Saya bela-belain buka laptop selagi mata saya masih sepet dan sedikit menahan kesal pada alarm yang sejatinya saya setel sendiri. Saya bersedia menyiksa diri semata untuk menyaksikan Premier League setelah tiga bulan absen. Saya bukan penggemar Man. City maupun Arsenal, saya hanya penasaran Arsenal bakalan ngelawan nggak nih. Sesuai dugaan saya, Arsenal tampil memble untuk kesekian kalinya musim ini. Oh, tidak lupa David Luiz kembali bikin kesalahan mendasar, di samping ya emang Manchester City-nya yang unggul jauh secara kualitas.
Tidak lengkap rasanya menonton sepakbola tanpa memantau linimasa media sosial. Saya perhatikan, di timeline kok banyak yang misuh dan semangat nge-troll ya? Cita-citanya ngapain sebenarnya. Padahal menurut saya, kita tidak boleh bersikap terlalu menuntut dulu ke klub jagoan masing-masing dan mengganggap serius hasil pertandingan Premier League sampai paling tidak dua pertandingan awal.
Malah kalau mau lebih bijak sih, kita harus banyak menunjukkan sikap-sikap legowo terhadap penampilan klub jagoan dan tidak judgmental pada klub rival paling tidak sampai akhir musim nanti, yang entah bisa diselesaikan dengan sukses dan aman atau tidak.
Sebelum membahas sisi taktikal jalannya pertandingan, pikiran kita mestinya mampir dulu di titik ini. Kebugaran pemain menjadi faktor utama yang menjadi penentu performa tim pada comeback Premier League pasca lockdown. Hampir tiga bulan hanya ongkang-ongkang kaki di rumah membuat kondisi fisik para pemain patut menjadi perhatian. Tidak semua pemain mempunyai level kedisiplinan yang sama dalam menjaga kebugaran
Kita tentu ingat bahwa beberapa hari yang lalu pemain Juventus, Gonzalo Higuain tampil ke publik dengan postur yang kurang proporsional, dan saya yakin banyak Higuain-Higuain lainnya di Premier League. Alhasil, klub Premier League akan memulai masa comeback dengan kondisi yang inekuivalen antara satu tim dengan yang lainnya yang di luar kontrol teknis klub.
Seperti yang terjadi di Bundesliga sebulan yang lalu. Borussia Dortmund saja baru diperkuat pemain kunci seperti Jadon Sancho dan Axel Witsel pada pertandingan kedua dan ketiga pasca lockdown. Hampir tidak ada pilihan bagi pelatih di pekan-pekan awal, seperti halnya yang terjadi di City of Manchester Stadium semalam.
Arsenal tidak diperkuat Nicolas Pepe dan Gabriel Martinelli tanpa alasan yang jelas. Sedangkan dua pemain mereka, Pablo Mari dan Granit Xhaka mengalami cedera ketika pertandingan baru berjalan sekitar 25 menit. Situasi tersebut yang akhirnya mengundang pertanyaan, apakah seluruh tim telah benar-benar bugar sepenuhnya?
Kondisi di Manchester City juga setali tiga uang. Nicolas Otamendi, Sergio Aguero, Rodri, dan Bernardo Silva yang merupakan pemain-pemain kunci pra-lockdown, harus mengawali pertandingan dari bangku cadangan. Hal ini menandakan minimnya pilihan yang tersedia bagi para pelatih. Mau tidak mau, para juru taktik harus memutar otak supaya mampu mengarungi jadwal ketat dengan level kebugaran pemain yang pas-pasan.
Kritik saya adalah, kok kita sebagai penonton layar kaca sangat minim pemakluman pada hal-hal yang sifatnya mendasar kayak gini? Perlu diketahui lebih lanjut bahwa seperti halnya di negara-negara lain, pembukaan berbagai sektor ekonomi dilakukan untuk menjaga perputaran tetap terjadi, bukan karena situasi sudah aman sama sekali dari virus. Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson bahkan mengatakan bahwa lampu hijau digulirkannya kembali sepakbola Inggris adalah suatu bentuk moral boost kepada masyarakat. Rasa-rasanya narasi model seperti ini sangat akrab di telinga, kayak pernah denger tapi di mana, ya?
