Nelangsa Penderita Buta Warna di Dunia Kerja: Nggak Dilirik HRD sampai Dapat Persepsi Buruk Kolega

Nelangsa Penderita Buta Warna di Dunia Kerja : Nggak Dilirik HRD sampai Dapat Persepsi Buruk Kolega

Nelangsa Penderita Buta Warna di Dunia Kerja : Nggak Dilirik HRD sampai Dapat Persepsi Buruk Kolega (Pixabay.com)

Menurut studi yang dilakukan oleh Rumah Sakit Pusat Mata Nasional Cicendo pada tahun 2017-2021, prevalensi buta warna parsial di Indonesia adalah sebesar 10% dari keseluruhan populasi. Artinya, dari setiap 100 orang yang kita temui, 10 orang di antaranya adalah penderita buta warna parsial.

Dengan prevalensi tersebut, saya sebagai penderita buta warna parsial masih merasa dianggap “tidak normal” di dunia kerja. Memang benar sih, buta warna parsial adalah penyakit keturunan yang membuat penderitanya punya kepekaan yang lebih lemah terhadap warna-warna tertentu. Kekurangan tersebut membuat para penderitanya begitu terpinggirkan di dunia kerja, bahkan jarang sekali mendapatkan kesempatan.

Tentu saya nggak menyangkal terdapat beberapa pekerjaan yang memerlukan kepekaan begitu tajam terhadap warna. Masalahnya adalah, banyak sekali perusahaan yang sebenarnya nggak butuh-butuh amat kemampuan tersebut, tapi tetap memberikan persyaratan tidak buta warna untuk para kandidat. Sudah lah sekarang kandidat di atas 25 tahun makin sulit mendapat pekerjaan, ditambah orang-orang seperti kami yang menderita penyakit ini mendapat sentimen buruk. Makin nelangsa saja rasanya.

Persyaratan yang nggak substansial

Persyaratan sehat jasmani dan rohani tentu menjadi syarat umum yang dicantumkan pada lowongan pekerjaan. Masalahnya, penderita buta warna begitu sulit untuk lolos rekrutmen terutama pada tahapan tes kesehatan karena kebanyakan perusahaan mencantumkan tes buta warna sebagai syarat.

Kalau pekerjaan yang memiliki risiko tinggi seperti tambang atau kelistrikan mungkin wajar lah memberikan tes tersebut. Atau pekerjaan yang berkutat dengan katalog warna seperti desain atau fashion. Tapi, saya nggak sekali dua kali harus rela dicoret saat tahapan tes kesehatan karena kekurangan yang saya miliki ini, padahal pekerjaannya tidak butuh keahlian yang berhubungan dengan warna.

Menurut saya, persyaratan tidak buta warna pada beberapa kasus menjadi nggak substansial. Contohnya pada kasus saya, jobdesc pekerjaan yang ditawarkan sama sekali nggak mengharuskan kita membedakan palette warna dengan perbedaan yang begitu tipis. Kebanyakan pekerjaannya di depan komputer dan menggunakan aplikasi-aplikasi biasa, yang lagi-lagi, tidak ada hubungannya dengan warna.

Persyaratan buta warna menjadi nggak relevan karena banyak pekerjaan yang sebenarnya nggak membutuhkan kompetensi tersebut. Namun, asumsi liar sepertinya sudah terlanjur menyebar. Nggak sedikit orang awam yang menganggap kami sama sekali nggak bisa melihat warna. Seakan-akan kami penderita buta warna begitu inkompeten dan menjadi nggak bisa melihat apa-apa.

Demi Tuhan, penderita warna itu masih bisa lihat warna. Warna dunia yang kami lihat nggak cuma hitam dan putih.

Jangankan dapat kesempatan kerja, dilirik saja nggak

Penolakan demi penolakan yang saya alami membuat saya memutar otak. Daripada saya harus meluangkan waktu, tenaga, dan ongkos untuk proses rekrutmen sampai tes kesehatan, saya pun memilih berterus terang sejak awal kepada HRD saat proses wawancara. Tentu saya berharap bisa diberikan kesempatan setelah bisa menjelaskan bahwa sebenarnya penderita buta warna parsial masih punya kompetensi yang sama dengan orang normal lainnya.

