Mumun merupakan suatu film adaptasi dari sinetron horor populer jaman dulu yang berjudul “Jadi Pocong”. Bagi generasi 90-an dan awal 2000-an, sinetron ini cukup membekas hingga akhirnya beberapa hal ikonik terus terngiang bahkan hingga saat ini. Mulai dari mata pocong Mumun yang menyala hijau, soundtrack ikoniknya yang dinyanyikan Mandra, hingga suara khas Mumun ketika mengucapkan “Bang, aye Mumun, Bang…”.
Wajar kalau pada akhirnya banyak yang antusias mendengar kabar sinetron Mumun akan dibuatkan filmnya, termasuk saya. Namun, pada akhirnya saya merasa perlu menekan ekspektasi. Pasalnya, film ini ternyata diproduseri K. K. Dheeraj atau KKD, nama yang sering bikin pencinta film Indonesia pusing dengan film-film horornya.
Namun, sedikit harapan saya sematkan pada Rizal Mantovani selaku sutradara. Sutradara yang pada awal 2000-an jago bikin film horor ini sempat saya anggap mentok karena formula horornya yang gitu-gitu saja. Namun, melihat eksplorasinya di Kuntilanak 3, saya berharap Rizal Mantovani telah menemukan gairahnya kembali untuk bersaing dengan berbagai sutradara film horor terkini yang terus menawarkan keberagaman.
Dan untungnya, hasilnya cukup tidak mengecewakan. Mumun berhasil menjadi film yang memiliki pesonanya sendiri berkat hal-hal yang memang sudah melekat di sinetronnya. Filmnya dengan mantap memilih jalur yang tak jauh dengan sinetronnya, yaitu horor komedi.
Bukan cuma horor dan komedi, Mumun ternyata cukup kental dengan aspek drama. Ceritanya sendiri sudah memiliki bobot drama yang potensial. Mumun merupakan primadona kampung, disukai banyak lelaki, dan disayang kedua orang tuanya. Mumun memiliki saudara kembar, yaitu Mimin, yang memiliki kerjaan di Jakarta kota, berusaha dianggap sukses sebagai “orang kota”.
Namun sayangnya, Mumun terhimpit utang gara-gara Mimin yang nyuapin ego orang tuanya agar dianggap keluarga terpandang dengan cara rajin umroh dan rajin bikin syukuran, potret masalah pride orang yang klasik namun tetap terasa relevan.
Permasalahan hutang ini akhirnya menyebabkan tragedi. Mumun mengalami kecelakan yang disebabkan oleh Jefri, si debt collector. Mumun akhirnya dimakamkan, namun si tukang gali kubur, Husein yang diperankan Mandra, kecolongan lupa membuka tali pocong Mumun. Hal ini diyakini oleh Husein menyebabkan Mumun bangkit sebagai pocong dan menebar teror di kampung tersebut, meskipun kalau dilihat polanya, hanya mengincar orang-orang tertentu.
Rizal Mantovani berhasil memberikan eksplorasi sajian horor yang segar ketika mengemas kemunculan pertama Mumun. Ada kesan komikal yang muncul dengan kemasan megah dan epik. Perkenalan pocong Mumun buat saya terasa menyenangkan.
Filmnya berhasil memanfaatkan berbagai hal yang sudah melekat di sinetronnya, khususnya penggunaan mata hijau yang sudah terkenal menjadi ciri khasnya. Penggunaan sorot mata hijau terasa efektif, kadang memang berhasil terasa menakutkan. Hal cerdik lainnya adalah penggunaan berbagai elemen warna hijau juga berhasil memberi filmnya kesan khas, entah itu dari busana, properti, hingga pencahayaan.
Pada babak kedua, kemunculan Pocong Mumun mulai terasa berganti arah. Yang awalnya memang terasa seram dengan sedikit sentuhan kocak, penampakan-penampakan berikutnya akan terasa fokus meninggalkan kesan kocak, dan itu berhasil, sangat menghibur.
Komedi rasanya menjadi aspek yang cukup menonjol dari Mumun. Memanfaatkan kultur Betawi, film ini berhasil menawarkan sensasi lucu berkat celotehan-celotehan khas Betawi.
Di saat Mumun terasa begitu berhasil di aspek horor komedi, aspek drama dalam film ini justru agak goyah. Beruntung film ini memiliki Acha Septriasa yang berhasil membawakan akting dramatik yang solid. Dia berhasil menanggung beban rajutan drama yang berantakan untuk tetap menimbulkan emosi dan rasa, bahkan makna cerita.
Selain Acha, film ini juga perlu berterima kasih dengan Mandra yang berhasil membuat film ini jadi enjoyable ketika sedang berada pada jalur horor komedi.
Sayangnya, akting Acha tidak bisa lagi menyelamatkan babak ketiga yang memilih jalur instan, membuat satu adegan yang langsung menyelesaikan semua masalah seketika. Memang terlihat bagaimana aspek produksi film ini agak terburu-buru dengan waktu. Tampaknya bagian produksi tidak punya cukup banyak waktu menyelesaikan adegan konklusi dramanya. Aspek horornya pun semakin melemah di babak ketiga, kesan kreatif mulai menghilang.
Namun pada akhirnya, pengemasan babak pertama dan kedua yang menyenangkan sudah berhasil memberi kesan tersendiri buat film Mumun. Bagi pengikut sinetronnya, tentu banyak yang sudah tahu kalau Jefri nantinya akan menjadi pocong, dan benar saja, film ini membuka peluang sekuel. Karena Mumun sudah berhasil meninggalkan kesan yang baik, saya pun akan sangat mendukung kemungkinan sekuel, menanti pertarungan Pocong Mumun vs Pocong Jefri.
Tapi di sisi lain, saya khawatir KKD kambuh, berakibat sekuelnya cuma jadi proyek yang penting jalan. Namun, untuk sekarang, mari kita syukuri apa yang ada, bahwa KKD akhirnya bisa bikin film yang benar, walau masih banyak kekurangan.
Sumber gambar: Akun Instagram @cinema.21
Penulis: Muhammad Sabilurrosyad
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kok Bisa Sih Takut Sama Pocong? Dia Kan Cuma Hantu yang Pengin Dibukain Talinya Doang