Saya pikir cerita tentang penglaris dalam sebuah usaha hanya terjadi di zaman dahulu atau minimal hanya ada di sinetron azab Indosiar. Namun ternyata saya salah, nyatanya praktik penglaris dalam konotasi ilmu hitam ini masih marak digunakan dalam dunia perdagangan.
Metode penglaris ini cukup bervariasi, tergantung di mana kita menggunakan bantuan orang pintar sebagai calo penglaris. Ada yang hanya meletakan jimat di tempat usahanya, ada yang warungnya dijaga naga sampai jin, dan ada juga yang menyediakan ruang tersendiri untuk melakukan ritual sesuai kesepakatan.
Setelah mengobrol dengan beberapa pedagang yang merupakan pensiunan member pengguna penglaris, mereka mengaku bahwa setelah menggunakan penglaris ini usahanya menjadi laris manis dan tempat usahanya tak pernah sepi. Namun, setiap hal yang didapat secara instan biasanya selalu disertai syarat dan ketentuan yang tak mudah.
Bagi saya yang merupakan orang awam dalam dunia per-gaib-an, tentu saya penasaran. Jangan-jangan para jin penglaris ini dulunya sempat mempelajari ilmu psikologi konsumen sehingga mereka bisa menarik pembeli untuk berbelanja di tempat tersebut.
Jika tujuan utama memang hanya ingin usaha kita laris, menurut saya tak perlu menggunakan jasa jin penglaris. Asal kita tahu konsep utama dalam berjualan itu mengadaptasi dari teori psikologi konsumen, usaha kita juga nggak akan kalah dengan tempat usaha yang menggunakan penglaris. Berikut empat konsep dari teori psikologi konsumen yang saya terapkan agar usaha saya laris bak menggunakan penglaris.
Daftar Isi
Antropologi
Di mana kaki berpijak di situ langit dijunjung. Peribahasa ini mungkin sudah sangat familier kita dengar dari zaman SD. Akan tetapi perlu dipahami bahwa peribahasa ini merupakan pedoman dalam menjalani hidup di lingkungan yang kita tempati.
Dalam membuka usaha, hal utama yang perlu dipelajari adalah riset tentang budaya sekitar. Budaya di sini nantinya akan mencakup tentang ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, kebiasaan, atau norma yang berlaku. Budaya dalam masyarakat kemungkinan besar akan diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya. Hal ini nantinya akan berdampak pada perilaku konsumen.
Misalnya, kenapa dulu saya memutuskan untuk membuka warung sembako padahal saya sendiri nggak punya basic dalam berjualan terlebih dalam dunia sembako. Tapi saya sangat mengenal sekali lingkungan beserta kebiasaan masyarakat di mana saya membuka usaha. Sebagai masyarakat Jawa yang sangat hobi sekali menggelar hajatan, syukuran, kenduri, menengok orang sakit, pergi ke layatan, dan lain sebagainya, saya seolah datang sebagai solusi dari permasalahan kebutuhan pokok target konsumen saya.
Budaya ini juga tak lepas dari cita rasa di masyarakat. Kenalan saya seorang penjual soto betawi akhirnya dengan berat hati memutuskan gulung tikar setelah beberapa waktu warung selalu sepi. Bagi saya yang sudah dari kecil terbiasa makan soto betawi karena ibu saya asli orang Jakarta, saya menganggap bahwa soto buatan kenalan saya ini lumayan enak. Bukan masalah pada rasanya sebenarnya, dia hanya salah target sasaran konsumen. Dia menjual soto betawi di tengah masyarakat yang suka dan terbiasa makan soto bening, tentu saja dagangannya jadi kurang diminati.
Budaya di mana kita akan membuka usaha sangat berpengaruh sekali, sehingga hal ini tak boleh diabaikan. Jangan sampai salah sasaran.
Sosiologi
Alih-alih menggunakan penglaris, kelas sosial justru hal penting dalam menentukan target konsumen kita. Dari awal harus jelas siapa target pasar kita, dari kelas status sosial mana mereka berada. Status sosial ini sebagai pedoman kita untuk menentukan di mana lokasi tempat usaha, penataan serta desain tempat usaha, pemilihan produk yang akan dijual, ataupun harga jual.
Jika kita mempelajari iklan rokok di televisi pada zaman dulu, biasanya rokok-rokok mahal disajikan dengan iklan sederhana yang tak banyak penjelasan dan sangat singkat, padat, dan jelas. Hal ini karena target pasar mereka merupakan orang dari kalangan menengah ke atas yang notabene nampak begitu elegan. Berbeda dengan rokok murah, biasanya disajikan dengan gebyar gempita, penjelasannya panjang lebar, dan biasanya disajikan dengan skrip yang merakyat. Di sini kita harus paham dengan karakter calon konsumen kita.
Ekonomi
Ekonomi di sini mencakup secara keseluruhan tentang keuangan yang ada. Tentang modal, cara pengelolaan uang, serta menentukan harga jual. Kita harus paham berapa modal yang kita punya, jangan sampai karena terobsesi ingin segera besar lantas kita berutang dalam jumlah yang begitu besar. Dalam usaha berutang tentu sah-sah saja, namun kita juga perlu memperhatikan tentang kapasitas pemasukan dan pengeluaran.
Salah satu trik psikologi yang saya pelajari dalam menentukan harga biasanya saya menekan harga kebutuhan pokok seperti beras, gula, dan minyak goreng dengan harga semurah mungkin. Orang lain mungkin berpikir bahwa saya nggak untung, padahal saya menggunakan tipuan ini untuk mengecohkan.
Kebanyakan orang akan fokus ke harga pokok saya yang murah meriah, padahal asal mereka tahu, tiap mereka datang ke warung itu mereka tak hanya membeli tiga bahan pokok itu. Mereka akan membeli barang lainnya, tapi mereka nggak akan sedetail itu mengecek harga lainnya yang mungkin sama dengan warung lainnya. Walaupun ya ada juga orang yang njelimet banget kayak gitu. Tapi tenang, spesies njelimet semacam ini hanya ada satu dua orang kok dalam setiap kabupaten.
Psikologi
Psikologi di sini mewakili kepuasan konsumen yang nantinya akan menentukan keputusan, apakah konsumen ini akan kembali lagi atau hanya cukup sekali. Apakah konsumen puas dengan pelayanan kita atau apakah mereka merasa nyaman berbelanja di tempat kita. Hal ini mencakup bagaimana pelayanan kita ke konsumen, tentang keramahan, murah senyum, fast response, tanggap, dan sebagainya.
Penulis: Reni Soengkunie
Editor: Intan Ekapratiwi