Dalam budaya kita, hedonis hanya dipandang sebagai ajang hura hura, buang buang duit hanya demi kesenangan dunia semata. Kamus besar bahasa Indonesia memang mengartikan hedonis sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.
Lalu, ukhti dan akhi yang kerap mengatasnamakan agama acapkali menyarankan untuk mengingat adanya kehidupan pasca kematian. Stigma yang lekat dalam masyarakat bahwa orang hedonis itu salah? ng…. ya nggak juga sih menurut saya.
Sekarang, siapa yang merasa hidup ini tidak butuh kesenangan? Atau hidup hanya melulu memikirkan sesuatu hal yang terjadi pasca kematian? Betapa ngerinya! Kesenangan itu berbanding lurus dengan kemampuan. Ya, kalau anak pejabat mau hedon dengan beli mobil dan pakaian branded karena mampu ya tidak masalah. Sebaliknya, anak orang biasa pakaiannya biasa, hanya berkendara motor, rambut acak acakan dia bahagia dengan keadaan ya karena memang mampunya demikian.
Justru, dalam pandangan saya seseorang dikatakan hedonis ketika memaksakan sesuatu yang tidak seharusnya, apalagi masih atas nama jerih payah orang tua. Misalnya, seorang berasal dari keluarga menengah ke bawah, karena ingin terlihat keren mengikuti tren dan teman sebaya, lalu berusaha branded memaksakan diri—itu baru hedon. Karena di balik rasa senangnya terdapat sakit mendalam. Sebaliknya orang kaya yang berpenampilan sok pengemis demi mencari rating youtube—kalau itu sih ya… sungguh hedonis yang keterlaluan.
Mbak Aprilia Kumala beberapa waktu lalu pernah membahasa tentang pengertian hedonis dan mereka yang menganut paham hedonisme. Disebutkan bahwa hedonis menurut teori Aristippus meyakini bahwa di dunia ini hanya ada dua hal: kesenangan dan rasa sakit.
Mbak imut itu lalu menuliskan kebahagiaan terbesar dari penganut paham hedonis adalah kebebasan dari rasa takut dan ketiadaan rasa sakit, baik mental ataupun fisik. Penganut hedonis mempercayai bahwa semua orang di dunia memiliki hak bebas untuk melakukan apa pun, demi bertujuan mencapai kebahagiaan. Lagi pula, hedonisme percaya bahwa kesenangan dan kebahagiaan seseorang haruslah jauh lebih banyak dan melimpah ruah jika dibandingkan dengan rasa sakit!
Lalu apa salahnya berhedon hedon ria dengan apa yang memang saya mampu untuk dimiliki. Saya suka membeli barang dengan harga tidak murah-–tidak berarti mahal. Sepengalaman saya selama membeli barang dengan kategori itu berbanding lurus. Menurut saya pakaian yang saya kenakan juga tidak terlalu glamour, ya standarlah buat jalan di mall, tetapi mengapa mereka suka memanggil saya hedonis? Padahal saya merasa gaya hidup ini cukup standar seperti kebanyakan. Hanya saja memang saya akui betapa soal fashion dan penampilan saya tidak mau ambil sembarangan.
Saking parahnya demam ejekan hedonis ini, membeli es krim magnum dengan balutan emas bahkan dianggap hedon. Lalu, pertanyannya memangnya kenapa kalau saya hedon? Uang hasil jerih payah orang tua saya, terkadang saya juga kerja sendiri, atau hasil menabung setelah beberapa lama saya belikan barang sesuai kebutuhan.
Saya masih bingung tolak ukur hedonis terletak di mananya? Sejujurnya milenial selalu merasa getir hati jikalau fashionnya terlihat berbeda dengan kawan sepermainnya. Tetapi, hedonis tanpa paham batasan juga mesti diperhatikan. Misalnya, mahasiswa yang rela nggak bayar kuliah dan lebih milih duitnya dipake buat beli smartphone paling keren di abad ini. Ada juga yang nilep duit semesteran demi bisa belanja barang-barang branded, pokoknya nggak mau kalah sama yang dipunya temen.
Mohon maap nih, itu duit belum hasil sendiri, kecuali kalau sembari freelance macam saya ini ya terserah. Secara, saya belum punya tanggung lain selain menikmati hidup. Hedon saya selama ini tidak pernah ngerecoki hidup orang, atau ngajak jamaah buta hedon hedonan bareng. Kesalnya, mereka acap kali ngerecoki hidup saya yang bahagia ini dengan julid-–omongan di belakang menyebut saya orang hedon.
Jadi, sebagai kesimpulannya hedon sebenarnya lebih pantas disematkan pada gaya hidup yang lebih mementingkan keinginan daripada kebutuhan. Meski beli barang mahal, dan masih sesuai koridor kemampuan dan kebutuhan masih sah sah saja. Sebaliknya meski barangnya diskonan, tetapi tidak sesuai dengan kebutuhan—bisalah kamu panggil doi dasar hedon! (*)
BACA JUGA Curhatan Saya yang Punya Gaji UMR Mendengar Cerita Orang yang Gajinya 2 dan 3 Digit atau tulisan Dani Alifian lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.