Katanya, anak bungsu dibekali dengan banyak privilese dalam hidupnya. Namun sebagai anak bungsu, saya malah pengin lepas dari belenggu ini.
Penyandang gelar “ragil”, sebuah penyebutan dalam bahasa Jawa untuk anak yang terlahir terakhir dalam keluarga, sering kali identik dengan dimanja dan dibanggakan. Terkadang, keberadaan mereka dianggap sebagai tanda bahwa diskriminasi dalam keluarga memang ada dan lumrah terjadi.
Kebahagiaan yang dirasa anak bungsu dianggap lebih banyak, bahkan terkesan berlebihan, jika dibandingkan dengan saudara kandung lainnya. Bisa jadi anggapan ini datang dari para kakak yang merasa iri dan dengki. Padahal ada juga sisi buruk dari gelar yang saya peroleh sebagai satu dari sekian banyak anak ragil di dunia ini.
Daftar Isi
Dianggap si paling nurut
Hal yang mungkin nggak diketahui para kakak saya adalah, sebagai anak bungsu, saya selalu merasa iba ketika kedua orang tua kami sedang kesusahan. Rasa simpati dan empati saya sampaikan dengan memberikan bantuan atas rasa susah tersebut. Kalau kakak saya mah boro-boro membantu, dipanggil saja kadang nggak datang.
Kejadian ini nggak cuma terjadi satu kali, melainkan terus berulang bahkan sampai sekarang. Akibatnya, dalam diri saya—dan mungkin anak ragil lainnya—tersemat anggapan anak paling nurut.
Padahal sebagai anak, saya merasa ini adalah bentuk dari tanggung jawab. Ha mosok orang tua minta bantuan, saya nggak mau bantuin?
Dituntut untuk serba bisa
Sebagai anak yang dianggap si paling penurut, anak bungsu seperti saya dituntut untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Padahal semua manusia punya batasan masing-masing dalam hal keterampilan dan kemampuan. Tuntutan ini datang sebagai imbas dari takdir saya sebagai anak yang terakhir meninggalkan rumah orang tua.
Pernah suatu ketika, saya ditugaskan untuk menjaga ternak selama orang tua saya pergi umroh. Kakak pertama saya tengah merantau ke Surabaya, sedangkan kakak kedua saya ada di rumah tapi nggak diberi tugas. Kalaupun diberi tugas, ibu saya merasa bahwa kakak saya itu akan sanggup menolak. Maklum, biasanya dia memang menolak suruhan orang tua dengan berbagai macam alasan.
Selain itu, saya juga dituntut untuk bisa mengoperasikan aplikasi komputer seperti Microsoft Word, Excel, dan Power Point agar bisa membantu ibu saya yang berprofesi sebagai guru. Saya juga harus bisa memperbaiki printer, menyetir mobil, bahkan bergaul dengan ibu-ibu rewang ketika ada acara di rumah. Semua itu harus bisa saya lakukan kala kakak-kakak saya nggak menunjukkan batang hidung mereka.
Memantik kecemburuan dari saudara lain
Anak emas sering diidentikkan pada seorang anak yang mendapatkan fasilitas lebih dibandingkan anak lainnya. Kini, ungkapan ini bahkan melebar dari artian aslinya. Anak bungsu sendiri kerap diidentikkan sebagai anak emas. Anak kesayangan yang biasanya mendapat fasilitas dan perhatian lebih dari orang tua.
Di satu sisi memang menyenangkan bisa memperoleh privilese sebagai anak emas. Namun di sisi lain sejujurnya saya enggan mengemban predikat ini. Sebab, dengan adanya ungkapan anak emas ini, kecemburuan sosial antara satu anak dengan anak lainnya di keluarga rentan terjadi.
Waktu kecil saya pernah bertengkar dengan kedua kakak saya yang merasa cemburu karena saya kerap dianggap sebagai anak emas oleh kedua orang tua saya. Perkelahian dua banding satu terjadi. Untung waktu itu ada tetangga yang mendengar jeritan saya dan melerai pertengkaran kami.
Petaka bagi kebebasan berumah tangga
Kalian yang menyandang sebagai status anak sulung atau anak tengah dan kebetulan sudah berkeluarga mungkin sekarang sudah hidup bebas. Tinggal di rumah sendiri, mengurus keluarga sendiri, pokoknya semua dilakukan sendiri. Sementara anak bungsu seperti saya, meskipun sudah menikah, status saya sebagai kepala keluarga masih merangkap sebagai anak kesayangan orang tua. Semua yang saya dan istri lakukan jadi kurang bebas karena masih dicampuri oleh orang tua.
Contoh sederhananya waktu istri saya memasak telur dadar untuk saya. Namanya masak kan terserah yang memasak ya, tapi ibu saya menegur karena katanya cara masak istri saya berbeda dengan cara masaknya. Padahal waktu saya makan rasanya ya sama enaknya. Malah telur dadar buatan istri saya lebih inovatif karena nggak memakai resep yang gitu-gitu saja. Kejadian itu tentu bikin istri saya kapok masak di dapur ibu saya.
Didapuk sebagai calon pewaris rumah utama
Keinginan saya dalam hal papan nggak muluk-muluk amat. Selagi bisa dihuni dengan nyaman, aman, dan tenteram, saya mau menghuni tempat itu. Namun sebagai anak bungsu yang selalu dianakemaskan, saya didapuk sebagi calon pewaris rumah utama yang saat ini masih dihuni kedua orang tua saya.
Sebenarnya orang tua saya punya tiga rumah. Dua rumah sudah diberikan pada dua orang kakak saya beserta pasangan hidup mereka, sementara saya belum mendapat bagian karena digadang-gadang akan menjadi pemilik rumah utama. Sejujurnya saya nggak pengin memiliki rumah utama itu. Menurut saya, rumah dua lantai itu terlalu luas sehingga mengurusnya pasti memerlukan usaha keras.
Saya malah iri dengan kedua kakak saya yang mendapat rumah sederhana satu lantai. Rumah itu sudah saya incar sebagai rumah tinggal saya dan istri. Nahas, gelar anak bungsu yang saya emban malah membuat saya kalah saing dengan kakak-kakak saya.
Penulis: Muhammad Arif Prayoga
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Anak Bungsu dan Anak Sulung Nggak Ada Bedanya, Sama-sama Remuk Dihajar Keadaan.