Potongan video penceramah perempuan sedang menjadi sumber keramaian di jagad Twitter. Video itu menceritakan sebuah kisah (yang diklaim sebagai kisah nyata dari Jeddah) tentang seorang perempuan yang menangis setelah dipukul oleh suaminya. Latar pemukulan itu sepertinya di rumah mereka berdua karena setelah itu diceritakan kemudian orang tua si perempuan memencet bel pintu rumah mereka.
Melihat anak perempuannya menangis, orang tuanya penasaran dengan sebab tangisan tersebut. Tapi alih-alih meminta pertolongan, si perempuan justru berkata bahwa dirinya merindukan kehadiran orang tuanya lantaran lama tidak bertemu. Singkat cerita, sang suami justru luluh hatinya melihat kebaikan sang istri yang tidak membuka “aibnya” kepada mertuanya tersebut.
Nggak sedikit yang mendukung narasi itu, tapi alhamdulillah banyak juga yang berang terhadap normalisasi KDRT tersebut. Kenapa alhamdulillah? Ya kalau semuanya mendukung, makin lancarlah narasi pelaku kekerasan untuk memanipulasi pikiran korbannya.
Sebenarnya hal-hal kayak gini nggak terlalu asing kita dengar dari para penceramah laki-laki. Jangankan sekedar mukul, maksa berhubungan seksual saja bisa dengan santai bilang “kalau istri lagi nggak mau (berhubungan seksual), ya sudah diam saja, nggak sakit kok,” gitu. Tapi yang kali ini lebih menyedihkan karena disampaikan dari dan untuk perempuan. Yang mana, perempuan berada dalam prosentase tertinggi korban KDRT. Berdasarkan data komnas perempuan, sepanjang 2020 ada sebanyak 3.221 istri yang mengalami KDRT. Itu yang dilaporkan oleh para korban, yang nggak? Belum tau sebanyak apa lagi.
Apa tiga ribu lebih orang ini mengumbar aib? Saya pikir tidak. Mereka hanya menyelamatkan diri, menjalankan maqashidus syariah, yaitu hifdzun nafs (menjaga diri) dan bahkan mungkin sekaligus hidzun nasab (menjaga keturunan), yang merupakan dua dari lima mandataris keberadaan agama Islam.
Dari sini kita bisa lihat bahwa nggak semua yang berjenis kelamin perempuan, bisa berperspektif perempuan. Maklum, memang ilmu tentang keadilan dan kesetaraan gender tidak serta merta jadi fitur bawaan yang kita miliki sejak lahir. Laiknya ilmu lainnya, kesetaraan gender memang perlu dipelajari, dipahami, dan dilatih juga. Lebih-lebih sejarah peradaban manusia yang memang sudah berabad-abad memelihara kultur yang tidak adil bagi perempuan.
Dan itulah yang menyedihkan. Kita melihat perempuan meminta KDRT dianggap angin lalu, semata agar aib tak tersebar. Aib tak tersebar, tapi badan penuh memar.
Tapi ngomong-ngomong soal kultur, sebenarnya Rasulullah itu membawa Islam ke tanah Arab yang dulu dipenuhi masyarakat barbar itu juga untuk menggeser kultur mereka, lho. Buktinya, bayi-bayi perempuan tidak lagi boleh dikubur hidup-hidup, perempuan dewasa tidak lagi setara dengan properti yang bisa ditukar, dijual, dan dipindah tangan. Ada banyak lagi kontribusi beliau untuk mengangkat derajat perempuan supaya jadi manusia yang setara, makhluk yang sama-sama mulia di hadapan Allah SWT.
Termasuk juga ketika Islam sudah mulai diterima, relasi antara perempuan dan laki-laki juga diatur sedemikian rupa. Yang tadinya bisa mengawini perempuan tanpa batasan, dibatasi maksimal empat saja, itupun “disindir” halus, “Kalau bisa adil, sementara tidak ada manusia yang dapat berlaku adil.”
Lha kalau sebegitunya nabi memperjuangkan harkat dan martabat perempuan, apa ya masuk akal kalau KDRT itu boleh disembunyikan? Bahkan dianggap baik karena menyembunyikan aib keluarga? Apa iya menutup KDRT sejalan dengan visi pernikahan khususnya dalam pandangan agama Islam?
Faktanya, pada QS. Ar-Rum ayat 21 (yang sering ditulis di kertas undangan itu) sudah disebutkan secara eksplisit bahwa tujuan pernikahan adalah untuk memperoleh ketenteraman. Ketenteraman macam apa yag hendak dicapai dengan melanggengkan praktik kekerasan di dalam rumah?
Banyak yang bilang kalau pernikahan itu ibadah seumur hidup. Yang kemudian masuk akal kalau dilihat dari betapa seriusnya nabi memberikan pesan dan contoh terkait detail-detail relasi pernikahan ini. Sedari awal nabi sudah contohkan, pernikahan itu tidak boleh dilakukan secara paksaan. Lalu ketika sudah menikah pun, hubungan seksual diperintahkan untuk dilakukan secara ma’ruf (halal dan baik dalam kacamata hukum dan budaya) dan tidak saling menyakiti.
Lalu ketika ada masalah dalam rumah tangga, perintah nabi adalah untuk saling menasihati dan tidak memukul laiknya memperlakukan hamba sahaya (budak). Sebagaimana beliau sampaikan dalam sebuah hadis dalam kitab Sunan Abu Dawud.
Kalau sudah sebegitunya beliau atur supaya relasi perempuan dan laki-laki itu tidak lagi timpang laiknya benda dan tuan yang memilikinya, apa masih bisa kita benarkan perlakukan KDRT dan upaya-upaya untuk menutupinya karena dianggap sebagai “aib” keluarga?
Kalau bahkan seorang perempuan tak lagi mau berdiri untuk perempuan lain, membawa perspektif perempuan, melibatkan pengalaman perempuan. Lalu sama siapa kita berharap? Sama orang yang bahkan tidak pernah mengalami pengalaman fisik, historis, dan sosiologis perempuan? Berharap ada lagi sosok seperti nabi yang mau bersusah payah mengangkat derajat perempuan? Rasanya mustahil.
Yang lebih mungkin diharapkan adalah pemahaman tentang nilai kesetaraan gender, pemahaman yang terilham dari semangat rasulullah memperjuangkan kemanusiaan, yang diteruskan, disebarluaskan oleh para ustad, ustadzah, dan para penceramah. Sehingga Islam bisa benar-benar mewujud sebagai rahmatan lil alamin yang tidak menyuruh korban kekerasan menahan perih sendirian.
Yang perlu diingat adalah, perilaku abusive tidak akan simsalabim sembuh dengan melihat korbannya menderita. Yang ada ketakutan-ketakutan itu akan semakin dimanfaatkan untuk melancarkan dominasi dan memenuhi keinginan pelaku. Relasi pernikahan yang demikian, tidak hanya membawa mudharat bagi perempuan, tapi juga bagi anak-anak yang lahir darinya. Relasi yang demikian juga, yang menutup rapat jalan untuk mencapai tujuan pernikahan, untuk mendapatkan ketentraman, bahkan kemudian bertolak belakang dengan maqashid syariah yang mengamanatkan penjagaan atas diri, akal, keturunan, harta benda dan agama.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Rizky Prasetya