PKI merupakan bagian yang paling disorot atas keterlibatannya dengan peristiwa paling bersejarah dalam pembantaian. Bagaimana tidak, setelah pembantaian usai hingga seluruh anggota PKI maupun masyarakat sekitarnya yang dituduh PKI dibabat habis oleh pelaku atas instruksi dalangnya itu, nama PKI masih digaungkan dalam kontestasi politik di masa sekarang.
PKI bukan hanya menjadi partai yang pernah mendapat suara terbanyak dalam pemilu 1955. Saking ampuhnya PKI, meskipun sekarang sudah tidak tercium keberadaanya secara pasti, nama partai itu sering dimanfaatkan oleh elit politik zaman sekarang sebagai senjata untuk menciptakan propaganda ketakutan atas pembantaian dan pembunuhan.
Peristiwa pembantaian yang dikenal sebagai G30S selalu santer dibicarakan, apalagi menjelang hari ketika peristiwa memilukan itu terjadi. Setiap orang berargumen menurut sejarah yang mereka yakini kebenarannya. Tetapi, tidak semua dari mereka yang mencuatkan sebuah argumen menelisik sejarah pilu itu secara keseluruhan. Sebab, di balik argumennya mereka cenderung mencari pengakuan sebagai orang yang peduli meski hanya pada momen tertentu.
Dari peristiwa pembantaian dan leburnya PKI dari eksistensinya saat itu, saya memetik bagian menarik setelah terjadinya peristiwa genosida alias pembantaian G30S ataupun Gestok pada 1965. Diperkirakan tiga juta nyawa manusia melayang dijadikan tumbal atas dalih ketentraman bernegara kala itu. Kekejaman dengan pembantaian sepertinya usaha paling mutakhir untuk menyelesaikan persaingan politik. Sampai akhirnya saya berpendapat PKI lebih layak disebut korban.
Mengenai pengetahuan sejarah memilukan G30S, tidak sedikit dari kalangan mahasiswa dan masyarakat yang benar-benar menaruh perhatian terhadap peristiwa itu, dan tidak sedikit juga yang hanya meletakan perhatian atas dasar belas kasihan kepada kondisi korban pembantaian. Sebenarnya, justru yang pantas diberi rasa kasihan adalah pelaku pembantaian, mereka bekerja tidak dengan imanen. Tindakan mereka menunjukan bahwa mereka memiliki integritas yang sangat rendah sehingga yang mampu mereka lakukan hanya tindakan kekerasan.
Saat ini kita telah belajar dan meyakini perlunya negara, sehingga kita menjadi tidak sensitif atas kekejaman ataupun kekerasan yang negara perbuat: peristiwa terdahulu bahkan yang baru-baru ini. Hal demikianlah yang sejatinya lebih kejam dari pelaku pembunuhan. Beberapa kasus kekerasan bukan sekedar isu namun kasus itu faktual dan aktual. Tetapi, dari kita yang bukan korban justru abai dengan kasus-kasus yang sedang terjadi.
Rasa simpati anti-kekerasan yang dilimpahkan pada kasus pembantaian dan kekerasan yang sudah terjadi di masa lalu, tidak terlihat dan tumbuh pada kasus-kasus yang terjadi sekarang. Seharusnya kita berpikir bahwa kemungkinan peristiwa yang lalu dan yang sekarang sedang terjadi merupakan rangkaian peristiwa yang bertalian.
Jangan-jangan kampanye anti-kekerasan yang terlihat dan digaungkan hanya sebatas mengikuti tren yang sejalan dengan lingkungan yang sedang digandrungi. Sikap demikian sungguh disayangkan. Atau bahkan kita juga lupa terhadap lingkungan kita sendiri: keluarga, pendidikan, dan lain sebagainya. Bahwa memungkinkan masih terjadi praktik-praktik kekerasan di dalamnya. Contohnya perploncoan dalam dunia pendidikan. Bayangkan, hari bersejarah mereka harus dinodai kekerasan yang dilakukan oleh oknum penghuni instansi pendidikan dengan dalih yang dibuat-buat.
Dalam lingkungan kita tidak sedikit ditemukan sebuah kerancuan dalam berpikir maupun bertindak. Seperti di lingkup pendidikan, seiring dengan proses belajar sering terlihat upaya menggiring pelajar atau mahasiswa memasuki tujuan-tujuan problematis demi memenuhi kestabilan ekonomi dan industrialisasi negara, sehingga menimbulkan sebuah tujuan yang meminggirkan tujuan kemanusiaan. Padahal belajar bukan sekadar untuk menjadi ahli dalam berbagai hal, tetapi lebih utama ialah membimbing manusia lebih manusiawi.
Jika kita tidak segera menyadari dan peka terhadap kekerasan yang terjadi di sekitar kita, yang terjadi dalam waktu yang dekat, kita tidak lebih baik dari orang yang kita anggap paling kejam.
Tabir tentang PKI dan apa yang terjadi pada 1965 memang belum dan mungkin tidak akan terungkap. Kita tetap harus mengawal dan mendiskusikan sejarah dan kemungkinan-kemungkinan yang muncul dari diskusi tersebut. Namun, di saat yang sama, kita tidak boleh abai dengan kekerasan yang terjadi di dekat kita.
BACA JUGA Seni Menghadapi Harta Dunia Melalui Peribahasa Madura Asel Ta’ Adina Asal dan artikel Terminal Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.