Saya ikut terkekeh ketika disodorkan berita oleh teman ihwal sepuluh jurusan yang paling disesali oleh lulusannya. Tak lain, karena jurnalistik menempati peringkat satu dengan persentase 87 persen. Disusul oleh jurusan seni dan sosiologi dengan angka 72 persen dan jurusan komunikasi 64 persen.
Survey itu, dilakukan oleh ZipRecruiter kepada 1.500 lulusan perguruan tinggi di Amerika Serikat (AS) yang sedang mencari pekerjaan pada November 2022. Katanya, penyesalan tersebut musababnya berkaitan dengan keuangan.
Ragam respon dari netizen yang saya lihat, ada yang mendukung ada juga yang meremehkan. Ada yang bilang, “Gaji segala diukur”, “Kurang berusaha,” dan lainnya bahkan ada yang bilang kuliahnya kurang serius.
Sebagai mahasiswa jurnalistik tingkat tiga, saya memaklumi bahkan mengamini mengapa beberapa lulusan jurnalistik itu menyesal mengambil mata kuliah jurnalistik. Apalagi jika berbicara mengenai kesejahteraan. Agaknya saya dan teman saya yang sama-sama tertawa kecil ketika melihat berita itu memiliki pandangan yang serupa.
Meski berbeda konteks negara, hal demikian tetaplah relevan bagi kami. Begini, gaji wartawan yang kecil di Indonesia sepertinya sudah menjadi rahasia umum. Jadi untuk lulusan jurnalistik yang hendak menjadi jurnalis dan sebangsanya mestilah bersiap-siap.
Perihal gaji ini juga pernah saya tanyakan kepada dosen saat saya masih mahasiswa baru polos yang tidak tahu apa-apa. Tahu reaksi beliau bagaimana? Beliau hanya tersenyum. Sembari memaparkan kalo kata AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) sih, upah layak wartawan atau jurnalis pemula itu Rp8.793.000, di tahun 2020. Katanya, kalau di bawah itu berarti medianya yang salah. Yah, begitulah.
Sementara setahun kemudian, pada 2021, saya masih mendengar ada media yang menggaji wartawannya di bawah UMR. Di bawah, loh. Juga di Ibu Kota. Bagaimana dengan wartawan lokal?
Urusan gaji ini bukan soal uang dan kekayaan saja, tapi banyak hal. Ada orang yang mencari gaji tinggi untuk bisa menghidupi banyak kepala. Ada yang merasa perlu gaji lebih untuk memberi makan hobi. Lalu, ada juga bahkan orang yang menargetkan gaji tinggi demi menebus uang kuliah misalnya.
Tapi sayangnya, biaya kuliah dan gaji di bidang jurnalisme sepertinya memiliki jarak yang cukup jauh. Rata-rata biaya masuk kuliah pertama bisa mencapai dua digit, belum lagi UKT bulanan yang juga sama mahalnya. Untuk mengganti biaya kuliah itu, bisa membutuhkan waktu belasan sampai puluhan tahun.
Selain persoalan keuangan, beberapa faktor lapangan juga bisa membuat mental mahasiswa jurnalistik ciut untuk menjadi jurnalis, apalagi di era digital seperti ini. Sebut saja, tuntutan membuat berita yang tidak masuk akal setiap harinya. Ada loh media yang meminta wartawan menulis sampai berpuluh berita setiap hari. Buruh media sekali, ya. Belum lagi, seorang jurnalis atau wartawan juga tidak hanya berlomba dengan kecepatan teknologi internet, tetapi juga dengan pelaku lain seperti content creator.
Di Indonesia sendiri, persoalan gaji wartawan yang rendah ini memang bergantung pada media. Masing-masing media memiliki angka yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil pengamatan saya, ini sangat berkaitan dengan efektivitas model bisnis yang dijalankan oleh sebuah media di era digital seperti sekarang ini.
Mengapa dahulu jurnalis dan wartawan dapat digaji dengan layak? Karena, dahulu sebelum teknologi berkembang khususnya internet, pengiklan banyak memasangkan produknya di halaman koran serta cuplikan televisi dan radio. Dana yang masuk kepada perusahaan dari iklan tersebut cukup besar. Alhasil, anggaran gaji dapat tercukupi dengan baik sebab pasokan utama pendanaan terpenuhi.
Sementara, saat ini, era digital sudah merajai pendanaan itu sendiri. Iklan sebagai sokongan utama beberapa media tersendat akibat adanya aturan algoritma dari Google yang menyebabkan dana iklan yang dapat masuk harus memenuhi kriteria tertentu terlebih dahulu. Suntikan dana sulit dicapai lagi.
Untuk beberapa media konvensional, bahkan ada yang tidak bisa beradaptasi. Besarnya biaya produksi yang dikeluarkan kemudian membiarkan gaji wartawan yang jadi risikonya (Taufik, 2015).
Belum lagi, ekonomi-politik juga jadi salah satu penyebabnya. Seperti kata Adiprasetio (2019), perubahan politik pasca-reformasi membuat banyak media baru didirikan. Kebebasan demokrasi memang terwujud, tapi persaingan media juga tak kalah adanya. Media yang bersaing ini, kebanyakan sama-sama bersaing untuk mendapatkan dana iklan dari internet. Kalau iklan yang masuk kurang, maka gaji jurnalis juga akan bisa mengikuti.
Melihat pertimbangan-pertimbangan tadi, sebenarnya akan cukup sulit untuk menyangkali hasil survey ZipRecruiter. Lah wong, teman-teman sekelas saya saja bahkan banyak yang tidak mau menjadi jurnalis. Kadang, saking sedikitnya yang berminat jadi jurnalis atau wartawan, ketika ditanyai terkait itu seperti mendapat diskriminasi.
Terus terang seperti yang juga dijelaskan dalam survei, banyak lulusan yang menikmati masa perkuliahannya. Begitu pun dengan saya dan teman-teman saya. Karena hanya di jurusan jurnalisme kita diharuskan membaca berita setiap hari, diasah berpikir kritis, dan dituntut menjadi seorang generalist.
Semestinya, jurnalis atau wartawan bisa diperjuangkan lagi kesejahteraannya, bukan malah dieksploitasi. Bukan apa-apa, tapi pekerjaan jurnalisme itu memikul kode etik jurnalistik dan 10 elemen jurnalisme yang dicetuskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Belum lagi, praktiknya kadang diiringi teror dan marabahaya.
Media, mungkin bisa menerapkan model pendanaan bisnis yang lebih berkelanjutan lagi. Terutama, yang tidak bergantung pada iklan apalagi iklan by Google. Inovasi pendanaan perlu dieksplor kembali. Beberapa media alternatif saat ini ada yang sudah mulai melakukan model baru seperti subscription, crowdfunding, partnership, dan lainnya. Itu bisa menjadi model yang menjanjikan.
Kalau masih sulit, mungkin pemerintah bisa ikut mendanai media. Mengingat informasi adalah hak setiap warga negara pula, bukan? Di Jerman misalnya, banyak media partisan partai yang jadi gurita bisnis tersendiri. Media yang bagus kemudian menjadi cerminan partai tersebut. Akan tetapi dalam hal ini, media tidak menjadi alat citra partai melainkan mendukung saja tanpa ada keberpihakan.
Mungkin Indonesia bisa menerapkan hal itu juga. Dengan catatan, mendanai saja ya, tidak ikut mengurusi dapur redaksi, hehehe.
Penulis: Lugina Nurul Ihsan
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Hal terkait Jurusan Jurnalistik yang Kerap Disalahpahami