Setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Saat menonton My Neighbor Totoro, saya beranjay-anjay berandai-andai kalau saja anak saya bisa tinggal di lingkungan seperti yang ada di dalam film kartun buatan Studio Ghibli itu. Betapa bahagianya kalau ia bisa tumbuh besar seperti Satsuki dan Mei, dua anak perempuan kakak-beradik yang menjadi tokoh utama dalam anime tersebut.
Kisah My Neighbor Totoro dibuka dengan perjalanan Satsuki, Mei, dan Ayah, saat pindah ke area pedesaan. Setelah melintasi hamparan sawah, tibalah mereka di tempat tujuan, yaitu sebuah rumah tua di tepi hutan yang berdiri sendirian, tanpa ada rumah lain di kanan-kirinya. Jaraknya minimal puluhan atau bahkan ratusan meter dari rumah tetangga terdekat.
Lingkungan tempat tinggal Satsuki dan Mei amat sesuai untuk kegiatan menjelajah di luar ruangan dan belajar langsung dari alam, atau nature study. Begitu keluar rumah, kaki langsung melangkah di atas rerumputan, dan mata melihat berbagai jenis tanaman liar dan pohon-pohonan. Paru-paru menghirup udara segar yang bebas polusi.
Salah satu metode belajar Charlotte Mason menyebutkan, anak usia dini sebaiknya bermain di alam sesering mungkin, minimal 5-7 jam sehari. Biarkan anak-anak mengenal alam sekitarnya, mengamati tanaman dan hewan-hewan kecil. Lingkungan yang ada di My Neighbor Totoro menunjukkan bahwa lingkungan ini adalah tempat ideal untuk tumbuh kembang anak.
Satsuki dan Mei sibuk menanam benih, membantu nenek tetangga dekat rumah memanen jagung, bermain di sawah, mencelupkan tangan ke parit kecil yang berair jernih untuk mengobok-obok kecebong. Sungguh gambaran sempurna untuk masa kanak-kanak yang indah. Hal yang sulit didapat oleh anak-anak yang tinggal di area perkotaan seperti anak saya.
Di tengah alam, anak-anak bebas melakukan berbagai kegiatan fisik seperti lari-lari, melompat, memanjat, berayun, merangkak di bawah rimbunnya semak-semak dengan relatif aman, tidak seperti area perkotaan yang ramai kendaraan sehingga berbahaya untuk anak-anak. Semua kegiatan fisik itu sangat baik untuk perkembangan motorik kasar, yang nantinya berpengaruh pada kreativitas dan proses tumbuh kembang anak secara keseluruhan.
Saat pertama kali melihat rumah tua bobrok dan seram, yang akan dihuni oleh Satsuki dan Mei, barangkali penonton akan merasa kasihan. Dua anak manis itu harus tinggal di rumah yang sudah keropos dimakan usia, berhantu pula. Namun kedua anak itu tetap ceria. Saat menemukan sebuah tiang keropos yang didorong sedikit saja nyaris roboh, Satsuki dan Mei justru menganggapnya lucu. Mereka berseru, “Hampir roboh”, dan tertawa riang sambil jumpalitan di kebun. Keceriaan seperti ini pasti sedikit banyak didapat dari orang tua mereka.
Orang tua Satsuki dan Mei digambarkan cukup ideal. Saat kedua anak itu bilang rumahnya berhantu, Ayah justru berkata bahwa sejak kecil ia bercita-cita tinggal di rumah hantu. Melihat sikap optimis sang ayah, otomatis Satsuki dan Mei berpendapat bahwa tinggal di rumah hantu itu keren, seru, dan tidak menakutkan.
Dari sudut pandang orang dewasa, kondisi keluarga ini sebetulnya cukup memprihatinkan. Sang ibu sedang dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu yang belum diketahui. Kemungkinan besar ada masalah finansial juga, karena sang ayah yang bekerja sebagai peneliti di departemen arkeologi di pusat kota terpaksa mengajak kedua putrinya pindah ke rumah terpencil di desa. Barangkali hanya rumah itu yang sanggup ia bayar sewanya. Namun anak-anak tidak perlu mengetahui hal-hal semacam ini. Mereka harus tetap optimis dan riang gembira.
Ayah memperbolehkan kedua anak perempuan itu bermain sepuas hati, dan tidak melarang mereka jumpalitan. Satsuki digambarkan agak tomboy, sangat aktif bergerak, dan Mei yang masih kecil juga sama aktifnya. Namun tidak pernah sekali pun Ayah memaksa mereka bersikap tenang dan kalem layaknya anak perempuan. Memang hal-hal seperti ini semestinya tidak perlu diatur-atur berdasarkan gender, kok.
Ayah juga selalu mendengarkan pendapat Satsuki dan Mei tanpa meremehkan atau mencela. Saat Mei bercerita bahwa ia bertemu Totoro yang bertubuh raksasa, berbulu tebal, dan ramah, Ayah tidak serta-merta menuduh Mei berbohong. Beliau justru berkata bahwa Mei beruntung bertemu dewa hutan.
Ibu yang kondisi fisiknya masih lemah juga selalu bersikap ceria di hadapan kedua buah hatinya. Ia mengaku ingin segera pulang dan tinggal di rumah hantu bersama keluarganya.
Suasana belajar-mengajar juga menyenangkan. Pagi-pagi Satsuki sudah dijemput teman sekelasnya, dan mereka berjalan kaki bersama ke sekolah. Pihak sekolah digambarkan sangat ramah anak. Saat Mei bersikeras menyusul Satsuki di sekolah, guru memperbolehkan Mei duduk bersama kakaknya.
Guyup rukun warga desa terlukis dengan amat baik dalam anime ini. Sehari-hari mereka saling tolong menolong dan berbagi hasil bumi. Nenek tetangga selalu siap membantu mengawasi Mei saat ayahnya pergi ke kantor dan kakaknya pergi ke sekolah. Saat Mei menghilang, para tetangga ikut membantu mencari. Memang benar pepatah Afrika yang mengatakan, it takes a village to raise a child. Peran serta komunitas warga diperlukan agak anak dapat tumbuh di lingkungan yang aman dan sehat.
Last but not least, bis kucing. Ya, bis kucing yang selalu siap menjemput anak-anak yang perlu bantuan, dan mengantar mereka dengan selamat ke tempat tujuan. Ah, betapa senangnya jika semua anak bisa tumbuh besar dalam lingkungan seperti My Neighbor Totoro.
Sumber gambar: Akun Twitter @ghibliarchives.
BACA JUGA 5 Produk Indonesia yang Dicintai di Luar Negeri dan tulisan Santi Kurniasari Hanjoyo lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.