawan-kawan teis tidak perlu plonga-plongo dalam mempertahankan imannya, hehe.
Sedikit sejarah, omnipotence paradox berasal dari abad ke-12 Masehi. Pertanyaan ini diajukan oleh Averroes alias Ibnu Rushd, seorang cendekiawan Muslim. Thomas Aquinas, seorang teolog Kristiani, juga pernah mengajukan pertanyaan serupa. Jika ditarik ke versi lebih kuno, Pseudo-Dionysius the Areopagite pernah mengajukan pertanyaan yang mirip-mirip dua cendekiawan sesudahnya.
Paradoks ini tidak bisa dijawab dengan polos. Jawaban paradoks ini bukan sekedar ya atau tidak. Sebenarnya, jawaban dari pertanyaan ini sudah sangat banyak. Namun, banyak jawaban yang terlalu rumit untuk dipahami, apalagi hanya untuk membungkam kawan yang (terlihat) ateis.
Maka saya coba bagikan jawaban paling sederhana dan bisa diterima berbagai iman, terutama yang berakar dari agama samawi.
Dalam esai di Internet Encyclopedia of Philosophy, terdapat penjelasan rinci perihal jawaban ini. Tentu berdasarkan dari filsuf maupun cendekiawan dari berbagai agama. Bisa saja Anda berikan esai tersebut saja daripada debat tak berkesudahan. Namun, jika Anda ingin menambah pengetahuan perihal keilahian, berikut adalah ringkasan seturut apa yang saya pahami.
Setiap kepercayaan menempatkan entitas “Tuhan” sebagai figur yang bebas dari ruang dan waktu manusia. Tuhan adalah entitas yang menciptakan segala batasan yang kini ditemui manusia. Konsep ini adalah dasar utama sosok “Tuhan” dalam berbagai kepercayaan. Dan sebenarnya, konsep ini telah menjawab paradoks.
Oleh karena bebas dari konsep ruang dan waktu, maka Tuhan dapat menciptakan sesuatu yang sesuai dengan konsep ruang manusia. Contohnya ya batu yang maha berat tadi. Namun, di luar konsep ruang tadi, Tuhan tetap berkuasa pada ciptaannya. Batu yang sangat berat tadi tetap bisa terangkat, namun diluar konsep ruang yang kita kenal.
Dyar, pusing kan? Mungkin teman ateis Anda hanya memandang jawaban ini cari aman. Tapi, tidak akan pusing jika Anda menempatkan “Tuhan” di luar wilayah manusia, menempatkan Tuhan di luar konsep ruang dan waktu. Menurut saya, sulitnya menjawab omnipotence paradox adalah pada saling silang sosok Tuhan sebagai ilahi di luar lingkup kemanusiaan.
Sebenarnya, menciptakan batu (atau benda apapun) masih dalam tataran ruang dan waktu manusia. Mengangkat batu pun adalah kerja yang terjadi dalam konsep ruang dan waktu manusia juga. Jadi, logika yang digunakan adalah logika manusia. Tidak beda dengan pertanyaan “Kamu bisa nggak jadi pacar si A?” Jadi pacar bukanlah perkara yang lepas dari logika ruang dan waktu manusia.
Tapi, “konsep” Tuhan adalah entitas yang menciptakan dan berada di luar ruang dan waktu. Tuhan bisa menciptakan sebuah batu yang sangat berat sampai dia sendiri tidak bisa mengangkatnya. Tapi, dalam ruang dan waktu manusia, batu ciptaan ini akan sangat berat, sampai Anda merasa tanggungan kartu kredit hanyalah butiran debu.
Namun, Tuhan adalah entitas di luar ruang dan waktu. Ciptaan di ruang dan waktu manusia bisa dinegasi dengan konsep ruang dan waktu lain. Jadi, jawaban paling mudah, ringkas, dan tepat guna dari paradoks ini adalah: Tuhan bisa saja menciptakan batu yang sangat berat dan tidak dapat diangkat. Tapi, dalam lingkup ruang dan waktu manusia, Tuhan akan mampu mengangkat bahkan menghancurkan batu itu dalam ruang dan waktu yang lain.
Jawaban ini bukan jawaban cari aman. Justru, jawaban ini adalah bukti omnipotent dari sosok Tuhan. Jawaban ini juga menjawab pertanyaan receh “Apa Tuhan bisa membuat lingkarang tapi berbentuk kotak?” “apa Tuhan bisa menciptakan 2+2=5?” atau “apa Tuhan bisa membuatmu punya pasangan?” Pertanyaan tersebut hanya muncul dalam logika ruang dan waktu manusia. Dan Tuhan bebas dari itu.
Sebenarnya, menjawab omnipotence paradox memang tidak penting-penting amat. Paling Anda hanya mendapat kepuasan bisa menang debat lawan ateis saja. Tapi, memahami pertanyaan ini bisa membuka wawasan Anda perihal keilahian. Dan menurut saya, jawaban pertanyaan ini bisa menguatkan keimanan Anda kepada Tuhan dan semesta. Rahayu.
BACA JUGA Borok Pemuka Agama Lain Tidak Perlu Dicari dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.