Ngobrol sama Mikrofon Podcast: Artis Pekok Nggak Usah Sok Bikin Podcast!

Ngobrol sama Mikrofon Podcast: Artis Pekok Nggak Usah Sok Bikin Podcast!

Sebut saja Mas Penthol (29), seonggok mikrofon saksi biksu kebodohan-kebodohan artis yang menjawab pertanyaan yang tak kalah bodohnya pula. Di balik hinggar bingar invasi artis yang masuk dunia YouTube dan bikin podcast, Mas Pentol seakan menjadi kru yang sangat dibutuhkan. Ia bertugas mengeraskan, menjernihkan, dan mempertegas suara. Itu sama saja artinya tugas Mas Penthol adalah mengeraskan, menjernihkan, dan mempertegas argumen pekok beberapa artis dan influencer.

“Saya ini telah menekuni hal per-mikrofonan-an sepanjang hayat kehidupan saya (iyolah, bentukanmu wae mikrofon, mosok yo buat mandi hadeh, red),” katanya sambil mengelus tombol on-off yang membuat wajahnya semakin gahar.

Saya datang mewawancarai Mas Pentol berkat kegundahan hatinya lantaran artis yang hijrah ke YouTube apa-apa podcast, semua dijadikan podcast. Dilansir dari keterangannya, titik resahnya itu bukan pembatasan seseorang untuk berkarya, semua bebas untuk bikin podcast, tapi mbok ya o sesuai kapasitasnya.

Pembicaraan ini tentu juntrugnya adalah argumen-argumen sensasional dari para pesohor negeri yang makin hari makin bikin geleng-geleng kepala. Seperti Younglex, rapper kenamaan yang bisa menjadikan benda apa saja sebagai bait lirik perlawanan, malah ditanya mengenai pandemi corona. Pun, yang kini sukses dengan klarifikasinya, Indira Kalista, yang sempat mengeluarkan pernyataan nendank-nya.

Mas Penthol pun memiliki pendapat lain mengenai fenomena ini. Menurutnya, keheranan justru dituju pada pewawancara, mengapa hal tersebut ditanyai kepada orang yang sudah kelihatan pekok. “Jika narasumbernya misal seorang yang ahli dalam kesehatan, kemudian jawab ngawur mengenai kesehatan, nah itu kesalahan seutuhnya terletak pada si narasumber,” katanya dengan emosi.

Kemudian Mas Penthol melanjutkan, “Lha ini lho si Indira Indira siapa itu. Nggak tahu dari mana datangnya, gara-gara punya followers banyak, eh ditanya macem-macem. Nih, ya, asal kalian tahu, punya banyak followers itu bukan berarti bisa menjawab seluruh persoalan di dunia ini. Musahabah diri Anda, heyyy.”

Indira Kalista sendiri merupakan seorang beauty vlogger yang memiliki jumlah masa pengikut yang lumayan banyak. Dirinya juga seorang istri dari seorang influencer yang… begitulah. Ucapannya menjadi perbincangan kala ia mengatakan kalau corona itu B aja dalam podcast-nya Gritte Agatha.

Ndasmuuu,” kata Mas Penthol ketika saya bilang hal ini seutuhnya kesalahan Indira Kalista. “Yang nanya juga salah. Ini siapa kok ditanya seputar corona? Dokter bukan, orang ahli dalam bidangnya bukan, artis juga belum, kan?”

“Tapi, Mbak Gritte pertanyaannya tidak merujuk langsung ke pendapatnya mengenai pandemi. Hanya seputar bagaimana kehidupan Mbak Indira menghadapi pandemi,” kata saya.

Raut wajah Mas Penthol yang tadinya masam, kini menjadi kusam. Ia seperti lagu Peradaban yang geramnya sampai ke bass. Dengan mengehentakkan tangan di meja, ia menjawab, “Sebelum video naik, ada tiga tahap untuk mikir. Pertama, sesi wawancara. Kedua, sesi editing video. Ketiga, otak bergerak untuk memikirkan bagaimana dampaknya ketika video ini di-upload.”

“Jadi yang salah tim Mbak Grittie?”

“Begini, Mas. Saya nggak paham, ya, bagaimana kerja tim dan komunikasi dengan Indira setelah selesai sesi ngobrol itu. Tapi, kalau wawancara profesional itu ya harus ngobrol lagi, bagian mana yang lulus sensor pribadi, mana bagian yang nggak boleh dinaikan. Semudah itu.”

Saya hanya menganggukan kepala. Mas Penthol malah mengeluarkan udud dan sebal-sebul. “Mas, maaf sebelumnya, nggak Puasa Syawal, po?” tanya saya dengan sopan.

“Astagfirullah!” ia langsung mentelengi rokoknya. “Eh, saya kan ikut komunitas Agnotis di Facebook, lupa saya, Mas, hehehe,” katanya melanjutkan sebal-sebul. Welah, baru sekarang saya lihat Agnotis nyebut dan lupa sama konsep batinnya.

“Lanjut nggih, Mas. Menurut Mas Penthol, bagaimana caranya menghentikan orang-orang pekok yang makin lama makin banyak yang keluar dari permukaan selama pandemi ini?” kata saya sambil ngelinting.

