Netizen percaya medsos X akan digantikan oleh Ela Elo yang tampilannya buruk itu.
Bagi yang beberapa waktu terakhir tidak sempat menyimak perdebatan di media sosial X, saya beri sedikit konteks. Beberapa waktu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Republik Indonesia dikabarkan mengancam akan memblokir medsos X yang sebelumnya bernama Twitter. Alasannya, X menerapkan kebijakan kebebasan konten pornografi di Indonesia.
Kemenkominfo kemudian mengimbau pengguna X untuk bermigrasi ke medsos lain. Imbauan itu memicu keributan pengguna X di Indonesia yang memang banyak jumlahnya. Netizen beranggapan, kebijakan yang diambil Kemenkominfo tidak menjawab akar permasalahan.
Daftar Isi
Muncul Ela Elo dan wacana medsos besutan pemerintah
Di tengah keramaian itu muncul Ela Elo, medsos yang katanya dibuat oleh pemerintah untuk menggantikan X. Belakangan Kemenkominfo secara resmi sudah membantah kalau medsos itu bikinan mereka.
Sebenarnya, tanpa harus membuat pernyataan resmi, seharusnya kita sadar kalau Ela Elo bukan buatan pemerintah. Jujur saja, kita kelewat merendahkan pemerintah kalau berpikir situs itu buatan mereka. Sejak awal Ela Elo viral, platform itu sudah membuat ragu.
Pertama, perkara tampilan yang nggak banget. Serendah-rendahnya selera pemerintah, memasang lambang Garuda Pancasila di medsos itu kelewat konyol. Saya yakin, kalau memang membuat medsos sendiri, pemerintah akan membeli logo. Walau seleranya nggak bisa dijamin lebih baik, tapi setidaknya nggak jelek dan norak seperti tampilan Ela Elo.
Kedua, kehadiran Ela Elo terkesan riding the wave. Ketika wacana pemblokiran X mulai viral, tiba-tiba muncul medsos tidak jelas ini. Padahal, tidak mungkin pemerintah meluncurkan sesuatu tanpa seremoni yang berlebihan dan memalukan. Misal, upacara perilisan yang menekan LCD seolah-olah layar sentuh, tapi pakai Video Player. Kemunculan Ela Elo yang tiba-tiba dan begitu saja sudah pasti karena platform itu bukan besutan pemerintah.
Apakah kita perlu dan butuh medsos buatan pemerintah?
Mari kita move on dari medsos tadi ke kemungkinan yang lebih buruk: pemerintah membuat medsos sendiri untuk masyarakatnya. Salah satu berita sebenarnya sudah memuat pernyataan Kemenkominfo bahwa mereka tidak memiliki wacana membuat medsos. Namun, ada baiknya kita sebagai warga Indonesia tidak mudah percaya dan terlena begitu saja. Nggak ada salahnya kita membekali diri dengan 1001 argumen menolak medsos buatan pemerintah.
Sebelum pemerintah berpikir untuk membuat medsos sendiri, lebih baik mereka melihat ke belakang. Ada onggokan aplikasi yang kini jadi sampah digital. Pada 2022 saja sudah ada 24 ribu aplikasi buatan pemerintah yang mangkrak dan jadi pemborosan. Kebanyakan aplikasi tersebut ditujukan untuk akses satu jenis program pemerintah saja.
Wacana super apps sempat bergulir. Harapannya, semua urusan masyarakat dengan pemerintah bisa terhubung dalam satu aplikasi. Tapi sudah 2 tahun berjalan, dan hampir 2 presiden, aplikasi super tadi belum terwujud. Sedangkan aplikasi yang ada masih penuh masalah. Salah satunya adalah aplikasi Identitas Kependudukan Digital.
Membuat aplikasi layanan masyarakat saja belum becus. Kok bisa-bisanya ngide bikin medsos sendiri? Mending fokus dulu membuat super apps yang nyata manfaatnya.
Kami ragu dengan keamanan data
Salah satu isu besar dalam medsos adalah keamanan data. Masih ingat dengan skandal Facebook dan Cambridge Analityca? Mark Zuckerberg sampai harus menghadap senat Amerika Serikat karena potensi kebocoran data pengguna. Belum lagi isu kebocoran lain yang membuat kita makin was-was bermedia sosial.
Bagaimana dengan negara kita? Cukup sebut nama Bjorka untuk melihat kinerja pemerintah menjaga data kita. Privasi kita sudah tidak bocor lagi sih, tapi seperti pintu air Manggarai yang dibuka lebar. Loss nggak rewel untuk dicuri pihak-pihak nakal.
Mengurus data pribadi kita saja belum siap. Apalagi mengurus medsos yang akan berisi pesan pribadi? Mending pemerintah cari kegiatan lain gitu yang bermanfaat. Misal, memberantas judol dengan sepenuh hati.
Internet adalah kemerdekaan terakhir kita
Saya masih ingat betul mimpi banyak orang saat internet lebih mudah diakses pada tahun 2000-an. Banyak yang berharap internet jadi ruang terakhir bagi manusia untuk bebas. Setelah dekade sebelumnya sensor dan kendali informasi makin parah ketika perang dingin.
Internet digadang jadi ruang aman bagi semua orang. Tanpa ada kontrol berlebihan serta sensor ketat pemerintah. Bahkan, sebelum medsos menjadi produk yang umum, banyak orang sudah membayangkan kemerdekaan berekspresi dan berkomunikasi.
Mimpi ini memang sudah tergerus. Pemerintah manapun sudah melakukan kontrol sosial melalui internet. Namun, masih ada secercah harapan kebebasan pada medsos. Setidaknya medsos dikelola pihak swasta yang tidak secara langsung dikendalikan pemerintah.
Akan tetapi, dengan keterlibatan pihak swasta saja, pemerintah masih bisa memaksakan kontrol seenak jidat. TengoklahWeChat di Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Meskipun dikelola swasta, pemerintah RRT melakukan kontrol sesuka dengkul mereka.
Semoga penjelasan di atas bisa menjadi bekal di masa mendatang kalau pemerintah mengambil langkah ekstrem seperti RRT. Pemerintah seharusnya memberi ruang bebas bagi masyarakat. Menjaga keamanan dan keselamatan masyarakat bukan berarti mengontrol seluruh kehidupan termasuk kebebasan di dunia maya.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.