Apa salahnya nggak segera menuntaskan baca buku atau bahkan menundanya? Memangnya baca buku itu harus secepat superhero Flash? Atau secepat teleportasi?
Sebuah keanehan bagi saya ketika ada orang yang menghakimi pembaca buku yang memiliki durasi membaca yang luamaaa banget. Bisa berbulan-bulan dan bahkan hingga bertahun-tahun lamanya waktu yang dibutuhkan hanya untuk membaca buku yang mungkin saja memiliki halaman tipis. Lebih parahnya lagi, saya sering melihat di media sosial maupun di internet orang yang sering memuja-muja perilaku membaca cepat. Bahkan, ada juga lho yang membuat program pelatihan membaca cepat.
Entah apa yang ada di pikiran orang yang berambisi baca buku secara cepat. Justru menurut saya, baca buku dengan durasi lama itu lebih mengasyikkan. Pasalnya, terdapat sensasi tersendiri ketika nggak menyegerakan menuntaskan buku yang dibaca, bahkan menurut saya itu lebih manusiawi dibandingkan membaca buku secara ngebut tanpa rem. Ada beberapa alasan mengapa nggak segera menuntaskan buku bacaan itu sebuah tindakan yang patut dibenarkan, bukan sebuah dosa, dan sangat dianjurkan untuk dilakukan.
#1 Malas
Alasan yang sangat populer, sering didengar, dan saya pribadi sering mengalaminya adalah malas. Sifat malas ini sering menyerang setiap orang yang sedang baca sebuah buku. Bahkan, seseorang yang hobi baca buku sekalipun dapat saya pastikan memiliki sifat malas ketika membaca.
Apakah perilaku malas ini salah? Tentu nggak salah sama sekali, dong. Justru perilaku malas itu cukup manusiawi. Malas mencerminkan bahwa itu adalah perilaku manusia, bukan robot.
Jika robot, mesin, maupun teknologi tentunya nggak memiliki rasa malas, oleh karenanya robot itu nggak manusiawi. Jika ada manusia yang nggak memiliki rasa malas sedikit pun, maka patut dicurigai. Jangan-jangan dia terminator? Atau mungkin jenis robot manusia lain dari masa depan? Hehehe.
Di luar pertikaian robot, terminator, dan kawan-kawannya, saya ingin menekankan bahwa kurang patut menghakimi seseorang sebagai pemalas. Pasalnya, malas ya merupakan hal yang bersifat manusiawi, termasuk juga pada perilaku malas untuk membaca buku hingga tamat.
#2 Isi buku sulit dipahami
Nggak semua buku dapat dipahami oleh seluruh umat manusia di bumi ini. Pasalnya, setiap penulis memiliki gaya tulisan dan logika unik yang tentunya berbeda dengan penulis lain. Keunikan inilah yang menjadi konsekuensi bagi pembaca yang terkadang kesulitan memahami tulisan seseorang.
Perlu dipahami juga bahwa sulit memahami isi buku bukan berarti nggak bisa dipahami. Semua tulisan pasti dapat dipahami, hanya saja yang membedakan adalah level memahaminya saja. Ada yang dengan menutup mata saja bisa dipahami, tapi ada juga yang sampai dibaca ratusan kali pun nggak kunjung paham.
Jika saya menemui buku yang isinya sulit dipahami, biasanya saya nggak memaksakan diri untuk membacanya terus menerus. Saya masih sayang dengan otak saya. Soalnya kalau otak saya rusak, mau cari yang ori susah banget, Hyung. Saya lebih memilih untuk beristirahat, menenangkan otak, dan nggak membaca buku tersebut untuk beberapa hari, beberapa minggu, dan bahkan berbulan-bulan. Jika otak rasanya sudah fresh, memori kuat, mood berapi-api, maka saat itu juga saya melanjutkan bacaan saya.
#3 Ada buku lain yang lebih menarik
Nah, alasan berikut ini menurut saya alasan paling setan! Layaknya setan yang sering menggoda manusia, buku juga dapat menjadi setan dan menyingkirkan buku lain yang kalah menarik darinya.
Hal semacam ini sering banget saya alami. Ketika lagi asyik-asyiknya membaca buku, eh tiba-tiba menemukan buku di media sosial yang justru menarik perhatian. Lantaran saya orang yang kurang sabar, biasanya saya langsung tebas saja buku yang lebih menarik itu.
Akhirnya buku yang sedang saya baca tadi dijeda dulu demi membaca buku yang lebih menarik darinya. Bukan berarti menyingkirkannya ya, hanya menjeda sejenak untuk beberapa saat demi berselingkuh dengan buku lain yang lebih memesona.
Parahnya, saya nggak hanya berselingkuh pada satu buku saja, terkadang berlipat ganda jika memang ada buku lain yang lebih membangkitkan hasrat keingintahuan. Jadi, nggak heran kalau banyak buku yang terjeda gara-gara saya terhasut oleh buku lain yang lebih memuaskan.
Apakah ini salah? Tentu nggak sama sekali menurut saya. Hasrat keingintahuan merupakan sebuah fantasi tersendiri bagi saya. Semakin saya ingin tahu, maka saya semakin sadar bahwa saya masih nggak tahu apa-apa.
#4 Irit bacaan
Jika alasan sebelumnya muncul karena over bacaan, maka alasan yang ini muncul karena krisis bacaan. Banyak faktor yang dapat melatarbelakangi krisis bacaan ini, mulai dari krisis finansial hingga memang nggak menemukan buku lain yang menarik perhatian.
Oleh karena itu, mengirit bacaan merupakan solusi saya ketika sedang krisis bacaan. Mengirit bacaan ini biasanya saya lakukan mulai dari sering menjeda baca buku, sampai mencermati secara detail setiap pemilihan kalimat bahkan setiap kata yang ditulis oleh penulis dalam bukunya.
Irit bacaan ini mengakibatkan saya nggak kunjung menyelesaikan buku yang saya baca. Saya lebih memilih mengirit bacaan dibandingkan menuntaskan semua bacaan yang kemudian mengalami fase kekosongan bacaan. Pasalnya menurut saya, fase ketika nggak memiliki bacaan yang digemari sama sekali merupakan sebuah kehampaan hidup tiada tara.
Berdasarkan berbagai alasan tersebut, saya ingin menekankan bahwa mengulur-ulur waktu membaca buku itu bukan perilaku yang tercela, kok. Ada berbagai alasan yang justru memaksa seseorang nggak segera menuntaskan bacaannya. Membaca itu sebuah ibadah yang nggak perlu dilakukan secara kebut-kebutan. Cukup nikmati dengan khusyuk dan berimajinasilah pada apa yang disajikan penulis dalam bukunya.
BACA JUGA Baca Buku Tanpa Mempertanyakan Isinya Adalah Kebodohan yang Hakiki atau tulisan-tulisan Mohammad Maulana Iqbal lainnya.