Move on adalah permasalahan terbesar bagi kaum yang baru saja mengalami putus cinta. Bahkan tak sedikit remaja seusia saya yang gagal ngajak rabi lalu melampiaskan permasalahan tersebut dengan sebotol anggur merah. Di satu sisi ada juga yang tiba-tiba berubah jadi pemuda hijrah. Walaupun terlihat sepele, namun urusan hati adalah sesuatu yang memang benar-benar membuat seseorang menjadi lebih dewasa.
Saya punya kisah nyata dan unik. Sebagai bakul angkringan yang selalu dicurhati pelanggan, ada saja yang curhatnya aneh dan di luar nalar. Kali ini, ada sebuah curhat yang amat sentimental. Begini.
Pelanggan angkringan saya bercerita, ia serius mengajak kencan seorang gadis yang disukainya. Katanya, ia amat tulus, niat hati dia ingin ngajak rabi. Setelah berselang beberapa waktu, kawannya bilang dengan menggunakan quotes bijak nan Islami. Intinya, kawan saya ini nggak cocok bagi gadis itu. Ndilalah, esoknya kawannya itu jalan bareng sama gadis bribikannya. Wo, jasik!
Yang bikin saya kaget adalah ketika blio bilang, “Apa gara-gara saya kurang baik secara agama ya, Mas Sengget? Apa ya saya harus jadi pemuda hijrah seperti kawan saya itu? Lha nek hijrah, mosok saya harus pindah agama?” Mak nyesss rasanya. Blio bilang begitu padahal blio seorang Nasrani.
Kemudian blio nanya lagi, “Hijrah itu bagaimana to, Mas Sengget? Apakah sekadar ganti foto profil dengan sajadah?” Hati saya terenyuh sekaligus mangkel. Ya, saya mangkel bahwa untuk pertama kalinya, saya mati kutu menjawab sebuah curhatan.
Dalam hal ini, saya mempunyai teman akrab seorang santri yang pernah sekolah di pondok pesantren Yogyakarta. Beliau menolak namanya saya sebutkan, namun saya sering memanggilnya dengan sebutan “gus”. Walaupun hanya sebatas lulusan pondok pesantren, namun bagi saya ilmu agamanya cukup tinggi. Saya sempat bertanya kepada beliau tentang fenomena pemuda hijrah, “Gus, pandangan njenengan tentang remaja hijrah masa kini itu gimana, sih?”
Kemudian beliau menjawab, “Lho, Hijrah? Jadi musafir to? Hijrah itu perjalanan lho, Ngget.”
Saya hanya mesam-mesem. Mau tak slentik pahanya, tapi saya nggak tega. “Bukan itu, Gus… tapi….” kata saya sambil tertawa kecil.
“Oh, maksud kamu mesti yang lagi pada galau, terus pelampiasannya ke Tuhan gitu? Ya nggak salah sih. Tapi, masalahnya dia bisa konsisten nggak? Kalau nggak malah jadi dosa itu, Ngget” Jawab si Gus dengan kepulan asap nikotin.
Si Gus ini memang seorang agamis yang pemikirannya sangat terbuka. Pernah saya sindir dengan kalimat bahwa santri kok merokok? Lalu jawaban beliau hanyalah, “Santri itu manusia. Cah lanang kalau tidak nakal ya percuma. Hehe.” perlu beberapa hari bagi saya untuk mengkaji perkataannya ini.
Si Gus melanjutkan penjelasan mengenai persoalan pemuda hijrah, “Jadi begini, Ngget. Saya memandang bahwa anak putus cinta di zaman sekarang itu terlalu berlebihan. Bahkan ada yang cuma pura-pura sok agamis. Memajang foto sajadah, ganti profil pakai cewek hijab, terus buat status tentang sabda nabi. Lha mbok ya bikin status sabdo palon, kan malah lebih wangun. Lebih tampak berpendidikan kalau seperti itu.”
Kemudian, saya mengutarakan pendapat kepada si Gus “Lha Gus, tapi kan itu niatnya baik. Dia mencoba untuk berubah dari hal kecil.”
“Kembali ke tadi, Ngget. Dia bisa konsisten nggak? Kalau sebatas cari perhatian publik atau cuma ingin dianggap agamis setelah mengalami masalah, gimana? Kita nggak tahu niat orang seperti apa. Jangan langsung dinilai. Tapi, dilihat dulu proses aslinya seperti apa. Jangan-jangan setelah sembuh sakit hatinya, dia mulai jauh lagi sama Tuhan. Lha malah ngapain.” jawab si Gus.
“Pacaran itu nggak apa-apa kok. Boleh. Tapi saya menyarankan untuk mengikat komitmen saja. Berat lho itu. Tanggung jawab dan sifat laki-lakimu dinilai dari situ. Lha wong, saya juga punya komitmen sama satu perempuan.” sambung beliau.
Menanggapi bahwa pemuda di era saat ini yang terlalu berlebihan soal urusan asmara, penuturan si Gus ini menurut saya benar. Kenapa mereka selalu menjadikan Tuhan sebagai pelarian dalam hal urusan sepele? Apakah hanya karena melihat konten pengajian selama satu menit di Instagram, lalu seolah langsung mendapat hidayah? Padahal di setiap lika-liku hidup, kita dihadapkan dengan banyak masalah besar. Tidak hanya persoalan hati, masih ada cita-cita yang perlu untuk dicapai saja contohnya.
Bahkan Si Gus berpesan kepada para pemuda hijrah abal-abal untuk mengganti nama hijrah. “Lebih tepatnya kalau memang ingin mengubah diri, ganti nama yang benar-benar masuk akal. Jangan hijrah, hijrah itu perjalanan fisik. Kalau memang betul ingin menjadi lebih baik ya taubat, jauhi maksiat, dan lebih maksimal dalam berproses untuk perjalanan batin kepada Tuhan. Itu sudah.”
Tambahan dari saya, segeralah berproses dengan nyata. Tak perlu yang namanya kebaikan harus dipublikasikan ke sosial media. Cukup disimpan dalam hati tentang kedekatan Anda dengan Tuhan. Dan tetap hati-hati menilai baik buruknya seseorang hanya karena dia telah membuat status tentang sabda-sabda yang bahkan dia saja tidak tahu apakah sabda itu benar, atau sebatas sabda palsu. Kalau Sabda Armandio itu penulis buku 24 Jam Bersama Gaspar.
BACA JUGA Pengalaman Saya Mabuk Tape Singkong di Kelas 1 SMA