Lagi-lagi, kenyataan ternyata nggak seindah harapan. Jangankan diberikan kesempatan, raut wajah yang berubah dan pertanyaan skeptis lah yang justru saya dapatkan dari para HRD. Sambil menunjuk sebuah benda, pertanyaan template pun muncul “Kalau ini warnanya apa?”

Tai lah.

Ya, tentu saya bisa menjawab dengan mudah karena untuk warna yang terlihat sehari-hari nggak ada kesulitan untuk membedakannya. Meski begitu, rasa skeptisme yang terlanjur tinggi mengalahkan itu semua. Ujungnya, nggak ada panggilan lanjutan juga dari perusahaan. Ya, sisi positifnya, saya jadi nggak berharap diterima kerja yang akhirnya zonk karena sudah sampai pada tahapan tes kesehatan, hehehe.

Persepsi buruk dari kolega gara-gara buta warna

Setelah banyak mimpi terkubur karena menjadi penderita buta warna, ya saya akhirnya mendapatkan kesempatan untuk bisa bekerja. Tentunya setelah banyak lamaran berujung penolakan. Meskipun belum settle dengan titel pegawai tetap, setidaknya masih ada tempat yang mau menampung orang-orang seperti kami.

Perjuangan nggak sampai di situ. Kolega yang sebagian besar masih belum familiar dengan penyakit ini sudah menunggu dengan persepsi buruk di dalam kepala mereka. Saya pun harus meluruskan kepada banyak orang bahwa buta warna tentu berbeda dengan nggak bisa melihat warna sama sekali.

Awalnya, sama seperti para HRD, teman kerja pun tentu cukup sungkan untuk berbagi pekerjaan dengan saya. Terlebih kami bergerak di industri survei, pemetaan, dan perencanaan tata ruang. Pasti lah kami bertemu dengan banyak warna. Pemikiran bahwa saya akan kesulitan membedakan warna tentu sering dirasakan. Contohnya jobdesc layouting peta awalnya diberikan pada kolega lain.

Perlu waktu sampai mereka benar-benar yakin bahwa saya memang nggak ada masalah dengan membedakan warna. Toh, warna yang saya temui juga nggak “semirip itu” dari segi spektrum warnanya. Akhirnya, mereka pun paham dan mengerti bahwa penyakit ini sebenarnya nggak “menyeramkan” sebagaimana persepsi orang awam lainnya. Bahkan, banyak kolega yang berkata, “Ternyata kamu bisa-bisa saja membedakan warna”. Ya memang dari dulu bisa, kalian saja yang denial!

Buta warna tetap bisa perform

Kalau ditanya, “Apakah tetap bisa perform di dunia kerja?”. Ya, jawabannya tentu bisa. Bahkan, di beberapa negara Asia Tenggara,  pendidikan kedokteran nggak memerlukan tes buta warna. Hanya Indonesia yang nggak memperbolehkan penderita buta warna mendaftar pendidikan kedokteran.

Hal tersebut menunjukkan betapa nelangsanya penderita buta warna di Indonesia. Sejak bangku perkuliahan, kami harus memilih jurusan yang nggak mencantumkan persyaratan tersebut. Eh, setelah lulus, persyaratan buta warna justru makin ketat, bahkan untuk pekerjaan yang sebenarnya nggak begitu membutuhkan kompetensi membedakan warna.

Menurut saya, sudah saatnya penderita buta warna parsial punya kesempatan lebih besar. Buktinya, saya sendiri tetap bisa bekerja dengan baik dan perform di dunia pekerjaan. Saya sama sekali nggak terganggu dan tetap bisa membedakan warna primer dengan cukup baik.

Setidaknya mbok ya diberikan kesempatan dulu untuk menjalani tes bekerja agar mengetahui apakah buta warna yang dialami berdampak besar pada proses bekerja. Kalau skeptis terus, lalu kami yang punya penyakit ini bagaimana? Sampai kapan 10% dari populasi Indonesia harus terlempar sana-sini di dunia kerja hanya karena ketakutan kalian semua?

Penulis: Muhammad Iqbal Habiburrohim
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Tes Buta Warna: Cara, Biaya, dan Mengapa Perlu Dilakukan?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version