Ketika mendengar kata “punk”, yang terbesit pertama kali di benak seseorang pasti urakan, anarkis, dan melanggar norma kehidupan. Penilaian semacam itu sudah lama muncul di pemikiran masyarakat secara umum hingga menjadi darah daging. Apabila menyelisik penyebab pemberian stigma negatif masyarakat ke anak punk, dapat dianalisis dari dua aspek.
Pertama, masyarakat masih menilai seseorang dengan kacamata kuda. Artinya, ketika memberikan penilaian pada anak punk kebanyakan orang sekadar melihatnya dari aspek sempit, semisal segi penampilan punk. Umumnya, anak punk memang berpenampilan yang dapat dikatakan amburadul. Dengan penampilan seperti itu, tak jarang masyarakat berasumsi buruk kepada punk.
Kedua¸ masyarakat terjebak dalam konstruksi yang keliru. Konstruksi sendiri berasal dari penciptaan individu berdasarkan kemauannya. Sehingga, bisa saja bersifat subjektif dan tidak terjamin kebenarannya. Hal ini, juga terjadi dalam kehidupan punk, yang telah dikonstruksi sebagai kelompok menyimpang.
Tetapi terciptanya penilaian yang buruk terhadap kehidupan anak punk, merupakan realitas yang salah tafsir. Sebab, tidak dapat dimungkiri banyak nilai tersembunyi yang belum diketahui oleh banyak orang tentang punk. Keadaan seperti itu membuat penulis bernama Gideon Sams ingin membuka realitas sesungguhnya mengenai anak punk dengan menuliskan novel berjudul The Punk.
Terdapat dua pemeran utama dalam novel The Punk, tokoh laki-laki diperankan oleh Adolph Spitz, dan tokoh perempuan bernama Thelma. Tetapi, kedatangan Thelma ke dalam hidup Adolph membawa ancaman bagi Adolph. Memang, kehidupan punk diwarnai dengan kekerasan. Pertengkaran menjadi semacam hal lumrah dilakukan.
Namun di dalam novelnya, Sams memperlihatkan bahwa tidak selamanya kehidupan anak punk penuh keburukan. Selagi bisa melihatnya dalam jangkauan yang lebih luas. Bahkan, masyarakat juga dapat mengadopsi beberapa nilai-nilai kehidupan anak punk, tanpa harus mengucilkannya.
Semangat hidup
Kebanyakan orang berasumsi bahwa anak punk tidak memiliki semangat hidup. Asumsi seperti itu menjadi hipotesis yang belum terbukti. Dan melalui novel The Punk, penilaian tersebut terbantahkan kebenarannya. Penulis menyajikan kisah perjuangan hidup Adolph sebagai punk.
Bagi Adolph, hidup menjadi seorang punk merupakan pilihan dengan penuh resiko. Salah satu resikonya adalah bertentangan dengan kedua orang tuanya, terutama sang ayah yang tidak mau anaknya menjadi punk. Bahkan, sang ayah menginginkan agar Adolph menjadi polisi. Banyak sikap ayah Adolph yang melawan kehidupan anaknya sebagai punk, sampai-sampai mengusirnya keluar dari rumah.
Meskipun terusir dari rumahnya, Adolph tidak patah semangat. Dia mulai mencari tempat tinggal dan menjalankan pekerjaannya. Yang bekerja di tempat pemotongan ikan dengan gaji 24 pound. Bagi Adolph pekerjaan semacam itu memang tidak menyenangkan, sepanjang hari harus menahan bau amis dari ikan. Untungnya, pekerjaan tersebut bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Setidaknya kita bisa mengetahui bahwa anak punk juga sama seperti manusia pada umumnya, memiliki hasrat untuk mencapai makna hidupnya. Permasalahannya adalah masyarakat seringkali terjebak pada tujuan hidup yang mengarah pada nilai “kemewahan”. Adopsi nilai semacam itu, menjadikan anak punk sering dipandang tidak memiliki semangat hidup.
Sebenarnya makna kehidupan setiap manusia berbeda. Bagi orang lain, uang atau jabatan merupakan puncak kesuksesan. Tetapi bagi anak punk hal itu belum tentu menjamin rasa puas. Dan ini telah diperlihatkan oleh Adolph, meski bertentangan mengenai makna kehidupan dengan kedua orang tuanya. Adolph tetap semangat dalam mempertahankan eksistensinya sebagai punk, yang hidup jauh dari kata mewah.
Romantisme
Romantis merupakan sifat universal, sehingga setiap orang ditakdirkan untuk memiliki sisi romantis dalam menjalani hidup. Sisi romantis juga dimiliki oleh anak punk, entah pada kekasih, keluarga, atau teman. Meskipun tampilan luarnya seperti berandalan, jangan sampai mengira bahwa anak punk tidak memiliki perasaan.
Bagi Adolph, seorang kekasih bisa dijadikan salah satu alasannya untuk bertahan hidup. Sampai Adolph melabuhkan hatinya pada seorang wanita bernama Thelma mantan anak TED. Alasan Thelma keluar dari anak TED didasari oleh rasa bosan dan ingin merasakan hidup sebagai punk.
Benih asmara Adolph dan Thelma terjadi saat pesta punk. Kisah percintaannya berlanjut sampai merencanakan kencan. Namun, ini menjadi akhir cinta mereka berdua. Sebelumnya, Adolph telah membunuh mantan pacar Thelma, yang juga anak TED. Kejadian pembunuhan memicu anak TED menjadi marah. Hingga suatu ketika anak TED menemukan Adolph dan Thelma di jalanan dan terjadilah perkelahian.
Adolph melawan para gerombolan anak TED setelah menampar Thelma. Sayangnya, perlawanan Adolph percuma, hingga babak belur dan tergeletak di jalan. Tanpa pikir panjang Thelma mendekati Adolph untuk melihat kondisinya. Tidak disangka, Thelma tewas tersungkur dekat Adolph, setelah menerima tusukan pisau di punggungnya.
Terlihat begitu jelas bahwa rasa sayang seorang punk tidak dapat dianggap main-main. Ada perasaan untuk saling melindungi sesama kekasih atas nama kasih sayang. Bukan tentang ingin menunjukan kekuatan di depan orang. Melainkan, ada keinginan dalam melindungi orang yang disayangi, ketika menerima perlakuan tidak pantas diberikan dari orang lain.
Sebenarnya membaca novel The Punk bukan perkara yang mudah. Penulis lupa memberikan cerita pendingin, hal ini terlihat dari awal sampai akhir cerita disajikan dengan berbagai konflik pertikaian. Pembaca bakal diuji di sini. Jika hanya sekadar membaca, novel ini tidak begitu menarik. Tapi jika kritis dalam membaca, novel ini terasa menarik.
Jika mampu membaca dengan melihat sudut pandang yang lebih luas, kita akan menemukan ruang penyadaran, bahwa untuk melihat seseorang atau kelompok lain bukan hanya dari segi luarnya saja. Karena, manusia tercipta hanya sekadar menumpang di atas Bumi yang penuh kontradiksi dan nilai kepalsuan.
BACA JUGA Kicau Mania, Hindari 4 Kesalahan Ini agar Burung Tetap Gacor dan tulisan-tulisan lainnya dari Akbar Mawlana.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.