Situasi pandemi ini menyebabkan bisnis transportasi di dunia jadi mampet, macam toilet umum. Terlebih lagi maskapai penerbangan. Beberapa negara menutup penerbangan mereka, baik yang domestik maupun internasional, guna memutus rantai penyebaran virus corona.
Eh, tapi, bukannya kemarin bandara Soekarno Hatta dikerubungi calon penumpang, ya? Ah, sudahlah.
Untuk maskapai penerbangan dalam negeri barangkali para pramugari bisa sedikit tenang, karena bisa tinggal di negaranya sendiri. Walaupun kita juga merasa deg-degan ketika para pramugari ini terpaksa bekerja di situasi yang masih tidak jelas ini.
Akan tetapi, untuk orang Indonesia yang bekerja sebagai pramugari di maskapai luar negeri bagaimana? Apakah hidup mereka asyik-asyik saja? Ya kan mereka enak bisa libur di luar negeri. Tetapi tidak juga, sebab itulah saya ingin menulis nasib mereka pada kesempatan ini.
Saya ada teman yang bekerja di salah satu maskapai penerbangan di Arab Saudi. Karena penasaran, saya tanya-tanya deh kondisi di sana dan bla bla blanya. Nah langsung saja, ini saya transkripkan hasil pembicaraan saya dengan beliau.
Jadi bagaimana awal mula tertahan di sana?
Jadi gini, aku awalnya nggak nyangka ya bisa jadi pandemi. Kukira virus itu habis di China saja, eh, ternyata sampai juga ke mana-mana. Waktu itu tanggal 12 Maret, KBRI di Riyadh mengeluarkan surat untuk orang Indonesia mengenai perkembangan virus corona. Dalam surat itu disebutkan sudah ada 45 kasus positif corona.
Di surat itu, baik warga Saudi atau ekspatriat untuk menghentikan perjalanan sementara ke beberapa negara termasuk Indonesia. Soalnya penerbangan langsung dihentikan, baik domestik maupun internasional. Tapi bagi kami yang ingin pulang waktu itu diharapkan untuk menghubungi KBRI segera.
Waktu surat itu dibahas di grup WhatsApp, aku lagi tidur. Lalu tiba-tiba teman sesama kamar asrama ngebangunin, katanya kalau tidak pulang sekarang tidak ada lagi penerbangan. Ya namanya juga baru bangun tidur, aku jadi bingung. Dan lagi temanku itu memberi tahu dengan ekspresi tegang, macam menyampaikan berita kehancuran dunia saja.
Penerbangan terakhir lima jam lagi, dan aku belum menyiapkan apa-apa. Temanku itu langsung packing sambil terus ngomong, “Ingat! Tidak ada lagi penerbangan ke Indonesia.” Aku langsung lari ke ruang tamu, tapi aku nggak tahu mau ngapain. Mungkin karena masih bingung, ya. Terus aku lari ke WC, juga nggak tahu mau ngapain.
Akhirnya aku minum air putih dan menenangkan pikiran. Terus kutanya dia, kalau kita pulang sekarang, memangnya perusahaan ngebolehin? Dia jawab kalau perusahaan ngebolehin, tapi kontrak kita dihentikan sampai bulan Desember. Dalam artian, tidak diberi gaji sampai akhir tahun.
Wah, mendengar itu aku jadi tambah pusing. Dalam pikiranku gini, ngapain ya aku di rumah sampai Desember, terus nggak dikasih gaji lagi. Aduh, kacau, aku nggak mau nyusahin orang tua juga.
Di dalam asrama itu ada empat orang pramugari Indonesia termasuk aku. Untung ada satu temanku yang berpikiran sama denganku. Jadi akhirnya dua temanku pulang malam itu juga, sedangkan aku dan satu temanku lagi stay aja. Karena katanya, bagi pramugari yang stay di kingdom, gaji tetap dikasi, tapi gaji basic. Ya, nggak apa-apalah.
Awalnya kukira pandemi ini nggak lama, eh kiranya sudah empat bulan. Dan aku mulai stres di sini.
Terus, gimana kondisi di sana selama pandemi? Termasuk gimana peraturan dari Kerajaan Saudi?
