Untung bin Syamsuri, laki-laki kelahiran Kebumen itu memiliki perawakan yang pendek dan gempal. Jauh dari kesan seorang tentara yang gagah berani. Namun, Untung berhasil mematahkan stereotip tersebut dengan karirnya yang mencorong di dunia militer. Setidaknya sampai sebelum terjadinya tragedi malam jahanam yang membuat dirinya harus mendapatkan hukuman mati dari pengadilan militer, keberuntungan masih memihak pada Letnan Kolonel Untung.
Untung memiliki nama asli Kusman. Orang tuanya berpisah ketika ia masih berusia 10 tahun. Kemudian, ia diboyong oleh sang paman yang bernama Syamsuri. Oleh karena itu Untung lebih dikenal sebagai Untung bin Syamsuri bukan Untung bin Abdullah yang merujuk pada nama bapak kandungnya.
Karir kemiliteran Kusman dimulai tatkala ia bergabung dengan Heiho, organisasi tentara muda pada masa penjajahan Jepang. Setelah Jepang mengalami kekalahan pada Perang Dunia II, Heiho pun bubar dan Kusman memilih bergabung dengan Batalyon pimpinan Sudigdo yang berada di Solo. Kusman sempat juga terlibat dalam pemberontakan Madiun 1948. Setelah peristiwa tersebut, Kusman masuk TNI melalui Akademi Militer di Semarang dan mulai menggunakan nama Untung.
Setelah berganti nama dari Kusman menjadi Untung, berbagai keberuntungan menghampiri kehidupannya. Ia merupakan salah satu lulusan terbaik Akademi Militer Semarang. Selepas lulus dari pendidikan militer, ia bergabung menjadi anggota Batalyon 454 Kodam Diponegoro, di mana pada saat itu panglima Kodam Diponegoro dipegang oleh Soeharto.
Di Kodam Diponegoro tersebut karir Letnan Kolonel Untung semakin melesat. Ia terlibat dalam operasi penumpasan PRRI/Permesta di bawah pimpinan Mayor Jenderal Ahmad Yani. Sepulangnya dari operasi tersebut, pangkat Untung yang sebelumnya Letkol Satu pun naik menjadi Kapten. Tak hanya itu, atas kinerjanya yang baik, Untung dilibatkan lagi dalam Operasi Mandala untuk membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda yang dipimpin oleh Soeharto. Hal ini pula yang turut membuat hubungan baik antara Untung dan Soeharto semakin erat.
Dalam Operasi Mandala tersebut, Untung dapat dikatakan sebagai pahlawan di balik keberhasilan operasi yang melegenda tersebut. Untung ditugaskan untuk memimpin pasukan kecil yang bertempur di hutan belantara Kaimena, Irian Barat. Sebagai lulusan akademi militer terbaik, Untung mampu menunjukkan kelasnya. Ia berhasil melaksanakan operasi tersebut dengan baik. Sepulang dari Irian Barat, pangkat Untung pun naik menjadi Mayor. Kemudian atas jasa besarnya dalam Operasi Mandala, bersama Benny Moerdani, Untung dianugerahi Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Tak banyak prajurit yang mendapatkan penghargaan Bintang Sakti. Bahkan, Soeharto selaku pimpinannya hanya memperoleh Bintang Dharma, setingkat di bawah Bintang Sakti.
Perlahan karier Untung semakin mantap dan menjelang medio 1965 pangkatnya sudah menjadi Letkol Kolonel. Kemudian ia diusulkan oleh Soeharto untuk menjadi pimpinan Resimen Cakrabirawa yang memiliki tugas khusus untuk menjaga keselamatan presiden dari segala mara bahaya.
Sepertinya Letnan Kolonel Untung memang dilahirkan untuk menjadi seorang militer tulen. Sayangnya, Untung merupakan orang yang buta politik. Peristiwa berdarah 30 September 1965 menjadi buktinya. Untung yang pendiam dan cenderung tidak populer dipilih sebagai pimpinan sebuah misi besar dan berbahaya. Ia diberi mandat untuk melindungi presiden dari Dewan Jenderal yang kabarnya hendak melakukan kudeta kepada Presiden Soekarno.
Di dalam dunia militer terdapat falsafah “berani, benar, dan berhasil”. Mungkin falsafah ini yang selalu dipegang kuat oleh Untung termasuk ketika terjadi peristiwa penculikan para jenderal besar. Dengan berani ia melakukan penculikan terhadap para dewan jenderal. Ia merasa benar melakukan hal tersebut karena memang sudah menjadi kewajibannya untuk melindungi presiden dari segala ancaman sehingga ia tak segan untuk membunuh dewan jenderal yang dianggapnya sebagai ancaman. Dan ia pun berhasil melakukan misinya pada malam itu sampai dengan 1 Oktober 1965 di mana ia sudah berstatus sebagai buronan.
Pasca insiden 30 September, keberuntungan Untung rasanya malah menjadi buntung. Andaikan ia lebih paham politik dan mampu melihat secara lebih jernih mengenai misi yang diembannya, nasib Untung sepertinya bisa menjadi lebih baik. Tapi, nasi telah menjadi bubur. Ia dikenal sebagai pimpinan gerakan kudeta yang gagal. Pada 11 September 1965 ia tertangkap ketika ia kabur di Tegal. Saat itu ia berada dalam sebuah bus. Tiba-tiba ada sekelompok tentara yang masuk ke dalam bus. Tak mau terciduk, ia pun loncat dari bus. Sialnya ia malah menubruk tiang listrik. Orang-orang pun mengira ia pencopet sehingga ia malah digebuki massa.
Setelahnya, Kolonel Untung diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa. Ia dituntut hukuman mati. Saat itu Untung masih bisa tenang dan yakin bahwa ia terbebas dari hukuman mati karena tak mungkin Soeharto, pimpinannya yang juga turut menghadiri pernikahannya bakal menjatuhkan vonis tersebut. Namun, fakta berkata lain. Soeharto yang dihormatinya ternyata tega menandatangani surat keputusan hukuman mati untuk dirinya.
BACA JUGA Ketika Raffles Merampas Harta Pusaka Keraton Yogyakarta dan tulisan Annisa Herawati lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.