Suatu ketika adik saya pulang membawa seekor anak kucing lokal berwarna hitam, kumuh, dan tak terawat. Adik saya adalah pecinta kucing, pecinta kucing sungguhan bukan pecinta kucing untuk komunitas, pecinta kucing untuk konten YouTube, atau pecinta kucing yang ikut-ikutan tren memelihara kucing impor saja. Sesampainya di rumah ia malah ditegur karena membawa “kucing kampung”. Privilese itu nyata, bahkan untuk kaum kucing sekalipun.
Dari situ saya menyadari bahwa privilese itu bukan hanya untuk bangsa manusia saja. Kucing impor entah itu jenis apa pun memang terkesan cantik dan membanggakan untuk dipamerkan di akun media sosial. Kucing lokal selalu mengalami diskriminasi dan dianggap kurang cantik, kurang anggun, dan kurang layak menjadi peliharaan bagi kebanyakan orang. Padahal tentu saja kucing lokal juga memiliki daya tariknya sendiri. Ia jauh lebih aktif, tidak malas, badannya lebih atletis jika dibandingkan kebanyakan kucing-kucing bule yang kerjaan cuma rebahan.
Orang Indonesia memang telah lama terpukau dengan segala hal yang berbau internasional atau produk impor. Buat saya ini sah saja tapi masalah sering kali terjadi diskriminasi yang membawa kita zaman kolonial, yang membagi antara kucing eropa dan kucing jawa kucing impor dan kucing kampung. Diskriminasi terhadap kucing kampung sebagai kucing jelata di dunia perkucingan itu nyata.
Lihat saja isi akun media sosial para selebriti dan selebgram itu. Mereka kerap kali memamerkan kucing impor yang harganya bikin jiwa misqueen-ku terguncang. Belum lagi harga makanannya, harga perawatannya di salon kucing, dan biaya dokter hewan. Namun, apakah itu buruk?
Orang bisa berdebat itu buruk atau baik untuk kucing tergantung perspektifnya. Namun yang coba saya gambarkan di sini adalah ketimpangan yang diterima oleh kucing-kucing lokal akibat invasi dari kucing-kucing bule itu, sehingga mereka merasa asing di tanah sendiri. Mentang-mentang kucing-kucing bule itu lebih cantik, anggun, bersih, dan sehat.
Sehat? Ah, itu kan sehat dari perspektif mayoritas saja. Mungkin saja kucing-kucing bule yang gemuk itu ternyata tidak sehat malah menderita diabetes, jantung koroner, overweight, atau penyakit apa pun karena kelebihan makan dan malas bergerak. Stereotip yang dibentuk dengan gemuk itu sehat masih sangat nyata di Indonesia. Padahal justru lebih banyak penyakit yang diderita oleh orang-orang gemuk. Apa mungkin karena Indonesia masih bergelut dengan angka kemiskinan yang tinggi, gizi buruk, dan busung lapar sehingga membuat kebanyakan orang Indonesia melihat orang gemuk sebagai simbol kesehatan?
Entahlah. Mungkin saja itu benar jika dibandingkan dengan Amerika yang mana lebih banyak orang mati karena penyakit yang disebabkan kebanyakan makan ketimbang kelaparan bahkan ketika digabungkan dengan pembunuhan, perang, terorisme, dan kekerasan lainnya. Seandainya kita hidup di Amerika mungkin perspektif kita dalam melihat tubuh sehat pasti akan berbeda.
Kita memang terlalu terpukau dengan semua hal yang berasal dari luar. Apakah ini bentuk inferioritas kompleks terhadap semua yang bersifat impor? Atau karena sifat inlander kita akibat terlalu lama dijajah berbagai bangsa?
Diskriminasi itu nyata bosku. Kucing lokal benar-benar seperti orang-orang pribumi ketika masa kolonialisme. Ada privilese yang dimiliki oleh para kucing-kucing bule itu. Bahkan ketika kucing bule itu dihamili oleh kucing kampung, maka anaknya jika lebih mirip kucing kampung sering kali tidak mau lagi dipelihara oleh majikan kucing bule tersebut. Ada yang dibuang atau diberikan ke tetangga. Mungkinkah karena rasnya tidak murni lagi? Dan sudah dikotori oleh darah pribumi?
Memang tidak semua orang mendiskriminasi kucing kampung. Ada juga pecinta kucing yang benar-benar pecinta kucing bukan hanya tukang pamer yang posesif dan diskriminatif. Mereka posesif karena mereka merasa memiliki kucing itu seolah kucing adalah benda bukannya makhluk hidup yang bebas. Mereka diskriminatif karena hanya peduli pada kucing-kucing cantik, terawat, bersih, apalagi jika impor.
Ketimpangan itu itu nyata bosku. Contoh lain adanya ketimpangan antara bangsa kucing adalah diskriminasi terhadap ras kucing kampung yang datang mencari makan di rumah warga. Kalian pasti sering melihat bagaimana seekor kucing kampung mampir ke rumah warga dan mengambil makanan yang ditaruh di meja tanpa penjagaan, lantas si kucing akan ditendang, dipukul pakai sapu, dan dikata-katai kucing pencuri. Lah, memangnya dalam dunia perkucingan ada hukum yang mengatur bahwa ketika seekor kucing mengambil makanan milik manusia ia lantas menjadi pencuri?
Tentu saja tidak, dunia kucing tidak mengenal hukum kepemilikan ala manusia. Kucing hidup dengan hukumnya sendiri dan hanya hidup dengan mengikuti hukum alam. Berbeda sekali ketika yang datang adalah kucing bule yang cantik, anggun, dan indah dipandang maka akan disambut dan disayangi bahkan diberikan privilese untuk merusak alam kita mengambil apa pun yang ada di dapur kita. Tapi tentu saja menyayangi kucing secara berlebihan hingga merasa memiliki itu salah, karena hakikat sebenarnya kucing itu adalah hewan yang mampu mencari makan sendiri.
Apabila ada kucing yang disayang-sayang manusia secara belebihan, diberikan makanan yang harganya bikin minder separuh umat misqeen se-Indonesia, itu justru melanggar hukum hidup mereka. Bagaimana nanti ketika manusia sudah bosan dan kucing itu dibuang?
Kemungkinan besar mereka akan hidup susah karena selama ini hidupnya terlalu mudah. Apalagi kucing yang sudah biasa diberikan makanan mewah maka ia tidak akan bisa hidup seperti para kucing kampung yang mampu mencari makan sendiri bahkan dari ditumpukkan sampah. Kucing bule itu pasti tidak mau makan dari tumpukan sampah, karena sudah biasa makan mewah dari restoran negeri kucing.
Akhirnya kucing-kucing ini akan hidup menggembel dan mengharap belas kasih manusia karena mereka sudah kehilangan naluri kekucingannya untuk hidup layaknya kucing liar. Syukur-syukur jika masih ada manusia baik yang peduli memberi makan para kucing ini tanpa memiliki perasaan kompulsif untuk memiliki. Tapi karena mereka kucing impor, mereka selalu diterima di pintu rumah mana pun.
BACA JUGA Kenapa Harus Takut Kucing? atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.