Tak dapat dimungkiri bahwa klub-klub Premier League selama masa pandemi Covid-19 merebak di tanah Britania menghadapi problem keuangan yang ruwet. Dilansir dari CNN Indonesia, klub Inggris kehilangan pemasukan terbesar dari hak siar televisi dan sponsor akibat tidak adanya gelaran pertandingan.
Awalnya, klub berencana memotong gaji pemain seperti yang dilakukan klub Spanyol. Namun, asosiasi pemain Inggris menolak kebijakan tersebut dengan dalih para pemain juga turut berkontribusi dalam menyumbangkan uang pada tenaga medis dan terdampak pandemi lainnya. Sehingga pada akhirnya, klub mengakali situasi ini dengan merumahkan staf dengan tanpa membayarkan gaji sepeserpun. Namun lagi-lagi kebijakan tersebut juga mengundang kecaman publik, termasuk dari Menteri Kesehatan Inggris, Matt Hancock, karena staf dibiarkan tanpa penghasilan sedangkan pemain dan direksi klub aman dari situasi pemotongan gaji.
Akhirnya diambil sebuah jalan tengah, Premier League dilanjutkan pada pertengahan Juni dengan memperhatikan protokol kesehatan. Namun dari sisi kesehatan, kebijakan tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk tindakan gambling tergesa-gesa..
Nyatanya, menurut data yang saya peroleh dari situs worldometer, penambahan kasus baru positif Covid-19 di Inggris masih berada di angka di atas 1.000 dalam sepekan terakhir meskipun mengalami tren penurunan ketimbang sebulan terakhir. Jika kita menggeser pandangan pada situasi di negara Eropa lain seperti Jerman, Spanyol, dan Italia yang menjadi tempat bernaungnya liga sepakbola besar lain, situasi nampak sudah lebih terkendali dengan penambahan jumlah kasus positif Covid-19 tidak lebih dari 1.000.
Pengecualian untuk Jerman yang pada tanggal 17 Juni kemarin mencatatkan sekitar 1700-an kasus positif baru setelah satu minggu terakhir mencatatkan angka tidak lebih dari 400 kasus Covid baru.
Artinya, situasi bisa dibilang belum kondusif sepenuhnya di Eropa. Inggris mencatatkan 42 ribu lebih kasus kematian akibat Covid-19. Bukan tanpa alasan N’Golo Kante, Danny Rose, dan Raheem Sterling sempat menyatakan kekhawatiran terkait dengan situasi pengendalian virus di negeri Ratu Elizabeth.
Saya rasa belum waktunya untuk menganggap serius hasil pertandingan Premier League. Ingat, situasi dan kondisi di Inggis sana menuntut banyak maklumat dari segala penjuru. Jika mau merenung sedikit, bukankah berlanjutnya kompetisiPremier League sudah merupakan suatu bentuk keajaiban ketika wacana penghentian bahkan pembatalan musim 2019/2020 sempat digaungkan dan membuat khawatir penggemar Liverpool?
Tidakkah nurani kita tergerak sehabis mengingat Mikel Arteta yang sempat tepar karena terpapar corona harus kembali berdiri tegak di pinggir lapangan mendampingi skuat asuhannya? Boro-boro Arteta sudah sehat wal afiat pada Juni ini tanpa kurang suatu apa, situasi yang lebih buruk bisa saja menimpa dirinya dan para pelaku sepakbola lain seperti Callum Hudson-Odoi, Paulo Dybala, ataupun Brendan Rodgers yang juga telah dinyatakan sembuh dari paparan Covid-19.
Kurang-kurangin dikit lah nuntutnya, setidaknya sampai Premier League musim ini selesai, nggak lama kok. Para pelatih dan pelatih juga manusia yang fokusnya bisa bercabangan akibat situasi pandemi ini. Kalau emang klub jagoanmu main bobrok, dimaafin dulu aja sementara. Toxic Positivity at it’s finest.
BACA JUGA Lagu “Kangen” Dewa 19, Tembang Tumpuan Kerinduan Lintas Generasi dan tulisan Damar Senoaji lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.