Kondisi di sini, di Jeddah terutama, selama pandemi bisa dibilang baik, ya. Masyarakat taat dengan peraturan. Sejak diumumkan mulainya lockdown memang langsung berasa sepi. Masyarakatnya memang mulai mengurangi aktivitas di luar. Kira-kira lima hari setelah itu, seluruh transportasi berhenti beroperasi. Kalau nggak salah mulai tanggal 20 Maret. Terus polisi juga udah mulai patroli. Sanksi yang dijalankan bagi pelanggar curfew yaitu denda 10.000 sar atau jail time.
Pertokokan yang masih buka itu supermarket dan apotek. Tidak ada panic buying yang ekstrem. Beberapa supermarket masih bisa memenuhi kebutuhan kita, termasuk hand sanitizer, gloves, dan masker masih gampang didapat.
Lantas, selama lockdown kamu ngapain aja?
Ya, sebulan awal aku di asrama aja. Aku nggak punya teman di sini selain pramugari yang nggak pulang. Dan di kompleks asrama ini, teman Indonesiaku cuma dua orang. Situasi seperti ini di negeri asing memang tidak mengenakkan. Aku kangen bicara menggunakan bahasa Indonesia ketika belanja ke warung, ketemu tukang bakso, tukang sate, atau mendengar suara tukang parkir.
Aku sudah seperti tokoh di novel The Outsider-nya Albert Camus. Hidup tapi tak merasa hidup. Untuk menghilangkan kebosanan, kucoba nulis jurnal harian. Tapi bulan berikutnya kepalaku sudah mulai mumet banget, jadi aku lebih sering jalan di sekitaran kompleks asrama. Dan di sekitaran kompleks itu aku bertemu teman baru.
Teman baru? Teman kencan?
Nggak lah, hehe. Teman aku itu kucing-kucing jalanan. Kamu tahu nggak, kucing-kucing di sini banyak banget. Jenis-jenisnya juga bermacam-macam, tapi bukan kucing peliharaan. Kalau di Indonesia mungkin udah diambil dan dijual orang. Kalau kamu pernah nonton film dokumenter kucing yang di Turki, ya kurang lebih seperti itu.
Kucing-kucing itulah yang menemaniku, yang menghilangkan stres selama masa pandemi. Tapi aku kasihan sama mereka karena harus nyari makan sendiri. Kata penjaga kompleks nggak boleh dikasih makan, karena nanti kucing itu bakal ngikutin kita ke asrama. Ya nggak gitu juga kali. Aku masa bodoh aja, kubeli makanan mereka, terus setiap sore kukasih deh. Aku tiba-tiba merasa menjadi manusia yang berguna ketika melihat mereka memakan pemberianku.
Enak, ya, jadi kucing di sana. Aku juga mau dong jadi kucingnya. Oh, iya, kamu nggak ada rencana pulang?
Ada dong! Tapi caranya bagaimana? Tahu nggak, sekarang kondisi di sini udah mulai kembali normal walau nggak normal-normal amat. Mal udah dibuka lagi, kita udah boleh ke beberapa tempat, tapi tetap pakai masker, ya. Setidaknya sudah mulai berangsur.
Lah, kalau di Indonesia. Aduuuuhhh, pusing deh. Aku kemarin liat di Twitter, Indonesia makin absurd aja. Belum pulih malah orang-orang dibiarin ke mal. Dan yang paling kukesalkan adalah orang-orang yang di Bandara Soekarno Hatta. Mereka pikir mereka aja yang mau pulang kampung? Dasar, egois banget!
Aku pengin banget-nget-nget pulang kampung. Apalagi di momen lebaran ini. Okelah kalau kondisi di sini udah aman, tapi kalau di Indonesia masih rawan, aku tetap nggak bisa pulang, dong. Kalau kamu tanya aku mau pulang, ya jelas mau. Tapi kalau melihat kondisi di Indonesia sekarang aku jadi berpikir gini, mungkin sampai lebaran kucing pun aku nggak akan pulang-pulang!
BACA JUGA Apa Orang Miskin Tidak Berhak Naik Pesawat? dan tulisan Muhaimin Nurrizqy lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.