“Gampang,” kata Mas Penthol sambil melihat saya dengan yakin. “Nggak usah ada lagi artis-artis ndakik yang bikin podcast. Bukannya apa-apa, terkadang mereka ini nanya sesuatu yang nggak ia kuasai. Kalau blunder, yang kena malah narasumber yang sebelumnya hanya beauty vlogger atau rapper.”

“Tapi banyak podcast yang aman-aman saja seperti Raditya Dika membahas gang perdemitan. Kan Mas Radit bukan cenayang dan ahli perdemitan, tapi selama ini aman-aman saja. Itu bagaimana komentar Mas Penthol?”

“Saya sempat ngobrol sama Mas Sarithol (mikrofon podcast Raditya Dika, red). Sederhana saja, dia punya satu tim, yakni editor yang bisa mikir atau setidaknya bisa cut video yang nggak layak tayang. Bayangkan saja, Mas, semisal narasumber habis minum ciu bekonang, ngomongnya nguawur babar blas, lalu di-upload semua tanpa cut, kan buajilaaak!”

Mas Penthol pun ngikik kecil, kemudian melanjutkan argumennya, “Imbasnya apa, ya penonton mereka yang baru saja tumbuh jembut ini. Mereka akan menelan mentah-mentah (pendapat narasumber podcast ngawur, red), Mas.”

Mas Penthol yang masih menggebu pun melanjutkan kata-katanya tanpa memberi saya kesempatan, “Mungkin setelah dapat panggung lantaran kasus itu (kasus Indira Kalista, red), bisa saja orang ini diangkat jadi duta lidah keseleo. Kan ini negara komedi. Apa pun bisa selagi disikapi dengan ngawur.”

“Hmmm,” kata saya berdeham, agar diberi kesempatan nimpali. “Beberapa pekan lalu (17/05/2020, red), yang bersangkutan sudah menyatakan permohonan maafnya di podcast Dedy Corbuzier,” kata saya memancing supaya Mas Penthol makin muntab.

“HAH? HAHAHAHA~” ia tertawa begitu syahdu karena ada efek auto-tune di amandelnya. “Alurnya sama. Orang-orang pekok selalu diberi panggung.”

“Lho, niatnya kan minta maaf atas kesalahannya, Mas? Bahkan orang pekok pun berhak untuk minta maaf.”

“Heh kembang tebu! Setelah mengeluarkan statement pekok, namanya naik dan ribuan orang mencari tahu siapa sih dia ini. Termasuk saya! Lalu mampir di kanal-kanal media sosialnya. Mereka nonton kontennya. Ya, hitung-hitung menaikan traffic YouTube orang yang selalu kalian hujat. Satu sisi kalian hujat, sisi lain orang yang kalian hujat ini mendapatkan uang. Setelah klarifikasi? Berlipat ganda pula kebodohan kita menonton orang mbebeki minta maaf.”

Suara Mas Penthol semakin geram seperti Baskara Putra. Ia melanjutkan, “Dari jaman Atta Halilintar bikin prank ndakik pura-pura jadi miskin, lalu klarifikasi dengan memberikan adsense di mana-mana, apa yang diharapkan dari sebuah klarifikasi? Tunggu waktunya saja Ferdian Paleka keluar penjara dan jadi incaran artis-artis podcast untuk masuk ke acaranya.”

“Woh, meragukan seorang Master Deddy Corbuzier, nih? Tak andakke, ah.”

“Lho kok wadulan? Bukan begitu, Mas. Tapi alangkah baiknya artis-artis podcast seperti Master Deddy dan Mbak Gritte mengedepankan aspek hiburan saja. Ketimbang bahas pandemi, bisa disalah tangap sama otak para pendengarnya. Sering-sering mampir ke Podkesmas sama beberapa podcast tentang sepakbola di Spotify untuk menambah referensi. Membahas apa yang ia kuasai.”

“Kan pendengarnya Master Deddy itu Smart People? Mana mungkin terjadi miss dalam penyampaiannya kepada pendengarnya? Mas Penthol nggak mau kan di-grudug dan dijadikan konten?” kata saya nggodani Mas Penthol yang emosinya jadi ketakutan.

“Memukul rata para pendengarnya itu smart atau pekok sekalipun itu adalah kesalahan prinsipil yang harus dihindari para influencer dan artis terkenal. Karena ponsel kini siapapun bisa menyentuhnya, kuota internet sudah banyak yang menjual dengan murah. Toh, masuk video tersebut tidak pernah ada yang nanyai ‘kamu smart atau nggak? Dulu rank berapa? IPK berapa?’ Nggak, Mas, nggak ada! Semua bebas akses!” kata Mas Penthol sambil nunjuk-nunjuk saya.

“Sabar, Mas, sabar. Puasa,” kata saya menenangkan.

“Ya Allah, kenapa hamba begitu emosian begini,” Mas Penthol pun menepuk jidatnya dan menimbulkan suara ‘duk duk duk’ seperti bapak-bapak kompleks ngecek sound. Kemudian ia meminum kopi yang telah ia hidangkan untuk saya (pitikih?, red).

“Kok nyebut lagi toh, Mas? Katanya Mas Penthol ini Agnostik seperti Coki Pardede?”

“Ya Allah, lupa lagi saya, Mas.”

BACA JUGA Deddy Corbuzier, Vans, Ventela: Tentang ATM dan Mimikri demi Konten atau tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version