Aturan itu tidak hanya berlaku di lingkup keluarga saya saja. Teman-teman saya yang berdomisili di Bantul juga merasakan hal serupa. Duh, apa ini jangan-jangan seluruh masyarakat di Bantul memiliki sifat protektif yang berlebih ya?
Salah seorang teman saya pun pernah menonton konser di daerah Sleman sampai hari sudah berganti, tapi, ya tetap saja Ia harus nglaju pulang karena keluarganya sudah menunggu di teras rumah. Kenalan saya yang lain juga tetap memaksakan pulang berkendara sendirian dengan kondisi tangan berdarah karena baru saja terjatuh dari motor. Ada gila-gilanya memang, hidup di Bantul agaknya membuat warganya terlatih berani dan kuat apapun kondisinya.
Bingung kalau ditanya alasan ngekos
Alasan lain yang menghalangi (atau lebih tepatnya mengurungkan) niat ngekos saya adalah malu dan bingung ketika nanti ditanya oleh tetangga kos mengenai alasan mengapa saya memilih ngekos. Terlebih lagi, rumah saya sebenarnya juga masih area Bantul yang mepet Kota Jogja, bukan daerah Sanden, Piyungan, Pajangan atau Srandakan yang lebih masuk akal kalau ngekos.
Saya bisa saja kemudian menjadi anomali yang merusak citra wong Bantul yang dianggap selalu siap dan gas-gas saja saat diajak ke manapun. Saya benar-benar nggak siap kalau ditanya “Lho wong Bantul kok ngekos, Mbak?”
Itulah hal-hal yang menyebabkan saya sampai saat ini nggak pernah bisa mewujudkan cita-cita menjadi anak kos-kosan. Jadi, sekarang sudah mengerti ‘kan mengapa akhirnya ngekos mungkin menjadi salah satu kesempatan mewah yang bisa dimiliki oleh sebagian kecil warga Bantul? Seandainya cita-cita saya itu tercapai, sudah pasti akan saya pamerkan di mana-mana, bahwa saya bisa menantang tradisi warga Bantul yang diwajibkan pulang apapun kondisinya!
Penulis: Cindy Gunawan
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 4 Dosa yang Tanpa Sadar Dilakukan Warga Sewon terhadap Kabupaten Bantul
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.